Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Ibu
Pagi yang seharusnya tenang di rumah sakit terasa begitu mencekam bagi Mulia Anggraeni. Setelah semalaman menunggu, ibunya sudah lebih stabil. Mulia memutuskan untuk mencari sarapan di kantin. Langkah kakinya terasa ringan, setidaknya ada sedikit harapan di tengah kegelapan yang ia alami.
Di kantin, ia memesan bubur ayam. Sambil menunggu, Mulia mencari tempat duduk. Matanya menelusuri setiap sudut kantin. Dan saat itulah, ia melihat Dinda, anak Bu Hanim. Dinda duduk di salah satu meja, wajahnya terlihat cemberut. Mulia panik. Ia segera berbalik, mencoba menghindar.
Namun, Dinda melihatnya. Mata mereka bertemu. Mulia langsung merasakan hawa dingin. Dinda bangkit dari kursinya, berjalan mendekati Mulia dengan langkah cepat dan mata penuh amarah. Mulia terperangah. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
"Jadi ini wanita yang menggoda ayahku?" Suara Dinda terdengar sinis.
Mulia menunduk. Ia tidak ingin mencari masalah. "Saya tidak mengerti, Nona," jawab Mulia pelan.
"Jangan pura-pura bodoh!" bentak Dinda. "Aku sudah tahu semuanya! Kamu wanita perusak rumah tangga, kan? Kamu yang membuat Mama dan Papaku bertengkar!"
"Tidak, Nona. Saya tidak pernah melakukan itu," Mulia membela diri. "Ada kesalahpahaman di sini."
Dinda tidak mendengarkan. Tanpa basa-basi, Dinda menjambak rambut Mulia dengan keras. Mulia meringis kesakitan. Rambutnya terasa seperti ditarik dari kulit kepalanya.
"Jangan sentuh saya!" Mulia berteriak, mencoba melepaskan diri.
Tapi Dinda tidak melepaskannya. Dinda malah semakin menguatkan jambakannya. "Dasar pelakor! Kamu pikir kamu bisa lari dariku? Hah?" Dinda menyeret Mulia ke tengah kantin. "Kamu tidak tahu diri! Kamu wanita rendahan! Kamu pikir kamu bisa menghancurkan keluargaku?"
Beberapa pengunjung kantin mulai berbisik-bisik, menatap mereka dengan penasaran. Mulia merasa malu. Ia tidak bisa melawan. Ia hanya bisa menangis dalam diam.
"Dengar, wanita rendahan!" teriak Dinda. "Aku akan pastikan kamu mendapatkan balasan yang setimpal! Aku akan hancurkan kamu!" Dinda mendorong Mulia hingga terjatuh ke lantai. Ia menendang kaki Mulia. Mulia meringis, air matanya tak terbendung.
****
Di tengah keramaian, sebuah suara menginterupsi. "Dinda! Hentikan!"
Mulia mendongak. Di sana, berdiri Satria, dengan wajah merah karena marah. Satria langsung menghampiri Dinda dan Mulia. "Apa yang kamu lakukan, Dinda?"
Dinda menoleh ke arah Satria. "Aku hanya memberikan pelajaran pada wanita ini! Dia pantas mendapatkannya!"
"Tidak ada yang pantas mendapatkan perlakuan seperti ini!" kata Satria. "Kamu sudah keterlaluan!" Satria berjongkok di samping Mulia, membantu Mulia untuk bangkit. "Kamu tidak apa-apa, Lia?" tanyanya dengan nada khawatir.
Mulia menggeleng, tangannya gemetar. "Aku... tidak apa-apa," jawabnya.
Satria menatap Dinda. "Dinda, minta maaf pada Mulia!"
"Kenapa? Kenapa aku harus minta maaf pada pelakor ini?" Dinda berseru. "Dia yang harus minta maaf padaku! Dia yang sudah merusak keluargaku!"
"Mama dan papamu tidak bertengkar karena Mulia," kata Satria. "Mereka bertengkar karena masalah lain. Mulia tidak ada hubungannya dengan semua ini."
"Kamu membelanya? Kamu juga tergoda olehnya?" tanya Dinda, suaranya dipenuhi kebencian. "Kamu juga percaya pada wanita ini?"
"Aku percaya Mulia, Dinda," jawab Satria. "Aku sudah mengenalnya sejak lama. Dia bukan wanita seperti yang kamu pikirkan."
"Pembohong! Kalian semua pembohong!" teriak Dinda. "Aku tidak akan percaya! Aku akan pastikan wanita ini akan hancur!" Dinda menoleh ke arah Mulia, matanya penuh ancaman. "Kamu akan menyesal sudah bertemu dengan keluargaku, Mulia! Kamu akan menyesal!"
