NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:529
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 8

Rintik hujan membasahi ditengah suasana malam. Suaranya bagaikan alunan melodi rendah namun tenang jika saja diresapi. Hujan kali ini tidak ditemani oleh gemuruh petir. Angin kencang yang seringkali ikut mengapitnya bersama dengan riuhnya petir tidak juga ikut bergabung. Angin dingin itu malah terasa lebih menyejukkan, menikmati secangkir teh hangat dan selimut di dalam rumah mungkin adalah hal yang paling cocok dilakukan saat ini.

Namun berbeda dengan remaja laki-laki yang sama sekali tidak dapat merasakan hal tersebut. Justru sebaliknya, hujan yang turun kali ini seolah menambah getaran hebat yang tubuhnya rasakan. Sudut bibirnya yang harusnya merasakan sakit, seolah tumpul tak berasa. Bola matanya benar-benar memancarkan sinar kecemasan. Jika saja dia bisa dia ingin sekali menangis, namun dia tahu bahwa untuk saat ini itu hanyalah sebuah hal yang sia-sia untuk dilakukan.

Yang bisa dirinya lakukan hanyalah berdoa. Berdoa untuk mengharapkan asa yang memang sangat ingin terkabul. Jika dia teringat pertengkarannya kemarin dengan sang adik, mungkinkah adiknya kali ini memilih untuk menyerah? Sampai sebegitunya kah? Jika iya, Revan merasa bahwa dia tidak becus untuk menjadi kakak yang baik bagi Devan.

Kian hanya bisa menatap Revan dengan pandangan sendu. Dia tidak pandai jika harus menghibur, bahkan membuat kata-kata saja rasanya sulit. Namun Kian tahu bahwa saat ini Revan memang tidak baik-baik saja. Yang bisa dirinya lakukan hanyalah menepuk-nepuk pundak sang sahabat pelan. Memberikan isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja dan tidak akan ada sesuatu yang buruk terjadi.

Tetapi raut wajah Kian berubah menjadi khawatir saat menyadari wajah Revan yang terlihat babak belur. "Rev, muka lo kenapa?"

"Gue jatuh dari motor." Revan menjawab seadanya.

Kian mengernyitkan dahinya. Dia tidak akan semudah itu untuk percaya. "Gue emang kurang pinter Rev, tapi gue gak bisa dibodohin. Itu bekas tonjokan kambing! Lo dihajar sama siapa Rev?"

"Yan, ini rumah sakit." Revan tidak memberikan jawaban, dia malah memperingati Kian untuk memelankan suaranya.

Kian memejamkan matanya sesaat, dia sangat tahu dengan Revan tipe yang selalu memendam segalanya sendiri. "Haris. Lo dihajar dia kan?"

Tepat sasaran, Revan mematung sesaat. "Gue gaada niat buat bahas."

"Tapi gue temen lo Rev, sahabat lo bukan cuma Raka. Meskipun gue gak tahu masalah kalian dulu apa tapi gue gak terima liat sahabat gue dibikin babak belur sama orang!" Kian memberitahukan perasaannya pada Revan.

Revan memandang Kian. Namun hanya perkataan seadanya yang bisa menjadi jawaban. "Thanks Yan, tapi buat saat ini gue pengen fokus dulu sama keadaannya Devan. Gue janji lain kali gue bakal ngasih tahu semuanya."

"Terserah lo dah Rev. Tapi inget kalau sampe terjadi sesuatu yang lebih dari ini ke lo, gue akan langsung datengin Haris sendiri." Kian tahu memaksa Revan untuk bercerita sekarang tidak akan mungkin.

Beberapa saat kemudian Raka juga sudah tiba di rumah sakit. Dia berlari  menuju Revan dan Kian. "Lo gak apa-apa kan Rev?"

"Tarik nafas dulu lah lo, langsung ngomong aja. Kayak kuda balapan aja lo Ka." Kian menyodorkan satu botol air mineral pada Raka.

Raka mengambil botol air mineral tersebut, meminumnya dan kemudiam memandang Kian dengan sedikit kesal. "Lo ngatain gue kuda Yan?"

"Kagak lah kambing!" Kian membalas kesal.

Rasanya kekesalan Raka makin menumpuk. "Tadi kuda sekarang kambing, monyet lo!"

