Bima, seorang mahasiswa semester akhir yang stres kerena skripsi nya, lalu meninggal dunia secara tiba-tiba di kostannya. Bima kemudian terbangun di tubuh Devano, Bima kaget karena bunyi bip... bip... di telinganya. dan berfikiran dia sedang mendapatkan hukuman dari Tuhan.
Namun, ternyata dia memasuki tubuh Devano, remaja berusia 16 tahun yeng memiliki sakit jantung dan tidak di perdulikan orang tuanya. Tetapi, yang Bima tau Devano anak orang kaya.
Bima yang selama ini dalam kemiskinan, dan ingin selalu memenuhi ekspektasi ibunya yang berharap anak menjadi sarjana dan sukses dalam pekerjaan. Tidak pernah menikmati kehidupan dulu sebagai remaja yang penuh kebebasan.
"Kalau begitu aku akan menikmati hidup ku sedikit, toh tubuh ini sakit, dan mungkin aku akan meninggal lagi," gumam Bima.
Bagaimana kehidupan Bima setelah memasuki tubuh Devano?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere Lumiere, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[8] Sekolah
Setelah menyendok nasi, Devano kemudian mengambil semua lauk yang di sajikan di atas meja, karena dia tidak pernah menikmati makanan seenak rumah ini di masa lalunya.
Mata ibu dan kedua anak itu nampak sinis seolah sangat jijik dengan Devano, dan ingin segera beranjak dari sana sedangkan Devano nampak tidak perduli, kemudian menyantap makanan nya.
Hingga beberapa saat akhirnya keluarga itu menyelesaikan makanan nya dan tidak memperdulikan Devano seolah dirinya tidak pernah ada.
Devano pun buru-buru beranjak dari sana menyusul mereka dengan tergesa-gesa, hingga sampai lah di halaman rumah dan melihat ibu serta anak itu ingin memasuki mobil.
"Wish… tunggu gue," ujar Devano mengangkat tangannya dan tersenyum jahil menuju kearah mobil itu.
Ibu dan anak itu terlihat menoleh pada Devano dengan rahang yang mengeras, menatap kearah Devano dengan nyalang seaka kalau Devano sampai menganggu mereka. Mereka pasti akan akan memberikan hukuman.
"Hahaha santai… nggak usah emosi gitu, jelek tau," kekeh Devano menerobos mereka yang menghadang nya untuk memasuki mobil, kemudian dia duduk kursi tengah mobil itu.
"Ey… apa-apaan kamu?! " bentak Dian melihat Devano sudah duduk di jok mobilnya.
"Ya mau berangkat sekolah apa lagi, kalian mau mampir ke sekolah dulu kan," jawab Devano melipat kedua tangannya di dadanya, lalu menoleh kearah Arsen.
"Iya! tapi aku tidak mau kamu naik mobil ku!" tolak Dian dengan keras dan menarik kerah seragam Devano kasar.
Devano menepis tangan Dian dengan sedikit tenaga, "Aku nebeng sampai sekolah, kendaraan ku belum di antar, ya jadi terpaksa dah, Hah…" desah Devano sebab kecewa.
"Memang tidak boleh ya, yah… walaupun tidak boleh aku akan tetap naik, terserah kalian mau apa, kalau tidak mana kuncinya biar aku setir mobil ini," ujar Devano menyodorkan tangannya.
"Kamu mau apakan mobil ku!" bentak Dian menarik kunci mobil di tangannya dengan kasar, dan menatap nyalang kearah Devano. Dia ingat anak di hadapannya masih di bawah umur untuk menyetir.
"Bagus, kalau begitu Anda bersedia mengantar saya, terima kasih atas tumpangan nya, Nyonya," sindir Devano menatap nya dengan sinis, kemudian menutup pintu mobil itu dengan setengah membantingnya membuat ibu dan anak itu kaget.
"Ma, kenapa mama biarin dia bareng kita," ujar Arsen tidak terima.
"Udah En, nggak papa kali ini aja kita suruh dia naik, dari pada kita terlambat," geram rendah Dian melihat Devano sudah di dalam mobil nya.
Setelah semua masuk ke mobil, Dian kemudian melajukan mobil mereka kearah sekolah. Sesekali ibu dan anak itu menatap sinis pada Devano, wajah mereka merah padam dan pipi mereka melendung seolah kapan saja akan pecah karena kemarahan.
Sedangkan Devano nampak tidak perduli dengan kemarahan mereka dan nikmati suasana di dalam mobil itu, dia merasa duduk di tengah seperti layak seorang raja sekarang, padahal dulu dia naik mobil saja sudah bersyukur.
