Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Ada Lagi Kita
Pagi berikutnya, Pramudya merasa gelisah. Pikiran tentang Arunika dan apartemennya terus mengusiknya. Ia tahu ia telah mengaturnya agar Arunika tinggal di sana, namun ada dorongan tak kentara yang membuatnya ingin melihat langsung situasinya.
Bukan karena iba, ia meyakinkan dirinya, melainkan untuk memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai rencana dan tidak ada celah yang bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Ia perlu menegaskan kembali batasan-batasannya.
Dengan langkah mantap, Pramudya melajukan mobilnya menuju apartemen di Puri Indah. Sesampainya di sana, ia menekan bel unit 12A.
Pintu terbuka perlahan, menampilkan sosok Arunika dengan wajah yang masih terlihat sembap, namun sedikit lebih segar dari kemarin. Ia mengenakan piyama sederhana dan rambutnya diikat longgar. Ekspresi terkejut jelas terlihat di wajahnya saat melihat Pramudya berdiri di ambang pintu.
"Pramudya?" Arunika berucap, suaranya sedikit serak. Ia tidak menyangka pria itu akan datang sendiri.
Pramudya melangkah masuk tanpa diundang, matanya menyapu seisi apartemen. Unit itu bersih dan rapi, seperti yang ia harapkan. "Aku datang untuk memastikan kau sudah menempati tempat ini dengan baik," ujarnya datar, menatap Arunika. "Dan untuk menegaskan beberapa hal."
Arunika memejamkan mata sejenak, mempersiapkan diri untuk omelan atau penghinaan berikutnya. "Apa lagi?" tanyanya, nada suaranya lelah.
Pramudya menatapnya lurus. "Pertama, kau tidak boleh mengganggu kehidupanku di luar ini. Aku sudah memberimu tempat tinggal dan akan memberikan nafkah untuk anak itu. Jangan coba-coba mencari tahu tentang diriku, apalagi mengganggu pekerjaanku atau lingkunganku."
"Saya tidak akan melakukan itu," balas Arunika dingin.
"Saya hanya ingin anak ini memiliki haknya."
"Bagus," Pramudya mengangguk. "Kedua, apartemen ini adalah tempat tinggalmu sampai anak itu lahir dan kau bisa mandiri. Jangan ada pria lain yang masuk ke sini. Aku tidak ingin ada masalah di kemudian hari." Matanya menajam.
Arunika menatapnya tak percaya. "Anda pikir saya akan melakukan itu? Setelah semua yang terjadi?"
"Aku hanya memperjelas," kata Pramudya, suaranya tanpa emosi. "Aku tidak ingin ada salah paham. Ketiga, dan ini yang terpenting: masalah ini, tentang kita, tentang anak itu, akan tetap menjadi rahasia. Jangan pernah membicarakannya dengan siapa pun, kecuali Roy jika ada keperluan mendesak terkait nafkah."
Arunika mengepalkan tangannya. Ia merasa seperti boneka yang sedang diberi instruksi. "Saya mengerti," ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Ia tahu ia tidak punya pilihan.
Pramudya memandangnya sejenak, lalu berbalik menuju pintu. "Baiklah. Aku akan mengatur transfer bulanan. Roy akan menjadi perantara jika kau butuh sesuatu yang lain."
Sebelum Pramudya melangkah keluar, Arunika bertanya
" Apakah saya bisa pergi ke Rumah Sakit untuk memeriksa bayi ini?"
Pramudya berhenti di ambang pintu. Ia menoleh, menatap perut Arunika, lalu kembali ke mata wanita itu. Ekspresinya mengeras. "Tugasku adalah menafkahi. Urusan lainnya, akan kita bicarakan nanti, jika memang perlu."
Tanpa menunggu jawaban, Pramudya melangkah keluar, meninggalkan Arunika sendirian di apartemen barunya. Arunika kembali menatap perutnya, air mata mulai menetes. Ia tahu, perjalanan ini akan sangat berat. Ayah dari bayinya adalah pria yang dingin dan penuh luka, yang seolah-olah telah membuang segala bentuk perasaan.
Setelah mengunjungi Arunika , Pramudya memutuskan untuk berkunjung ke Blue Moon Cafe. Bukan sekadar iseng, ia ingin memeriksa laporan bulanan secara langsung, memastikan bahwa bisnisnya berjalan sesuai ekspektasi. Ia melangkah masuk dengan aura dominan yang selalu menyertainya, matanya menelisik setiap sudut kafe yang ramai.
Namun, langkahnya terhenti. Di salah satu sudut kafe, duduk seorang wanita. Siluetnya familiar, rambut hitam panjang tergerai anggun, dan senyum tipis di bibirnya saat ia menyeruput kopi. Jantung Pramudya berdesir, merasakan gejolak aneh yang sudah lama ia padamkan.
Wanita itu menoleh, dan mata mereka bertemu. Senyum di bibirnya mengembang. "Pramudya?"
Itu dia. Sarah. Wanita yang dulu pernah ia cintai, sekaligus luka menganga yang membentuk dirinya hingga kini.
Flashback: Awal Mula Skeptisisme Pramudya
Di tahun pertama kuliah, Pramudya adalah seorang pria yang polos dalam hal cinta. Ia pernah jatuh cinta sedalam-dalamnya kepada Sarah. Wanita itu, dengan kecantikan dan penampilan lugunya, berhasil merebut hati Pramudya. Mereka saling mencintai, atau setidaknya Pramudya berpikir begitu. Ia percaya pada cinta sejati, pada komitmen, pada masa depan yang cerah bersama Sarah. Ia bahkan sudah membayangkan pernikahan dan keluarga kecil bersamanya.