"Perasaan salah mulu gue ngomong." Kian mendumel.

Revan hanya bisa menghela nafasnya pelan. "Tom & Jerry, kalau kalian mau berantem terus dengan senang hati gue bakal jadi spike!"

"Eh Rev, kita udahan kok udahan. Lo sih Yan." Disana Kian langsung memberikan tatapan membunuh pada Raka yang hanya dibalas Raka dengan raut mengejek. "Lo belum jawab pertanyaan gue Rev, lo gak kenapa-napa kan?"

Revan tahu arah mata Raka melihat luka-luka di wajahnya, tapi saat ini Revan memang tidak mau membahas. "Gue gak apa-apa, malah Devan yang sekarang kenapa-napa."

"Gue yakin Devan kuat kok Rev. Percaya sama gue, dia bakal ceria lagi." Raka menghibur sang sahabat.

Revan hanya tersenyum. Dia bersyukur masih memiliki teman-teman sebaik mereka, walau terkadang kedua temannya itu bertingkah di luar akal sehat.

Setelah beberapa jam, dr. Ryan akhirnya keluar dari kamar pemeriksaan. Jantung Revan berdegup sangat cepat setiap kali dr. Ryan akan mengatakan mengenai keadaan Devan. Revan selalu ingin mendapatkan kabar baik dari dr. Ryan, meski itu akan kecil kemungkinannya.

Dr. Ryan menjelaskan keadaan Devan saat ini pada Revan. Remaja laki-laki itu mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Pada intinya Revan bersyukur karena Devan sudah baik-baik saja, walaupun ada beberapa penjelasan dr. Ryan memberitahukan sesuatu yang lain. Yang Revan tahu bahwa sesuatu itu adalah hal yang tidak bisa dipandang remeh.

.

.

.

.

.

Suara derap langkah lalu-lalang memang selalu terdengar di dalam gedung bernuansa putih tersebu. Banyak manusia yang menggantungkan asa dan harapan mereka disana hanya untuk sekedar bertahan lebih lama lagi. Entah itu satu menit, satu jam, satu hari, satu bulan bahkan satu tahun. Pastinya mereka akan sangat bersyukur jika harapan mereka dapat terwujud.

Remaja laki-laki bernama lengkap Devano Davian Putra itu mencoba membuka kedua matanya yang masih cukup berat. Hal yang dia ingat adalah bahwa kemarin dia sangat khawatir mengenai Revan hingga tiba-tiba tubuhnya merasa sangat lemas dan suara teriakan Kian yang terdengar olehnya.  Wajahnya langsung menyendu kala Revan kembali teringat, hingga dia melihat kepala seseorang yang tertidur di atas tempat tidurnya.

Devan langsung merasa lega setelah melihat orang yang sangat dikhawatirkannya kemarin ada bersamanya kini. Revan sedikit merada terganggu dengan pergerakan seseorang di dekatnya. Mata remaja sang idola sekolah itu akhirnya terbuka. Saat ini raut wajah Revan benar-benar bahagia, sang adik kembar sudah membuka kedua matanya atau sadar.

Revan segera bangkit dari posisinya. "Kapan lo sadar Dev? Sebentar, gue panggilin dulu dokter ya."

Devan hanya bisa mengangguk. Keadaannya masih cukup lemah.

Tidak lama kemudian dr. Ryan dan para perawat memasuki kamar rawat Devan. Dengan sopan dr. Ryan meminta Revan untuk keluar dari ruangan karena dirinya akan memeriksa dulu keadaan Devan. Tetapi saat Revan akan melangkah keluar, Devan memegang tangannya kuat.

"Kenapa Dev?" Tanya Revan lembut.

Devan berkata lemah. "Lo disini aja Rev, jangan pergi."

"Tapi dr. Ryan nyuruh gue keluar. Sebentar kok." Revan menjelaskan agar Devan mengerti.

Devan memandang  dr. Ryan, seolah meminta agar Revan tetap bisa bersamanya. "Kali ini aja dok, gapapa kan?"

Dr. Ryan tersenyum kemudian mengangguk. "Oke. Lagian Revan tipenya orang yang pendiem."

Devan tersenyum mendengar persetujuan dr. Ryan.

