Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Waspada
Tirai tipis di jendela bergoyang pelan, seolah ikut menahan napas. Roy menoleh pada Shila, wajahnya kini bukan lagi dipenuhi rasa bersalah, melainkan kekhawatiran yang mendalam. Pesan di telepon tadi... itu bukan sekadar ancaman kosong.
"Shila," Roy memegang bahu istrinya, nada suaranya berubah serius, "kita harus hati-hati. Aku rasa ini bukan cuma soal Pram dan Arunika lagi."
Shila menggeleng, mencoba mencerna. "Maksudmu... ada orang yang sengaja bikin kekacauan ini? Tapi kenapa? Siapa?"
Roy menarik napas. "Pesan yang kamu terima, telepon barusan... ini seperti ada yang sengaja ingin memecah belah kita, atau mungkin... ada tujuan lain."
Ia berjalan mondar-mandir, otaknya berputar cepat.
"Siapa yang diuntungkan dari terungkapnya rahasia Pram dan Arunika? Siapa yang tahu detail sampai alamat apartemen dan nomorku?"
"Apa mungkin dari kantor Pram?" Shila mencoba menebak. "Bukankah dia punya banyak saingan bisnis?"
"Bisa jadi," Roy menyahut. "Tapi kenapa harus melibatkan kita? Kenapa harus menyasar rumah tanggaku?" Ia berhenti, menatap Shila lekat. "Ini bukan sekadar gosip atau persaingan bisnis biasa. Ini pribadi. Seolah ada yang ingin Pramudya hancur, dan mereka rela menyeret siapa pun yang dekat dengannya."
Shila memeluk dirinya sendiri, merinding. "Lalu apa yang harus kita lakukan? Apa kita aman di sini?"
"Kita harus lebih waspada," kata Roy, matanya menyapu seisi ruangan, seolah mencari sesuatu yang tak terlihat. "Aku akan menghubungi Pram. Dia harus tahu ini."
Tak menunggu waktu lama, Roy menelepon Pramudya. Suara Pram terdengar jauh lebih kacau dari sebelumnya.
"Pram, dengerin gue baik-baik," Roy langsung ke intinya, "Ada orang yang tahu semua tentang lo dan Arunika. Orang itu yang kirim pesan ke Shila, dan barusan nelpon gue. Ancamannya jelas, ada kejutan kedua."
Di seberang sana, Pram terdiam beberapa saat, lalu terdengar napas panjang. "Sialan! Siapa?"
"Itu yang harus kita cari tahu. Gue curiga ini lebih dari sekadar urusan rumah tangga. Ada yang sengaja ngincer lo, dan mereka pakai kita sebagai umpan." Roy menjelaskan kronologi singkat. "Kita harus ketemu sekarang. Di tempat yang aman. Jangan di apartemen lo atau di rumah gue."
"Oke," Pram menyetujui, suaranya dipenuhi ketegangan.
"Gue atur tempat. Kirim alamatnya ke lo."
Pertemuan mendesak itu dilakukan di sebuah kafe terpencil yang sudah tutup, atas izin pemilik yang merupakan teman lama Pram. Ketiganya—Roy, Shila, dan Pram—duduk mengitari meja, wajah mereka tegang di bawah remang lampu.
"Jadi, ada orang yang mengincar lo, Pram," Roy memulai, setelah menceritakan kembali ancaman-ancaman yang mereka terima. "Siapa kira-kira yang punya motif sebesar ini sampai harus menghancurkan kehidupan pribadi orang lain?"
Pram mengusap wajahnya kasar. "Gue punya banyak musuh dalam bisnis, Roy. Tapi gue nggak pernah bayangin mereka akan main kotor sejauh ini." Ia berhenti, matanya menerawang. "Atau... bukan musuh bisnis."
"Maksud lo?" tanya Shila.
"Ada seseorang yang tahu banyak tentang masa lalu gue, tentang bagaimana gue berinteraksi dengan orang-orang yang gue bantu," Pram bergumam, lebih kepada dirinya sendiri. "Orang itu mungkin merasa dirugikan, atau... terkhianati."
"Siapa?" desak Roy.
Pram mendesah. "Ada satu nama yang terlintas. Dika."
"Dika?" ulang Shila. "Siapa Dika?"
"Dia... mantan rekan bisnis gue. Beberapa tahun lalu, kami sempat berseteru. Gue curiga dia menyimpan dendam. Tapi gue nggak menyangka dia akan sejauh ini." Pram mengepalkan tangannya. "Dia selalu tahu banyak tentang gue, bahkan hal-hal pribadi."
"Apa dia tahu tentang Arunika?" tanya Roy.
Pram mengangguk pelan. "Mungkin. Dika selalu punya cara untuk mencari tahu apapun yang dia mau."
"Dan dia tahu tentang Roy?" Shila menambahkan, nada suaranya dipenuhi kecurigaan.
"Sangat mungkin. Dia tahu semua koneksi gue," jawab Pram. "Dia orang yang sangat manipulatif dan tidak segan melakukan apa pun untuk membalas dendam."
"Jadi, ini bukan sekadar ancaman, tapi pembalasan dendam yang terencana?" tanya Roy.
Pramudya mengangguk, rahangnya mengeras. "Gue yakin ini Dika. Dia ingin gue kehilangan segalanya, termasuk orang-orang yang penting buat gue."
