Putraku Menggila

Putraku Menggila

[1] Transmigrasi

Bima mendengar suara 'Bip… bip… bip…' sangat kencang seperti hukuman dari Tuhan, tenggorokan nya terasa tercekat, seperti habis berlari di tengah gurun. Dan apa yang ada hidung nya seperti sumpalan kapas untuk orang mati saja.

"Apa mati!" ucap Bima berusaha untuk bangun dari mimpinya.

Saat ini dia memang telah membuka matanya namun dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia melihat sekeliling nya.

Putih, dan tirai berwarna biru, "Mungkin kah di bawa oleh tetangga kostan ku, karena melihat aku pingsan. Tapi, bagaimana bisa, kamar ku terkunci."

"Ah… mungkin saja dia kebetulan memanggil ku, dan aku tidak menyahut jadi langsung mendobrak pintunya, tapi kenapa tubuh ku tidak bergerak padahal aku hanya pingsan," ucap Bima dalam hati.

Tiba-tiba seorang perawat dengan APD lengkap masuk kedalam ruangan itu, Bima melirik sedikit diantara kelopak matanya, dia tidak bisa melihat wajah perawat itu dan hanya melihat keningnya saja.

"Pasien bangun!" teriak perawat itu berlari keluar dengan panik.

"Ah, yang benar saja, aku hanya pingsan, bukan baru lepas dari maut, Sus," gumam Bima dalam hati.

Tidak berselang lama seorang dokter masuk dan memeriksa monitor yang ada di samping kiri Bima, pria itu ikut melirik kemana dokter itu menatap. Bima melihat nya seperti alat penunjang hidup seperti di film-film.

"Hah… apakah benar aku baru saja lepas dari maut? yang benar saja," fikir Bima dalam hati.

"Devano… Devano…, apakah kamu mendengar om?" ucap Dokter Galih membuka kelopak mata Bima dan menyenterinya sejenak.

"Hah… Devano, om, siapa dia, siapa kamu? aku tidak ke kenal kamu, dok? bukan kah status kita hanya pasien dan tenaga medis," gumam Bima dalam hati sembari mengerjapkan matanya.

"Bagus, tanda vital bagus, kita bisa melepaskan monitor jantung dan menganti ventilator dengan nasal kanula," ujar dokter itu bersemangat memerintah para perawat nya.

"Woi, sibuk-sibuk apaan nih? bisa nggak jawab pertanyaan ku," kesal Bima dalam hati.

Matanya masih berkeliaran kesana kemari melihat dokter Galih dan para perawat yang sedang sibuk mengurusnya.

Beberapa jam kemudian dia benar-benar tersedar namun diri masih linglung. Yang diingat dia sedang mengerjakan skripsi dengan sistem kebut semalam untuk menemui dosen di esok hari.

Dia masih ingat betul seperti apa Dosen itu mengancamnya, "Jika kamu tidak menyerahkan file skripsi mu, besok. Jangan harap kamu bisa lulus tahun ini, karena ibu punya kegiatan di luar kota selama sebulan,"

"Baik bu, saya akan menyerahkan nya besok," jawab Bima lesu.

"Bagus, ingat jangan lebih dari jam sepuluh karena ibu sudah tidak ada di kampus," ujar Anita menujuk Bima dengan sinis.

Setelah itu Bima langsung mengerjakan skripsi nya sesuai dengan keinginan Ibu Anita. Namun, tiba-tiba mata berkunang-kunang, kemudian dia menyentuh hidung secara perlahan dan merasakan darah segar keluar dari sana.

Tiba-tiba saja dia terjatuh dari kursi belajar nya, lalu semua mengelap dan Bima tidak bisa merasakan apa-apa lagi.

Bima menyentuh kepalanya kini seperti yang baru saja terjadi sangat konyol sekali, "Lalu, bagaimana dengan ibu Anita, jangan-jangan dia sudah pergi, Sial… jam berapa sekarang?"

Bima kemudian menoleh pada tangannya, terlihat kecil dan kurus. Tidak seperti tangannya yang berotot dan terlihat urat-urat di punggung tangan nya.

"Hem… ada apa dengan semua ini? ini seperti tangan ku waktu SMP, ketika aku belum bekerja terlalu keras untuk menghidupi diri ku dan membiayai uang sekolah ku selama ini," gumam Bima dalam hati, dia makin penasaran apa yang terjadi pada dirinya.

"Devano…" panggil seorang perawat masuk keruangan nya lagi.