Tidak terasa Devan sudah berada 5 hari di rumah sakit. Ini adalah hari terakhirnya dan sekarang dia bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Berada di rumah sakit memang tidak menyenangkan. Dia merasa tubuhnya sangat kaku karena tidak banyak bergerak. Terlebih tentu saja karena Revan dengan senang hati langsung mencegahnya jika melakukan sesuatu yang cukup berat.

Seperti biasa Revan sibuk membereskan barang-barang milik Devan. Sang kakak kembar sama sekali tidak mengizinkannya untuk beraktivitas. Devan memandang punggung Revan yang masih sibuk membereskan barang-barangnya. Entah kenapa punggung Revan terlihat sangat kokoh. Padahal usia mereka sama, bahkan mereka kembar. Namun Devan bisa merasakan perbedaan yang besar diantara dirinya dengan Revan.

Suatu saat Revan akan mengurusi keluarganya sendiri. Devan yakin Revan akan menjadi pemimpin yang baik. Maka itu adalah saatnya dirinya tidak akan bisa sering bertemu dengan Revan. Sang kakak tidak akan lagi bermanja padanya. Keprotektifannya yang terkadang berlebihan itu mungkin akan menghilang tak lagi menyapanya. Tetapi meskipun memang itu akan terjadi, Devan akan senang. Dia sangat berharap bisa menyaksikan transformasi Revan bersama dengannya, bisakah dia berharap demikian? Untuk bertahan sampai saat itu?

Sementara itu Revan yang sedari tadi diperhatikan menatap bangga pada hasil pekerjaannya. Sudah selesai dan sangat rapih. Kemudian dia melirik ke arah Devan. Senyuman di wajah Revan langsung terpatri. Beberapa hari ini Devan selalu manja dengannya. Bahkan adik kembarnya itu tidak menolak ketika Revan menyuapinya. Devan juga seringkali meminta agar Revan tidak jauh-jauh darinya.

Devan mengerutkan keningnya ketika Revan memandangnya balik. Tatapan Revan sangat intens, semakin dalam dan semakin dalam. Devan memundurkan tubuhnya saat Revan melangkah sedikit demi sedikit mendekatinya. Bola mata Devan memutar malas, dia tahu pasti keabmormalan Revan saat ini sedang kambuh. Senyum jahil terpatri di wajah Revan dan sedetik kemudian teriakan menggema Devan terdengar.

Dengan wajah datar dan tidak bersalahnya Revan mencubit gemas kedua pipi Devan. "Ughh, gemesin banget sih lo Dev. Udah dari kemarin-kemarin gue nahan gemes ke lo tau gak?"

"REVANO KAMBING! ABSURD LO!" Devan langsung melepaskan cubitan Revan paksa. Barang sedetik kemudian dia mencubit balik Revan lebih 'gemas'.

Revan menahan meringis merasakannya, dia tidak sempat kabur. "Dev, muka gue ini! Jangan KDRT dong!"

"Bodo amat KDRT, lo tuh yah bikin emosi mulu. Entah sampai kapan gue harus ngingetin lo buat tobat napa dah!" Devan tidak mempedulikan dan belum melepaskan cubitannya.

Revan kembali mencubit pipi Devan. "Ini tuh karena gue gemes sama adek gue yang belakangan ini manja banget, ugh gemas."

Devan mendelik, kakak kembarnya itu malah semakin menjadi. Kekuatan cubitan Devan dia tambah dua kali lipat. "Iyah Rev gue juga gemes sama lo. Nih makan tuh gemes!"

"A...ampun Dev! Ini bukan gemes namanya, ini penganiayaan. Aset berharga gue di depan para cewek jangan lo rusak dong. Nih biar seimbang gue juga tambahin kegemasan gue ke lo ya." Bukannya melepaskan, Revan malah melakukan hal yang sama. Kedua anak kembar itu sama sekali tidak ada yang mau mengalah.

"Revano kambing, lepas gak?" Ancam Devan.

Revan balik mengancam. "Ogah. Masa nyebut kakak sendiri kambing. Bocah kamvret."

"Bocah? Dasar kakak dzalim!" Balas Devan.

Revan yang kesal membalasnya balik. "Adek durhaka!"

