cerita ini aku ambil dari kisah aku sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agnura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps #Pagi yang berkesan buat gio
Pagi itu seperti biasa, udara masih lembut menampar wajahku yang baru saja terkena embusan angin jalanan. Jalanan belum terlalu ramai, hanya beberapa motor dan mobil lewat, membuat deru mesin terdengar samar di antara celoteh burung di pinggir jalan. Aku menyalakan motor, merapikan helm, lalu melaju pelan menuju sekolah. Entah kenapa, pagi ini rasanya berbeda. Ada dorongan aneh di dada—semacam rasa ingin bicara dengan seseorang.
Tanpa berpikir panjang, aku merogoh saku jaket dan mengambil ponsel. Jempolku refleks menekan nama “Ka Gio.” Aku sendiri nggak tahu kenapa tiba-tiba pengin menelpon dia. Padahal biasanya, aku cuma balas chat seperlunya, itu pun kalau dia duluan yang hubungin. Tapi entah, pagi ini ada sesuatu yang membuatku ingin mendengar suaranya.
Nada sambung berdentang beberapa kali " nuttttt nuttttt nutttttt" sebelum suara berat tapi hangatnya terdengar di seberang.
“Halo? Dek?”
Aku tersenyum kecil, meski dia nggak bisa lihat. “Pagi, Ka.”
Ada jeda sejenak sebelum dia menjawab, suaranya terdengar sedikit heran, “Kamu tumben banget nelpon aku pagi-pagi gini. Biasanya juga enggak, ada apa?”
Aku tertawa kecil, mencoba terdengar santai. “Nggak ada apa-apa, cuma pengin nyapa kaka aja.”
Tapi Gio nggak semudah itu percaya. Dia diam sebentar, lalu suaranya terdengar agak pelan tapi jelas, “Emang nggak ada yang marah kamu nelpon aku gini?”
Aku terdiam. Tanganku yang menggenggam setang motor tiba-tiba terasa lebih kaku. Embusan angin yang tadi terasa sejuk, kini berubah jadi dingin. Ia masih belum tahu—belum tahu kalau aku dan Jen sudah nggak lagi bersama.
“Nggak ada, Ka,” jawabku lirih, mencoba menutupi getar di suaraku.
“Oh… yaudah. Aku kira kamu lagi sembunyi-sembunyi,” katanya sambil tertawa pelan. Tapi tawanya terasa canggung, seperti ada banyak hal yang belum sempat diucapkan.
Aku tersenyum tipis, meski dada terasa sesak. “Nggak kok. Sekarang udah nggak ada yang bakal marah.”
Suara di seberang sana mendadak hening. Aku bisa mendengar napasnya yang tertahan, lalu ia berkata pelan, “Oh… jadi kamu sama Jen udahan??—”
“Udah, Ka.” aku memotong cepat, tak ingin menjelaskan lebih jauh.
Suasana jadi sepi. Hanya suara angin dan deru kendaraan yang menemaniku di jalan panjang menuju sekolah. Dalam hati, aku berusaha menenangkan diri. Aku nggak mau terdengar rapuh, tapi jujur saja, ada bagian dari diriku yang masih belum sepenuhnya bisa menerima semua ini.
Gio akhirnya bersuara lagi, kali ini lebih lembut. “Maaf ya… aku nggak tahu. Kamu nggak apa-apa kan ?”
Aku menarik napas panjang, mencoba tertawa, “Nggak apa-apa kok, Ka. Namanya juga hidup, kadang harus belajar melepaskan sesuatu yang mungkin berat bagi kita”
Ia diam sesaat, lalu berkata pelan, “Kamu kuat ya, Dek. Tapi kalau capek pura-pura kuat, aku masih di sini kok.”
Kalimat itu membuatku terdiam cukup lama. Di tengah hiruk pikuk jalanan, di balik suara motor yang meraung, kata-katanya menggema pelan di pikiranku. Ada hangat yang pelan-pelan menyelinap di dada, menggantikan dingin yang tadi sempat singgah.
“Makasi ya, Ka,” kataku akhirnya. “Aku lanjut dulu ya, udah hampir sampai sekolah.”
“Oke. Hati-hati di jalan, Dek.”
Telepon berakhir, tapi suaranya masih terngiang lama di kepala. Entah kenapa, pagi yang awalnya biasa saja, kini terasa punya arti. Mungkin karena untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku nggak merasa sendiri di jalan yang ramai ini.