Dinda berbalik dan berjalan keluar kantin. Suasana kembali hening. Semua mata kini tertuju pada Mulia dan Satria. Mulia tidak bisa menahan tangisnya. Ia merasa malu, ia merasa hancur. Satria membantunya berdiri. "Sudah, Lia. Jangan menangis. Aku akan mengantarmu kembali ke kamar ibumu."
Mulia mengangguk. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menunduk, berjalan di samping Satria. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi, ia tahu satu hal, Satria akan selalu ada di sisinya.
****
Mulia Anggraeni kembali ke ruangan rawat ibunya, hatinya masih berdebar kencang. Kejadian di kantin tadi sungguh mengguncang jiwanya. Ia mendapati ibunya, Dewi, sudah terbangun. Kartika, teman ibunya, duduk di kursi samping ranjang, tersenyum hangat melihat kedatangan Mulia.
"Mulia... kenapa wajahmu pucat sekali, Nak?" tanya Dewi, suaranya lemah.
Mulia berusaha tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu. Cuma sedikit lelah." Ia menutupi luka di hatinya dengan kebohongan lain. Ia tidak ingin ibunya tahu.
"Sudah makan, Nak?" tanya Dewi lagi.
"Sudah, Bu," jawab Mulia. Ia mendekat, mencium kening ibunya. Kehangatan kulit Dewi sedikit menenangkannya.
Kartika bangkit dari kursinya, memberikan ruang untuk Mulia. "Mulia, kamu duduk saja di sini. Tante mau keluar sebentar, beli buah untuk ibumu."
Setelah Kartika keluar, Mulia duduk di kursi yang tadi diduduki Kartika. Ia menggenggam tangan ibunya yang terasa dingin. "Ibu butuh sesuatu?"
****
Dewi menggeleng pelan. Ia menatap Mulia dengan mata penuh kasih. "Ibu... ingin bicara serius denganmu, Nak."
Jantung Mulia berdegup. Ia tahu, ada hal penting yang akan dibicarakan ibunya. Mulia menelan ludah. "Bicara apa, Bu?"
"Ibu sudah tahu semuanya, Mulia," ucap Dewi.
Mulia terkejut. "Tahu apa, Bu?"
"Tentang pekerjaanmu," jawab Dewi. "Ibu tahu kamu dipecat. Ibu juga tahu kamu difitnah."
Air mata Mulia langsung menetes. Ia tidak bisa lagi menahannya. "Bu... aku... "
"Tidak apa-apa, Nak. Jangan menangis," kata Dewi, mengusap air mata Mulia dengan ibu jarinya. "Ibu bangga padamu. Kamu sudah bekerja keras. Kamu wanita yang kuat. Ibu percaya, kamu tidak akan melakukan hal seburuk itu."
Mulia memeluk ibunya erat. "Maafkan aku, Bu. Aku tidak mau membuat Ibu khawatir. Aku tidak ingin Ibu sedih."
"Ibu tidak sedih, Nak. Ibu hanya kasihan padamu. Kamu harus menanggung semua ini sendirian." Dewi melepaskan pelukan Mulia. Ia menatap Mulia lekat. "Ibu sudah bicara dengan Kartika. Ibu sudah tahu semuanya. Dan Ibu... ingin meminta satu hal padamu."
Mulia menatap ibunya, matanya berkaca-kaca. "Apa, Bu? Apa pun, aku akan melakukannya."
"Ibu ingin kamu menerima perjodohan dengan Ikhsan," ucap Dewi, suaranya mantap.
Mulia terkejut. Matanya membulat. "Perjodohan? Ikhsan?"
****
"Ya," jawab Dewi. "Ibu sudah bicara dengan Kartika. Dia setuju. Ikhsan juga sudah tahu tentang hal ini. Dia tidak keberatan."
Mulia merasa bingung. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia tidak bisa percaya apa yang baru saja ia dengar. "Tapi, Bu... ini terlalu cepat. Aku dan Ikhsan..."
"Ikhsan itu anak yang baik, Mulia. Dia cerdas, bertanggung jawab, dan dia sangat mencintaimu," kata Dewi.
"Mencintaiku?" Mulia mengucap.
"Ya. Kartika bilang, Ikhsan sudah menyukaimu sejak SMA. Tapi dia tidak pernah berani mengatakannya. Dia selalu memantau perkembanganmu dari jauh. Sampai sekarang, dia belum pernah menjalin hubungan serius dengan wanita lain. Dia sudah menunggu kamu sejak lama."
Mulia terdiam. Hatinya berdebar. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Ia menyukai Satria. Ia masih mencintai Satria. Tapi, di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan pengorbanan yang Ikhsan dan ibunya lakukan.
"Pikirkan baik-baik, Nak," kata Dewi. "Ibu tidak memaksa. Ibu hanya ingin kamu bahagia. Ibu tahu, Ikhsan bisa membahagiakanmu. Dan dia bisa melindungimu. Ibu tidak ingin kamu hidup menderita seperti ini lagi. Ibu ingin kamu punya hidup yang lebih baik."