Devan semakin sebal dengan Revan yang kepala batu. "Revano berjiwa gunung everest, lepas gak?!"

"Apa lo bilang? Devano umur dewasa tapi wajah balita!" Balas ejek Revan.

Tiba-tiba saja di tengah perdebatan mereka yang berjudul 'siapa yang lepaskan cubitan lebih dulu' seseorang datang masuk, dengan datar dia berkata. "Ya Tuhan kenapa gue harus datang disaat yang gak tepat? Apalagi dengan duo kembar aneh ini, selamatkan hamba... Amin."

Revan yang tidak ingin imej coolnya hancur di depan Ardli langsung melepaskan cubitannya dan bersikap seperti biasa. "Oh Dli, kapan lo dateng?"

"Daritadi. Oh jangan harap perubahan sikap lo bikin gue gak tau kelakuan lo tadi yah Rev." Ardli menaikan alisnya.

Revan mencoba menahan kesalnya. Dia tersenyum manis pada Ardli setelahnya. "Berani lo sebarin, tungguin hadiah dari gue ya Dli."

Ardli langsung menghentikan pikiran niat buruknya untuk membeberkan kelakuan absurd Revan. "Gue udah gak niat buruk kok Rev. Serem amat dah."

"Apa? Jadi emang udah mau niatin kayak gituh Dli?" Revan kaget mendengar penuturan Ardli.

Ardli menelan ludahnya. Ardli berani bersumpah, Revan itu menyeramkan. "Kan gajadi Rev, ampun dah."

"Rev udahlah, Ardli baru dateng udah lo mau bikin mewek aja anak orang. Kasian." Devan menghentikan amukan Revan.

Ardli berterima kasih pada sahabatnya itu. "Makasih Dev, emang penyelamat gue lo tuh."

"Penyelamat apaan? Dasar temen laknat 5 hari gue di rumah sakit, lo baru jenguk di hari terakhir. Mana sini bayar! Ngejenguk tuh harus bawa sesuatu bukan tangan kosong doang!" Devan mencibir.

Ardli ingin sekali menarik kata-katanya pada Devan tadi. "Yah maaf, gue ada urusan keluarga. Cih matre banget, sakit juga. Nih gue udah korbanin sebagian nyawa (baca: nyawa-> uang) gue buat lo doang."

"Gituh dong, kalau gini baru gue anggap lo sahabat." Devan mengambil bingkisan makanan kesukaannya yang diberikan Ardli.

Ardli menghela nafasnya. "Sekarang gak cuma pacaran doang diukur dari duit, tapi persahabatan juga huhu."

"Gak usah mewek. Berisik." Revan mengejek Ardli dengan wajah datarnya.

Ardli semakin merengek. "Tega lo Rev."

"Lo kesini cuma bawa buat Devan doang? Buat guenya mana Dli? Kalau lupa susulin besok di sekolah ya Dli?" Revan tersenyum amat manis.

Ardli meratapi nasibnya, dia ingin menolak tapi tidak mau mati muda di tangan Revan. Apalagi dia masih jomblo. "Aish, itu nyawa gue mau kalian apain lagi dah."

Revan menatap Ardli lembut. "Yaudah, gue minta nyawa lo yang lain aja kalau gituh."

"Dev sumpah, bantuin napa?" Ardli mencoba meminta bantuan Devan.

Devan hanya mengedikkan bahu. "Gue baru sembuh gak boleh banyak gerak sama ngomong."

Ardli akhirnya hanya bisa pasrah dan berteriak dalam hati. 'Gue pengen nampar Devan tapi sayang'. 'Gue juga pengen nampar Revan tapi takut ditampar balik, pake besi malah!'

Mereka bertiga terlarut dalam perbincangan sebelum pulang. Setelah itu Ardli membantu Revan untuk membawa Devan pulang ke rumah bersama. Hari ini tantenya Andrea memang tidak bisa datang karena ada urusan bisnis. Maka dari itu Ardli meminjamkan mobil keluarganya untuk mengantar Devan pulang ke rumah mereka.