Namun, kepercayaannya itu hancur berkeping-keping di suatu malam yang dingin. Pramudya secara tidak sengaja melihat Sarah keluar dari sebuah mobil mewah, dengan pakaian yang terlalu mewah untuk seorang mahasiswa, dan tas tangan bermerek yang tidak mungkin ia beli. Firasat buruk menyelimuti hatinya. Ia mengikuti Sarah diam-diam, dan yang ia temukan adalah kenyataan pahit yang menghancurkan dunianya.
Sarah adalah seorang sugar baby. Ia menjual dirinya, melakukan open BO untuk memenuhi gaya hidup hedonnya, membeli tas-tas mewah, dan bersenang-senang di klub malam. Pukulan terberat adalah kenyataan yang lebih menjijikkan: Sarah adalah sugar baby ayahnya sendiri. Wanita yang ia cintai dengan tulus, kini menjadi ibu tirinya.
Kejadian itu melukai Pramudya begitu dalam. Hatinya hancur, kepercayaannya pada wanita luntur, dan ia menjadi sangat skeptis terhadap pernikahan dan komitmen. Baginya, semua wanita sama. Mereka hanya mengincar uang, kemewahan, dan status. Cinta hanyalah topeng, alat untuk mencapai tujuan. Sejak saat itu, Pramudya percaya bahwa uang adalah motif utama di balik setiap hubungan, dan ia akan selalu menggunakan uang untuk mengendalikan setiap situasi yang melibatkan wanita.
Kembali ke Masa Kini
Pramudya berusaha menenangkan diri, mengendalikan ekspresinya. Kenangan pahit itu seolah menghantamnya lagi. Ia melangkah mendekati meja Sarah, mencoba memasang wajah datar.
"Sarah," sapa Pramudya, suaranya terdengar kaku.
Sarah berdiri, senyumnya masih mengembang. "Sudah lama tidak bertemu, Pram." Matanya menatap Pramudya lekat-lekat, ada kerinduan yang samar di sana.
Pramudya tidak membalas senyum itu. Ia tahu Sarah adalah masa lalunya yang kelam, dan ia tidak ingin masa lalu itu kembali mengganggunya. "Ngapain Lo di sini?" tanyanya, langsung pada intinya, berusaha terdengar acuh tak acuh.Pramudya bertanya, nada suaranya datar, berusaha menutupi gejolak di hatinya.
Sarah terkekeh pelan, tawa yang dulu Pramudya sukai, kini terdengar asing di telinganya. "Aku dengar ini kafe milikmu. Ingin melihat-lihat saja. Siapa tahu bisa mampir lebih sering." Ia menatap Pramudya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada campuran kerinduan, penyesalan, dan mungkin, sebuah harapan.
Pramudya tak menanggapi. Ia tahu Sarah tidak mungkin datang hanya untuk "melihat-lihat". Wanita itu selalu punya tujuan.
"Apa kau tidak senang melihatku?" Sarah bertanya lagi, senyumnya sedikit memudar.
"Gue seneng? Yang ada gue muak ngeliat muka lo" balas Pramudya dingin. "Masa lalu sudah berlalu, Sarah. Dan Lo tahu betul bagaimana masa lalu kita berakhir."
Sarah menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya lagi, sorot matanya berubah menjadi lebih serius. "Aku tahu aku membuat kesalahan besar, Pram. Aku sangat menyesal."
Pramudya mendengus. "Penyesalan tidak akan mengubah apa pun. Lo sudah milih jalan Lo sendiri, dan gue memilih jalan gue sendiri."
"Aku tahu," Sarah berucap lirih. "Tapi, aku... aku merindukanmu, Pram. Aku merindukan kita yang dulu."
Kata-kata itu membuat Pramudya merasa mual. Merindukan? Setelah semua yang Sarah lakukan? Ia tidak percaya sedikit pun. Ia tahu Sarah adalah manipulator ulung.
"Lo datang ke sini hanya untuk ini?" Pramudya bertanya, nada suaranya dipenuhi ketidaksabaran. "Gue punya pekerjaan, Sarah. Gue gak punya waktu untuk nostalgia yang tidak berguna."
Sarah menggigit bibirnya, tampak sedikit tersinggung. "Baiklah. Kalau begitu aku tidak akan membuang waktumu lebih lama. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja." Ia berdiri, bersiap pergi.
Namun, sebelum Sarah melangkah, ia menatap Pramudya sekali lagi. "Aku tahu kau masih membenciku. Tapi ada hal yang ingin kukatakan padamu, meskipun kau mungkin tidak akan percaya." Sarah terdiam sejenak, menimbang-nimbang. "Aku masih mencintaimu Pram, pernikahan kami hanya sebatas tanggung jawab agar kamu tidak memandang rendah papamu."
Pramudya menatapnya tak acuh. Kabar itu sudah sampai di telinganya. Ia tidak peduli.
" Gue gak peduli dan lo gak usah meyakinkan gue soal perasaan Lo itu. Gue jijik dengernya ,pergi Lo sekarang."
Pramudya hanya menatapnya tanpa ekspresi. Ia tidak memberikan jawaban. Bagi Pramudya, tidak ada lagi "kita" antara dirinya dan Sarah. Masa lalu telah mati, dan ia tidak akan pernah membiarkan wanita itu kembali memasuki kehidupannya.
Sarah menghela napas, menyadari bahwa ia tidak akan mendapatkan respons yang ia inginkan. Dengan bahu merosot, ia berbalik dan melangkah keluar dari kafe, meninggalkan Pramudya yang masih terpaku di tempatnya, dikelilingi bayangan masalalu yang pahit.