NovelToon NovelToon
Under The Same Sky

Under The Same Sky

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Playboy / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Model / Mantan / Orang Disabilitas
Popularitas:667
Nilai: 5
Nama Author: CHRESTEA

Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.

Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Langkah Maju

Luna duduk di sofa ruang tamunya, dia kembali menatap layar ponsel masih menampilkan video yang dikirim Damian. Di sana, Orion Delvano, pria yang dulu hanya bisa duduk di kursi roda, kini berdiri tegak. Langkahnya masih kaku, tapi nyata.

Setiap gerakan itu seperti menembus dadanya.

Dia tahu berapa banyak rasa sakit yang harus Orion tanggung untuk sampai di titik itu. Tangannya gemetar, menyentuh layar.

Senyum samar muncul, tapi cepat memudar digantikan air mata yang akhirnya jatuh tanpa bisa ditahan.

“Aku senang kamu sembuh…” bisiknya pelan, “tapi kenapa kelihatannya kamu masih terluka?”

Ponsel itu ia genggam erat di dada, seolah bisa merasakan kehadiran Orion lewat layar kecil itu.

Dan untuk pertama kalinya, Luna sadar rindu bisa terasa lebih menyakitkan dari luka manapun.

Keesokan harinya, Damian menelepon. Suaranya terdengar santai, tapi Luna bisa mendengar nada serius di baliknya.

“Orion kembali tinggl dirumahnya, Dia sudah tidak perlu terapi setiap hari, keadaannya juga sudah sangat membaik."

“Apa kakak yakin? Dia akan tinggal dengan siapa disana?" tanya Luna pelan.

“Aku tidak tau pasti. Kamu mau pergi kesana?"

"Aku tidak apa-apa?"

"dia nggak akan menolak.”

Luna terdiam lama, lalu mengangguk walau Damian tidak bisa melihat.

“Aku akan ke sana.”

"Baiklah.. hari ini aku akan membantu Orion kembali kerumah."

"Baik kak, hati-hati."

Langit semakin gelap,mobil hitam berhenti di halaman rumah yang sangat mewah, di salah satu kawasan elite New Jersey.

Luna turun perlahan, memakai coat panjang dan membawa tas kecil. Tangannya dingin, jantungnya berdetak kencang seperti saat pertama kali dia bertemu Orion dulu.

Luna berjalan masuk melewati lantai marmer putih yang sangat kontras dengan warna hitam dinding-dinding rumahnya. Dari kejauhan, dia melihat sosok itu, berdiri di taman kecil, mengenakan hoodie abu-abu dan celana latihan hitam.

Gerakannya lambat tapi stabil. Dia sedang mencoba berjalan sendiri tanpa alat bantu, hanya dengan fokus penuh dan keberanian. Luna berdiri, menatap dalam diam. Begitu banyak hal yang ingin dia katakan, tapi semuanya tersangkut di tenggorokan.

Sampai akhirnya, Orion menoleh. Dan waktu berhenti.Mata mereka bertemu tajam, tapi hangat.Tidak ada kalimat pembuka, tidak ada sapaan. Hanya dua orang yang saling mengenali luka di mata satu sama lain, lagi.

“Luna…” Orion memanggil pelan, nyaris seperti takut kalau ini hanya mimpi.

Luna tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca.

“Hai, Rion…”

Dia berjalan mendekat. Langkahnya gemetar.

Dan saat jarak mereka hanya tinggal beberapa meter, Orion menunduk mencoba menahan emosi yang tiba-tiba meledak di dadanya.

“Kamu di sini…”

Suaranya serak. “Aku pikir kamu nggak akan ingat aku lagi."

Luna menatapnya dalam. “Aku janji bakal balik waktu itu, kan?”

Keheningan menyelimuti mereka. Angin sore berhembus pelan, daun-daun berjatuhan di antara langkah mereka. Tanpa sadar, Luna mengangkat tangannya, menyentuh sisi wajah Orion dengan lembut. Kulitnya dingin, tapi sentuhan itu membuat Orion menutup mata sesaat.

“Aku lihat kamu di TV,” katanya akhirnya.

“Dan untuk pertama kalinya,aku bangga jadi bagian kecil dari cerita kamu.”

Air mata Luna jatuh pelan. “Aku bisa seperti itu juga karena kamu, Rion.”

Orion menatapnya lama, suaranya lirih, “Kamu nggak tahu seberapa banyak aku pengen nyari kamu waktu itu.”

“Dan kamu nggak tahu seberapa banyak aku pengen balik,” balas Luna cepat.

“Tapi aku harus belajar kuat dulu, sebelum berdiri di samping kamu lagi.”

Keheningan itu tidak canggung, hanya penuh perasaan yang tertahan.

Sampai akhirnya, Orion menurunkan pandangannya ke tanah, lalu berkata pelan,

“Luna… kalau kamu datang untuk pamit lagi, aku nggak akan bisa.”

Luna tertegun. “Aku datang bukan untuk pamit, Rion.”

“Terus untuk apa?”

Luna tersenyum samar, dengan mata yang masih basah.

“Untuk berjalan bersamamu kali ini dengan langkah yang sama.”