Ardli ikut sampai dengan Devan pulang ke rumah. Bisa Ardli lihat dengan jelas, bahwa sahabatnya itu masih cukup lemas. Ardli tau seberat apa penyakit yang diderita oleh sahabatnya itu. Jika bisa Ardli akan melepaskan nyawanya sebanyak mungkin untuk sahabatnya itu. Pandangan Ardli kini beralih pada kembaran sahabatnya. Revan itu tegas dan kuat di mata semua orang, karena Ardli tahu Revan melakukan semua itu karena sang adik, Devan. Dia sangat berharap tidak akan pernah terjadi sesuatu yang buruk lagi di dalam kehidupan kedua anak kembar tersebut.

Ardli pamit pulang setelah berada satu jam di rumah Revan dan Devan. Sebelum pulang, Ardli menitipkan catatannya kepada Revan. Di dalam catatannya itu ada beberapa pelajaran yang sudah tertinggal oleh Devan selama dia di rumah sakit. Revan berterima kasih pada Ardli karena sudah memberikan catatannya dan membantu membawa Devan untuk pulang ke rumah. Yang dibalas oleh senyuman oleh Ardli tentu saja. Dibalik wajah dan sikapnya yang tegas, Ardli tahu bahwa Revan memang seseorang dengan hati yang sangat lembut.

.

.

.

.

.

Akhirnya setelah 3 hari di rumah, hari ini Devan bisa kembali sekolah. Tubuhnya juga sudah lebih terasa segar dan sehat. Apalagi Revan memang selalu tidak membiarkannya untuk melakukan aktivitas apapun. Sebenarnya Devan sangat siap dengan  bantahannya namun melihat raut tegas Revan membuat Devan hanya bisa menurut.

Revan menyiapkan sarapan mereka seperti biasa. Aroma sedap masakan buatan Revan langsung tercium. Devan merasa semakin hari semakin jago saja Revan memasak. Bisa-bisa dia ikut *master chef jika Revan mendalami bakatnya ini.

Devan memakan sarapannya sembari mengotak-ngatik ponselnya. Tabiat anak remaja di zaman sekarang, makan sambil memainkan ponsel. Revan memutar bola matanya malas melihat kelakuan adik kembarnya. Ternyata Devan saat ini tengah membuka game MMORPG kesayangannya, beberapa hari tidak log in membuat levelnya cukup tertinggal. Maka dari itu Devan saat ini sedang serius mencari cara untuk mengatasi ketertinggalan dari rekannya gamenya yang lain.

Revan ber'dehem' memperingatkan sang adik. "Dev, rame bener tuh hape."

"Iya ada event baru Rev. Kalau ngerjain event ini, gue bisa ngejar level yang lain." Devan menjawab tanpa melihat Revan.

Revan beranjak dari duduknya, dia mendekati Devan dan mengambil paksa ponsel Devan. "Makan atau gue reset game lo ini?"

"Yak! Revano kebiasaan banget sih lo." Balas Devan tidak terima.

Revan mencoba untuk bersabar. "Lo yang kebiasaan, main game terus. Sambil makan juga. Jangan-jangan lo begadang lagi?"

"Kagak Revano mommy." Ditatap selidik begitu membuat Devan langsung menurut dan memakan sarapannya.

Revan tidak berniat untuk membalas ejekan Devan. "Nih gue kembaliin, simpen hapenya, habisin sarapannya dulu terus minum obat."

"Obat mulu yang diminum, kali-kali sprite kek." Devan mendumel.

Revan memjamkan matanya sesaat, Devan mulai kembali  menyebalkan. "Diingetin tuh bilang makasih, bukan jawab yang lain-lain."

"Lain-lain, lain-lain yang youtuber gamer itu?" Devan kembali menjawab.

Revan gemas menahan kesalnya. "Itu Leein! Bisa gak sih lo tuh kalau dikasih tau gak usah jawab."

"Kalau gak jawab tar lo macem ibu-ibu rumah tangga yang serba salah ma anaknya kayak waktu itu." Devan mencibir.

Revan menghembuskan nafasnya kasar. "Gini yah Devano, gue itu ngasih tahu demi kebaikan lo sendiri."

"Hadeh stop Rev. Gak usah tausiyah, gue udah tau kelanjutan kalimat lo kok." Devan kembali menjawab seenaknya.

Revan memilih untuk diam dan mulai beranjak. "Duluan."