Suasana di kafe itu semakin tegang. Mereka bertiga menyadari, masalah ini bukan lagi sekadar salah paham rumah tangga. Ada orang lain, dalang di balik layar, yang dengan sengaja menarik benang-benang untuk menciptakan kehancuran.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Shila bertanya, suaranya sedikit gemetar.
"Kita harus lebih hati-hati," Roy menjawab. "Jangan sampai ada lagi informasi yang bocor. Kita juga harus melindungi Arunika."
Pramudya menatap Roy dan Shila. "Gue akan mencoba menghubungi Dika. Mencari tahu apa maunya. Tapi kita tidak bisa lengah. Dia licik."
"Dan gue akan melaporkan ini ke polisi," Shila menambahkan. "Ini sudah masuk ke ranah ancaman dan teror."
Roy mengangguk setuju. "Kita tidak bisa melawan ini sendirian. Kita butuh bantuan. Dan Pram, lo harus bersiap. Dika pasti punya rencana besar."
Di tengah ketegangan itu, sebuah pertanyaan melintas di benak Roy. "Kenapa dia baru bergerak sekarang?"
Pramudya hanya menggeleng. Misteri di balik motif Dika masih menjadi awan gelap yang menyelimuti mereka. Mereka tahu, ini hanyalah awal dari badai yang sesungguhnya.
Setelah Shila menyampaikan niatnya untuk melaporkan teror ini ke polisi, suasana kembali tegang.
Pramudya terlihat berpikir keras, matanya menyapu wajah Roy dan Shila secara bergantian, seolah mencari tahu di mana celah dari semua teka-teki ini.
"Pram," Roy memecah keheningan, "lo yakin ini Dika? Apa ada kemungkinan lain?"
Pram terdiam sejenak, lalu mendesah. "Ada satu orang lagi... tapi gue rasa nggak mungkin."
"Siapa?" Shila mendesak.
Pram menelan ludah. "Sarah. Ibu tiri gue."
Roy dan Shila saling pandang, terkejut. Namun, keterkejutan Roy berbeda. Ingatannya melayang ke masa lalu, saat kuliah dulu.
"Sarah?" Shila bertanya, tak bisa menyembunyikan keheranannya.
Roy menatap Pram, matanya menyipit. "Maksud lo... Sarah, yang dulu pacaran sama lo waktu di kampus?"
Pram mengangguk, sorot matanya muram. "Dia silau harta. Pilih Bokap gue. Tapi... gue selalu merasa dia masih terobsesi sama gue," lanjut Pram, suaranya pelan. "Dia sering muncul di momen-momen nggak terduga, mencoba ikut campur urusan gue. Dia selalu berusaha menghancurkan setiap hubungan gue dengan perempuan lain."
Roy mengingat jelas bagaimana ia dulu selalu menentang hubungan Pram dan Sarah. Roy tahu Sarah bukan orang yang baik, dan ia selalu merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan perempuan itu. Sekarang, kecurigaan lamanya kembali mengemuka.
"Jadi, dia tahu tentang Arunika?" tanya Roy.
Pram mengangguk. "Sangat mungkin. Dia punya mata-mata di mana-mana. Dia orang yang ambisius dan sangat posesif. Kalau dia tahu gue mencoba membangun hidup baru dengan Arunika, apalagi sampai punya anak... ini bisa jadi alasan dia untuk meledakkan semuanya."
"Berarti dia ingin lo sendiri? Tidak bersama siapa pun?" Shila menyimpulkan, nadanya tak percaya.
"Bisa jadi. Atau dia ingin gue kembali padanya," Pramudya menjawab, raut wajahnya menunjukkan kekesalan mendalam. "Dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan yang dia mau. Termasuk menghancurkan hidup orang lain."
Roy mengingat kembali pesan ancaman yang diterima Shila dan telepon misterius yang ia dengar. "Jika kau mau tahu siapa suamimu, datanglah ke apartemen Puri Indah Unit 12A." Kalimat itu terasa sangat personal, seolah si pengirim tahu persis bagaimana cara melukai Shila dan Roy. Dan ancaman tentang "kejutan kedua" menguatkan dugaan bahwa ini adalah permainan yang sengaja dimainkan oleh seseorang yang sangat dekat.
"Jadi, dia tahu alamat apartemen Arunika, nomor ponsel gue, dan dia tahu bagaimana cara menghancurkan rumah tangga Roy?" Roy menatap Pram, wajahnya mengeras. "Ini bukan sekadar balas dendam biasa, Pram. Ini obsesi."
Pramudya mengangguk. "Gue tahu. Dia tidak akan berhenti sebelum dia dapat yang dia mau."
"Lalu apa rencana kita sekarang?" tanya Shila, kekhawatiran terlihat jelas di matanya. "Bagaimana kita menghadapi orang yang terobsesi seperti itu?"
Pramudya menatap mereka bergantian, wajahnya serius. "Kita harus berhati-hati. Jangan sampai dia berhasil memecah belah kita. Gue akan coba bicara dengan dia, tapi gue butuh kalian untuk tetap waspada."
Roy mengangguk. "Kita harus melindungi Arunika juga. Dia sekarang adalah target yang paling rentan."
Malam itu, di kafe yang sunyi, mereka menyadari bahwa mereka baru saja memasuki permainan yang jauh lebih gelap dan berbahaya dari yang mereka duga. Dengan Sarah sebagai dalang, kejutan-kejutan berikutnya mungkin akan jauh lebih pribadi dan merusak.