Hingga beberapa menit kemudian mobil mereka berbelok kearah SMA Cendikia Bangsa, Devano menatap sekolahnya yang terlihat mewah dengan tiga lantai, halaman depan yang luas sepertinya Devano akan sulit berkeliling di sekolah itu.
"Waw… ini sekolah gue, nggak ada satupun yang rusak, bahkan lantai nya di paving block dan rumput jepang semua, sekolah gue dulu mah boro-boro. Di kasih paving block di beberapa tempat, dah bersyukur," gumam Devano dalam hati sembari menyentuh dagunya.
Beberapa saat kemudian mobil mereka berhenti, Devano melompat menuruni mobil itu, tidak memperdulikan ibu dan anak yang bersiap pula untuk turun.
Ibu dan anak itu nampak turun bersamaan, "Sayang, belajar lah dengan baik, pertahanan juara umum nya agar kamu bisa masuk ke Universitas yang bagus," ujar Dian pada Arsen dengan tersenyum simpul.
"Iya ma," jawab Arsen sedikit lesu.
"Kok kamu tidak bersemangat, kamu jangan jadi anak pembangkang seperti dia," kata Dian melirik sinis pada Devano.
Devano pun tak mau kalah nyalang nya ketika mendengar suara sumbang Dian, "Cih, lihat Gua bakalan ngalahin anak yang lo banggain itu,"
Devano menghempaskan tangannya kemudian berjalan dengan tegas menuju kearah gedung sekolah nya dengan sedikit perasaan emosional.
Hingga sampai lah dia lobi sekolah namun Devano tidak tau dimana kah kelas nya saat ini. Devano mencoba memejamkan matanya mencari sedikit ingatan di kepalanya tentang masa lalu anak ini.
Kemudian, Devano membuka matanya dengan lebar, "Sial… gue nggak ingat apa-apa, apa gue tanya sama orang lewat,"
Dia kemudian melihat kearah seorang remaja perempuan yang baru saja lewat disebelahnya dan berniat menghentikan nya.
"Hey… lo yang disana, tunggu!" ujar Devano mengejar perempuan itu.
Perempuan itu kemudian menoleh pada Devano, "Iya… kenapa ya?"
"Lo tau kelas gue dimana? lo kenal kan sama wajah ini?" tanya Devano melingkari wajahnya dengan jari telunjuk nya.
Perempuan itu melihat dari atas kebawah laki-laki di hadapannya, dia ingin betul siapa laki-laki ini. Namanya Devano dan sering di bully beberapa geng seperti geng Elio, serta geng Nico.
Tapi, kenapa dia tidak tau dimana kelasnya, perempuan itu jadi khawatir mungkin kah geng itu membuatnya geger otak dan kini amnesia.
"Lo nggak papa?" tanya perempuan itu terlebih dahulu.
"Nggak, emang napa? sekarang kelas gue dimana?" jawab Devano mengangkat bahunya sedikit.
Perempuan itu nampak sedikit lega, dan tidak ingin berurusan lebih panjang pada geng itu takut dia terkena imbasnya, dia langsung menujuk lorong di sebelah kirinya, "Lo lurus aja di lorong ini, dan kelas lo sepuluh IPA dua,"
Devano kemudian melirik kearah lorong sebelah kirinya dan tersenyum sembari menganggukkan kepalanya, "Thank's," jawabnya.
Devano kemudian berjalan dengan cepat menuju kearah yang di tunjuk remaja perempuan tadi. Namun, di balik itu, di tempat yang yang tidak terdeteksi oleh Devano, beberapa orang sudah berdiri dengan tatapan menyeringai pada Devano.
"Si cupu itu, masuk sekolah akhirnya, gue kira dia udah berhenti karena takut sama gue, hahaha… belum nyerah juga dia," ledek Nico dari kejauhan.
"Iya bos, mau kita kerjain apa dia hari ini," celetuk Ozan di dekat Nico.
"Tenang masih ada delapan jam untuk memberikan pelajaran," remeh Nico mengepal kan tangan kiri nya, kemudian meremas dengan tangan kanannya.
Mereka bertiga menatap nyalang kearah Devano hingga remaja itu hilang dari pandangan mereka. Sedangkan Devano merasa tengkuknya sedikit merinding yang dia tidak tau karena apa, setelah sampai di depan pintu kelas dia kemudian menoleh kearah lorong untuk memastikan.
"Nggak ada apa-apa, tapi kenapa gue merinding ya," gumam Devano, kemudian kembali menoleh kearah dalam kelasnya.
Kelas itu nampak tertib meskipun penuh kesibukan, "Dimana ya, bangku gue,"