Devan mengernyit bingung. "Kemana? Jangan tausiyah depan rumah Rev, malu ma tetangga."

"Ke sekolah bego, ini udah telat. Ngoceh aja sana terus, gue duluan ya Devano." Revan menaiki motornya.

Devan yang sadar langsung segera menghabiskan sarapannya dan meminum obatnya. "Rev, tungguin gue woy!"

Revan dan Devan sudah tiba di sekolah mereka sekarang. Devan merasa aneh, karena para siswi di sekolahnya terlihat berkumpul seolah menunggu sesuatu. Devan kemudian melirik Revan yang sudah melepas helmnya. Teriakan para siswi itu langsung terdengar karena Revan yang membuka helm. Devan bisa menyimpulkan bahwa sesuatu yang tengah mereka tunggu itu adalah seorang Revano Ardian Pratama.

Dari arah lain terlihat dua orang makhluk maksudnya kedua sahabat Revan menghampiri. Kian langsung heboh melihat para siswi yang sengaja menunggu Revan.

"Cieh sekali idola tetep idola." Kian mengeluarkan pujiannya.

Revan hanya menjawab datar. "Ck. Idola apa, tiap hari gue juga sekolah."

"Yah tapi beda, kemarin-kemarin meskipun lo sekolah, batang hidung lo hampir sama sekali gak keliatan. Datang langsung pulang nungguin Devan. Seolah lo lagi menghilang ke tempat yang jauh. Makanya mereka sampai kayak gini." Raka menjelaskan kenapa sampai hal ini terjadi.

Devan memandang wajah sendunya setelah mendengar itu. "Gue ngerepotin lo ya Rev?"

"Aish nggak lah Dev.  Lo adek gue, adek kembar gue. Kenapa gue harus ngerasa direpotin." Revan mengacak rambut Devan dengan gemas.

Devan kali ini tidak menolak, baginya ini terasa hangat. "Bisa aja lo Rev, romantis amat kayak Dilan."

"Hueeek, Ka bisa lo jelasin kenapa gue harus kejebak di drama ini?" Kian memasang ekspresi mau muntah.

Revan memandang Kian, dan berucap dingin. "Lo muntah? Mau gue acak-acak juga lo Yan?"

"Kagak Rev. Gue gak muntah, gue terharu." Kian langsung membela diri.

Raka hanya memutar bola matanya malas. "Udah woy, bentar lagi masuk kelas. Lagian mau sampe kapan kalian romantisan terus? Tuh para cewek udah mandangin kita dengan tatapan membunuh mereka."

"Enak aja lo Ka, gak romantis. Mit amit gue masih suka teteh bahenol." Balas Devan tidak terima kemudian melangkah menuju kelasnya.

Kian menggelengkan kepalanya. "Kakak adek sama tsunderenya."

Revan langsung menatap Kian. "Tsun apa lo bilang?"

"Tsun...... Tsunade di anime Naruto, seksi banget kan Ka?" Kian langsung menyelamatkan diri.

Raka hanya bisa mengangguk mengiyakan. Dia tidak mau Kian terkena amukan  Revan. "Iya Yan iya dia seksi kan."

"Ck. Gue duluan."

Revan tidak mau terlibat lagi dengan kedua makhluk tersebut dan memilih memasuki kelas terlebih dahulu.

Sementara itu ketika pelajaran dimulai Ardli sama sekali tidak mendapatkan ketenangan. Ponselnya selalu saja muncul notifikasi pesan masuk. Dan semua pesan masuk itu dia dapatkan dari Revan.

To: Ardli babunya Devan

Pokoknya lo harus jagain Devan. Jangan biarin dia kecapekan sama jajan sembarangan.

To: Kakaknya Devan titisan setan

Sana jagain sendiri dan bilang sendiri, gue bukan babunya lo Rev!

To: Ardli babunya Devan

Berani juga lo. Kalau gue yang bilang, gue yakin Devan nolak. Udah nurut aja napa, atau lo pengen gue sapa 'sayang' tiap hari?

To: Kakaknya Devan titisan setan

Ngancem aja lo dasar muka tembok!

To: Ardli babunya Devan

Gue tunggu di depan gerbang sekolah ya nanti pulangnya.

