My Doctor'S Bastard

Setelah pernikahan usai, mereka semua memutuskan untuk segera kembali ke apartemen. Tak ada rencana makan malam, pesta kecil, atau ucapan panjang. Semua orang sepakat bahwa Laura harus segera beristirahat.

Lift berhenti di lantai atas, dan pintunya terbuka menampilkan lorong tenang dengan cahaya lembut. Shinee berjalan di samping Laura, sementara Celine dan Rama menyusul di belakang mereka. Dicky masih di lobi, katanya ada beberapa hal yang harus dia kerjakan.

Begitu pintu apartemen terbuka, Shinee langsung melepas jasnya. "Celine, bawa Laura ke kamar. Aku akan menyiapkan makan malam," ucap Shinee.

"Jadi bagaimana sekarang? Aku tidur dimana?" tanya Celine tiba-tiba, sebab kemarin dia dan Laura masih tidur di kamar yang sama. Tapi sekarang Laura telah menikah dengan Shinee dan Celine tak tahu harus memposisikan dirinya dimana.

Jika boleh memilih sebenarnya Celine ingin tidur di kamar yang lain saja, membiarkan Laura dan Shinee tidur bersama. Tapi Celine merasa dia tidak berhak membuat keputusan, yang bisa menentukan adalah Laura, tidak, maksudnya Shinee.

Karena kini semuanya diatur oleh pria tersebut.

"Apa maksud pertanyaanmu itu? Aku dan Shinee hanya menikah, bukan berarti kita tidur bersama." Laura yang menjawab. Reflek dia bicara seperti itu sesuai isi kepalanya, Laura tak berpikir panjang. Ada satu sisi dia ingin menerima pernikahan ini dengan bahagia, tapi di sisi lain hatinya tetap terasa ada yang mengganjal.

"Bagaimana, Shinee?" tanya Celine lagi, tetap menempatkan pria itu sebagai penentu.

"Aku akan tidur dengan Laura, Rama akan membantumu memindahkan barang-barang," balas Shinee dengan suaranya yang terdengar dingin. Shinee tidak sedang marah, tapi memang seperti itulah dia bicara.

"Baiklah," balas Celine setuju.

Laura segera menatap tajam sang sahabat, Celine yang cepat sekali pindah haluan. Kini Celine seperti berada di pihak pria tersebut.

"Kenapa kamu menyetujuinya?" tanya Laura setelah Shinee pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam, hari ini terasa begitu cepat hingga waktu telah menunjukkan jam lima sore.

"Memangnya kita bisa menolak keputusan Shinee? tidak bisa Laura, tidak bisaaaa, kamu mau Daddy Nick tau?" balas Celine blak-blakan dan Laura hanya mampu mendengus kesal.

"Ayo ke kamar dan istirahat lah, aku akan pindah kamar," jelas Celine.

Laura tidak langsung bergerak. Matanya menatap punggung Celine yang mulai berjalan menuju kamar mereka untuk beres-beres. Ada rasa aneh yang menyesak di dada, antara lelah dan perasaan tidak siap menghadapi malam pertamanya sebagai istri seseorang.

Celine mulai sibuk mengambil koper kecilnya, sementara Laura duduk di tepi ranjang setelah selesai mandi.

"Aku di kamar sebelah, jika kamu butuh apa pun, panggil aku. Tapi malam ini cobalah bicara baik-baik dengan Shinee. Siapa tahu dia juga sedang berjuang keras untuk menahan semuanya tetap terlihat normal," ucap Celine, untuk pertama kalinya dia bicara begitu serius.

Sekarang hubungan Laura dan Shinee bukan lagi hubungan yang biasa-biasa saja, keduanya telah terikat pernikahan yang sakral. Celine ingin Laura pun bisa bahagia dalam pernikahan ini.

"Apa maksudmu bicara seperti itu?" tanya Laura.

"Jangan pura-pura bodoh, aku saja sangat sedih dengan keadaanmu sekarang, apalagi Shinee. Tapi dia tak pernah menunjukkan kesedihannya di hadapan mu kan? Sudahlah, kita maafkan saja dia. Lagipula kini dia benar-benar sudah berpisah dengan istrinya, jadi jangan tutup hatimu lagi, cobalah terima Shinee seperti dulu."

"Kamu membelanya sekarang?"

"Iya!"

"Dasar pengkhianat."

"Cih!" balas Celine, lalu menutup kopernya. "Jika aku pengkhianat, maka kamu pengecut," ucapnya dengan nada setengah bercanda tapi penuh makna.

Laura menatapnya tajam. “Apa katamu barusan?”

Celine berbalik dan menatap sahabatnya itu lurus-lurus. “Kamu dengar baik-baik, Pengecut. Karena kamu selalu memilih diam dan menahan semuanya sendiri. Kamu pura-pura kuat padahal kamu cuma takut terluka lagi. Ini kita bicara tentang Shinee ya.”

Ucapan itu membuat Laura terdiam.

"Lau, sekarang kamu sudah menikah, suka tidak suka itu faktanya. Jadi setidaknya, jangan jadikan dirimu korban di pernikahanmu sendiri.”

Laura menatap sahabatnya itu lama, “Kamu bicara seolah semuanya mudah."

Celine tersenyum miring. “Aku tahu kamu mencintai Shinee, tapi kamu juga berusaha mempertahankan harga diri, iya kan?"

Hening, sesaat hanya ada hening diantara kedua sahabat tersebut.

Setelah beberapa saat, Celine meraih koper kecilnya dan berdiri di ambang pintu. “Aku sangat ingin kamu bahagia bersama Shinee, Lau."

Laura hanya bisa diam, tidak ada kata-kata yang bisa ia balas.

Begitu Celine menutup pintu, Laura menarik napas panjang dan tak lama suara pintu kamar terbuka. Shinee masuk dan membuat tatapan mereka berdua seketika bertemu. Shinee masih mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung, wajahnya tampak lelah namun tetap tenang.

"Kenapa hanya duduk, berbaring lah. Nanti ku bawa makan malamnya ke kamar, sekarang aku mandi dulu," ucap Shinee, lalu menuju kamar mandi seolah ini kamar lamanya. Padahal untuk pertama kalinya mereka akan tinggal di ruangan yang sama. Bahkan dengan status yang sudah berubah jadi suami istri.

"Bagaimana bisa dia mandi di sini, baju-bajunya kan belum dipindah ke sini," gumam Laura cemas sendiri.

Bukannya berbaring seperti perintah Shinee, Laura justru berjalan cepat keluar dan memanggil Rama. "Ram!" pekik Laura tapi yang keluar malah Celine.

"Ada apa lagi?" tanya Celine, dia sudah meletakkan kopernya di kamar baru. Bukan di kamar Shinee kemarin, apartemen ini memiliki 3 kamar tidur.

"Dimana Rama?"

"Dia sudah kembali ke apartemen Shinee."

"Aduh!"

"Kenapa memangnya?"

"Shinee mandi, tapi baju-bajunya kan belum dipindah."

"Hii, aku tidak mau ikut campur," balas Celine dan segera masuk kembali ke kamarnya sendiri, bahkan menutup pintu dengan kuat dan cepat.

Meninggalkan Laura yang kelabakan sendiri, menghadapi keadaan yang belum pernah dia bayangkan. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?"