"Devano lagi… Au," geram Bima.

Dia lupa di tangan terdapat infus yang menancap. Dia tak sengaja menekan infus itu karena cengkeraman tangan nya, yang membuat Bima meringis kesakitan.

"Ini sus…"

"Devano, siapa dia Devano?" tanya Bima dengan sinis ketika perawat itu mendatangi Bima, membuat perawat itu tercekat.

Dan berkata dalam hati, "Adik ini gimana sih, nama nya kan Devano, apa aku salah bicara? mungkin dia tidak suka di panggil dengan akrab,"

"Kalau bagitu, Adik Pasien," ucap perawat itu tersenyum simpul.

"Adik?" ujar Bima mengerutkan jidatnya, dan menatap dengan sinis.

Bagaimana bisa pria berumur duapuluh dua tahun di panggil Adik, harusnya perawat itu memanggilnya, 'kakak atau mas'.

"Hish… apa lagi salah ku sekarang, memang ya anak-anak jaman sekarang? suka tidak sopan," gerutu perawat itu dalam hati meskipun dia masih tersenyum pada Bima.

Bima lebih bingung lagi dengan keadaan nya, kepala terasa pening memikirkan semua hal yang tak jelas di kepalanya hingga dia mencengkram kepala kencang.

Beberapa saat kemudian setelah memikirkan sedikit kemungkinan yang tidak pasti, akhirnya Bima memutuskan untuk melihat dirinya.

"Sus, apakah aku bisa meminjam cermin… atau kamera HP mu," pinta Bima pada perawat yang sedang sibuk mengeceknya, perawat itu tidak ingin berbicara lagi dengan Bima, karena menurut nya Bima terlihat aneh.

"Hem…," Perawat itu menoleh dengan bingung kenapa Bima ingin meminjam hal seperti itu.

Tapi detik berikut perawat itu mengingat mungkin saja Bima ingin menghubungi keluarga dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja.

"Pasien, kamu ingin menghubungi keluarga mu ya?" tanya perawat itu memberikan ponselnya yang sudah dia buka kan kata sandinya.

"Bukan sus…" ucap Bima membuka camera ponsel itu.

Bima kaget setelah kamera ponsel itu menampakkan wajahnya, Bima menyentuh wajah itu. Wajah itu tidak sama seperti dengan wajahnya yang selalu dia lihat di cermin kostan nya.

Wajah yang dia sentuh, bersih tapi kurus dan mata cengkung serta bibir pucat seperti akan mati dengan seketika. Beda dengan dirinya, yang mungkin juga tidak jauh buruknya dengan wajah yang dia sentuh saat ini, tapi dia tidak terlalu menyedihkan seperti anak ini.

"Sial… jangan-jangan aku sudah mati dan masuk ketubuh ini, seperti cerita fantasi itu," ujar Bima memegang kening nya, sembari mengingat cerita fantasi timur yang sahabat karibnya sering baca.

Tapi, detik berikut Bima tersenyum, setidak nya dia bisa kembali menjalani masa muda yang dulu tidak pernah dia raih, kesenangan remaja, dan memiliki geng.

Karena dulu, dia menghabiskan waktunya untuk belajar dan mencari uang dengan kerja sampingan selepas sekolah, sebab ibunya sangat mengharapkan Bima menjadi sarjana dan orang yang sukses. Tapi, apa mau di kata, sebelum dia lulus, Bima sudah meninggal dengan cara yang konyol.

"Aku akan menikmati masa remaja ku, kemudian memapankan hidup ku agar tidak menderita seperti dulu," gumam Bima dalam hati.

"Ini Sus, HP nya," ucap Bima tersenyum bahagia, lalu mengembalikan ponsel perawat itu.

Perawat itu mengerutkan kening melihat Bima senyum-senyum sendiri, "Jangan-jangan adik ini sakit lagi, aku harus memeriksa nya," fikir Perawat itu dalam hati.

"Pasien, apakah ada yang tidak nyaman?" tanya perawat itu bingung.

"O ya, siapa nama ku tadi?"

"Devano…" ucap perawat itu ragu-ragu.

"Ya panggil saja aku begitu, hahaha…" kekeh Bima hingga bahunya bergetar dan hampir saja selang oksigen nya copot.

"Mungkin adik ini butuh amoxicillin," gumam perawat itu dalam hati, menatap Bima dengan sinis karena dia terus tertawa tidak jelas.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!