To: Kakaknya Devan titisan setan

Ya Rev iya! Gue nurut! Gue jagain Devan dan gakan ninggalin Devan barang sedetik pun.

To: Ardli babunya Devan

Gituh dong kalau mau selamet.

Ardli hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar setelah berbalas pesan dengan Revan. Memang benar perintah Revan itu tidak ada yang bisa menolak kecuali Devan. Untung saja Pak Ganjar tidak menyadari jika dirinya memainkan ponsel, jika tidak sudah habis Ardli dihukum. Sementara orang yang tengah didebatkannya malah menatap Ardli dan tertawa kecil, seolah menertawakan penderitaannya. Devan sendiri tidak tahu mengapa dia tertawa, dia hanya merasa bahwa Ardli sedang bernasib buruk saja. Kawan sejati bukan?

Kini waktu istirahat sudah tiba di salah satu SMA Kota Bandung tersebut. Seperti biasa Kian, Raka dan Revan menuju kantin yang sudah seperti basecamp kedua bagi mereka tentunya setelah ruangan OSIS bagi Raka dan Kian. Mereka bertiga memesan makanan, Raka dengan jus jambu dan pempeknya, Kian dengan pesanan ind*mie rebus dan teh manis, Revan jus jeruk dan nasi goreng.

Menunggu beberapa menit, akhirnya pesanan mereka bertiga datang. Ketika sedang memakan makanannya, Raka menghentikan acara makannya. Matanya menangkap sosok seorang yang begitu familiar.

Sang ketua OSIS langsung bangkit berdiri dan menghampiri orang tersebut. Revan dan Kian saling bertukar pandangan satu sama lain. Setelah melihat siapa orang yang hendak Raka datangi, akhirnya Revan dan Kian juga mengenali orang tersebut dan segera menyusul Raka.

"Bang Arjun tumben kesini, kangen sekolah ya?" Kian langsung bertanya.

Arjun menjawab dengan senyuman. "Ini, gue kesini ngasihin PR lo yang ketinggalan Ka. Jadi gue sengaja kesini."

"Makasih Bang. Padahal bisa lo gojekin aja. Gue tau lo sibuk." Raka mengambil buku PR nya dari tangan Arjun.

Arjun sangat memahami mengapa Raka bersikap demikian. "Gue sekalian cari makan, makanya kesini Ka."

"Udahlah Ka yang penting lo bakal selamat dari hukuman nanti." Revan menyemangati sang sahabat.

Kian kembali antusias bertanya pada Arjun. "Gimana Bang? Banyak yang berubah gak dari sekolah? Ceweknya jadi tambah pada bohay loh."

Arjun hanya bisa menanggapi kikuk. "Belum kepikiran kalau soal itu Yan."

"Cewek-cewek lo ah! Laku aja belum." Raka menggeplak sayang kepala Kian dengan buku PRnya.

Revan mendecak. "Maklum Bang, mereka Tom & Jerry SMA ini."

Arjun tersenyum melihat kedekatan sang adik dengan teman-temannya. "Gue pamit dulu ya, baik-baik di sekolah ya Ka."

Raka terperangah, Arjun mengacak rambutnya. Rasanya sangat hangat sekali. Perasaan yang sudah lama sangat dia rindukan. "Aish Bang, malu gue diejek si Kian Santang nanti."

"Uugh dedek gemes." Benar saja Kian langsung mengejek.

Raka membalas. "Mending gue gemesin, dari pada lu nge-nggakenakin dipandang."

"Rakambing lo!"

Revan menepuk dahinya. "Saling jawab lagi, gua lakban kalian berdua."

"Kita diem!" Jawab Kian dan Raka berbarengan.

Arjun hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Kalau gituh, gue asli pamit ya. Baik-baik kalian disini."

"Oke Bang, hati-hati dijalan ya." Revan menjawab sopan.

Setelah Arjun pulang, kini Raka bicara. "Gue traktir kalian buat makan sekarang."

Kian mengernyit. "Weh tumben lo, gak kerasukan angin nya avatar aang kan?"

"Bilang makasih napa, gue udah baik." Jawab Raka dengan malas.

Kian merangkul pundak Raka. "Makasih Raka sayang!"

"Najis lo! Sono jauh-jauh dari gue." Raka melepaskan rangkulan Kian paksa.