Orion tidak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu lama, dia tertawa kecil.

Tawa yang ringan, tapi tulus.

Dia membuka tangannya lebar, Luna menyambutnya. Tubuh mereka saling memeluk erat di tengah keheningan rumah Orion. Pelukan itu terasa lama bukan karena mereka ingin menahan waktu, tapi karena keduanya tahu betapa panjang perjalanan untuk sampai di titik ini.

Tak ada kata, hanya detak jantung yang saling bersahutan di antara heningnya ruang luas itu.

Luna masih memeluk Orion erat, kepalanya bersandar di dada pria itu.

“Aku pikir kamu nggak akan mau lihat aku lagi,” bisiknya pelan.

Orion menurunkan tangannya, tapi tidak melepasnya sepenuhnya. “Aku juga pikir aku nggak akan punya kesempatan buat lihat kamu.”

Dia menatap wajah Luna lama, jujur, dan tanpa topeng. “Aku, lihat berita itu di TV, pria itu berusaha mendekati kamu."

Luna tersenyum kecil. “Siapa? Adrian?"

Orion memiringkan kepalanya. “Iya."

“Kamu cemburu?”

Dia tertawa pelan, tapi suaranya berat, seolah tertahan emosi. “Hati aku sakit, Aku marah tapi tidak bisa melalukan apapun."

“Kenapa kamu gak hubungin aku?,” tanya Luna lembut, “Kamu selalu nahan semuanya sendiri."

Keheningan kecil mengisi ruang di antara mereka. Orion berjalan perlahan menuju ruang tamu, Luna mengikutinya. Langkah Orion masih pelan tapi sudah mantap, dan Luna menatapnya penuh rasa bangga.

Rumah itu nampak sangat sebesar, rapi dan sepi.

Lampu-lampu hangat menyala lembut, dan di udara ada aroma kopi bercampur kayu manis.

Luna memandang sekeliling, lalu tersenyum. “Rumah kamu sepi banget.”

Orion menatapnya sambil menaruh hoodie-nya di sofa. “Dulu rumah ini gak gitu, lihat.” ucap Orion sambil menujuk trofi - trofi yang berjajar rapi di lemari kaca.

"Wow, itu banyak banget." ucap Luna kagum.

"Dulu setiap kali aku dapat itu, rumah ini akan penuh banyak orang itu bersenang-senang."

“Kamu rindu saat itu?”

Orion menoleh senyum tipis muncul di bibirnya. “Bohong kalau aku bilang nggak. Tapi, aku harus mulai menerima kenyataan."

Orion duduk di sofa, di merentangkan kedua tanganya. Meminta Luna untuk duduk tepat di sampingnya.

"Duduk sini aja." ucap Orion lembut.

Luna menyandarkan kepala di dada Orion, memeluk tubuh pria itu lembut. "Aku kangen kamu.. aku kangen moment ini."

"Aku juga sama bahkan lebih dari ini. Perasaan itu nyaris membuat aku gila."

Kini mereka duduk di ruang tengah. Luna membuka tasnya, mengeluarkan sesuatu. Sebuah kotak kecil.

“Apa ini?” tanya Orion.

“Makan malam.”

Dia tersenyum kecil. “Aku masak sendiri. Ini sup merah kesukaan kamu.”

Orion tertawa pelan, tapi kali ini tawanya hangat, tulus.

“Aku kangen masakan kamu."

“Ya udah ini, ayo dimakan,” balas Luna cepat.

Setelah makan, mereka duduk bersebelahan di sofa. Televisi menyala lirih, cahaya lembut memantul di wajah mereka. Luna bersandar pelan di bahu Orion.

“Kamu tahu,” katanya pelan, “setiap kali aku lihat kamu di berita, aku takut.”

“Takut kenapa?” tanya Orion.

“Takut kalau semua yang kamu perjuangkan berhasil dan kamu lupain aku.”

Orion menatapnya dalam, suaranya rendah tapi pasti.

“Kalau aku mau lupa, aku nggak akan sembuh.”

Luna terdiam. Kalimat itu sederhana, tapi menghantam jantungnya seperti petir yang jatuh pelan. Dia menunduk, matanya berkaca-kaca.

“Rion…”

“Hmm?”

“Aku ingin tetap di sini. Bukan sebagai pengunjung, tapi sebagai seseorang yang kamu izinkan untuk tinggal.”

Orion menatapnya lama. “Kamu yakin?”

Luna tersenyum samar. “Aku yakin, tapi mungkin semua gak akan mudah."

Hening.

Tapi bukan hening yang canggung melainkan hening yang penuh ketenangan, seperti dua jiwa yang akhirnya berhenti mencari.

Orion mengangguk pelan. “Kalau begitu, selamat datang di rumah kita, Luna.”

Malam itu hujan turun perlahan. Mereka tidak banyak bicara lagi. Hanya saling memeluk di atas kasur Orion. Ruangan dengan ornamen serba hitam itu cukup menenangkan.

Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, rumah itu terasa hidup lagi.

Bukan karena lampunya menyala, tapi karena di dalamnya, ada dua hati yang akhirnya berani beristirahat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!