Revan sendiri dia hanya diam menyaksikan keduanya. Dia bisa melihat ada raut bahagia di wajah Raka. Dia sangat tahu bahwa perhatian Arjun yang sekecil itu bisa membuat Raka bahagia. Apalagi Arjun memang sangat sibuk. Raka jadi hanya seperti tinggal seorang diri.

.

.

.

.

.

Revan dan Devan kini sudah berada di rumah mereka. Dengan cepat kedua anak kembar itu langsung mengganti seragam mereka. Setelah itu hari berubah menjadi malam.

Saat ini Revan tengah bersiap-siap untuk berangkat ke tempat kerja paruh waktunya. Dia memang lelah terlebih sebentar lagi akan ada ujian nasional dan mempersiapkan acara untuk kelulusan nanti. Tetapi Revan harus melakukan semua ini, maka dari itu dia tidak akan patah semangat.

Devan memperhatikan punggung Revan yang mulai menghilang dari pandangannya. Dalam hatinya dia ingin sekali mengatakan bahwa Revan sudah jangan bekerja, istirahat saja namun Devan yakin kakak kembarnya itu pasti menolak. Revan akan selalu teguh pada pendirian yang sudah dia tegakkan sendiri.

Kakak kembarnya itu sudah berangkat bekerja, mungkin sudah dua jam. Tetapi Devan sama sekali belum bisa tertidur. Ada perasaan aneh beberapa hari ini yang dia rasakan setelah mengetahui mengenai Haris. Rasa khawatir tidak pernah terlepas dari Devan kepada Revan.

Revan memasuki rumah dengan pelan, takut-takut jika dia membangunkan Devan yang mungkin  sudah tertidur.  Mata milik Revan sedikit terkejut melihat sang adik kembar malah duduk di ruang tamu dan sama sekali belum memejamkan matanya. Ini sudah sangat larut malam padahal, Revan tidak mau sampai adiknya itu kembali sakit.

Revan berucap pelan dan sangat lembut, dia tidak mau memarahi sang adik karena begadang. "Kenapa lo belum tidur Dev? Ini udah malem banget loh."

"Eh Rev, lo udah pulang? Gue gak bisa tidur." Devan menjawab dengan jujur.

Revan mendudukkan dirinya disamping Devan. "Ada hal yang lo pikirin Dev?"

"Gue gak tahu kenapa, khawatirin lo banget Rev." Akhirnya Devan memberitahukan kegelisahannya.

Revan tahu ini semua karena Devan yang mulai penasaran mengenai Haris. "Kenapa emang? Gue masih disini dan sehat walafiat kok Rev."

"Tapi beda gituh, gue ngerasa lo bakalan pergi ninggalin gue Rev." Entah mengapa air mata Devan jatuh tanpa dirinya komandai.

Revan terkejut dan langsung menghapus air mata Devan. "Ninggalin lo Dev? Gak akan pernah gue kayak gituh Dev."

"Beneran lo gakan pergi kan Rev?" Nada sedih itu masih terdengar dari mulut Devan.

Revan membawa sang adik ke dalam pelukannya dan mengusap-ngusap lembut punggung Devan. "Lo tahu kan kalau gue udah janji, gue adalah orang yang megang janji dan gakan pernah ngelanggarnya kan Dev?"

"Ya, lo adalah orang yang selalu megang kata-kata sendiri. Tapi gue mau lo jaga diri juga. Jangan terlalu maksain tubuh lo, kalau lo emang capek ya istirahat." Devan meminta dengan tulus pada Revan.

Revan tersenyum mendengar perhatian Devan. "Seneng banget deh di perhatiin sama adek gue yang manis ini."

"Mulai lagi dah lo Rev." Devan berkata malas.

Namun detik selanjutnya, mata Revan berubah tajam. Dia menatap serius ke dalam mata Devan. "Dev gue gakan pernah pergi dan tinggalin lo, dan lo harus percaya bahwa kita gakan pernah ninggalin satu sama lain."

Devan sangat berharap tekad besar di dalam mata Revan itu benar-benar menjadi kenyataan.

.

.

.

.

.

.

To Be Continue..............

Jangan lupa untuk vomment dan klik masukin ke reading list kalian!

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!