Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 # Pingsan
Aliza tiba di rumah sebelum pukul lima sore. Begitu memasuki kamar, langkahnya langsung terhenti. Matanya membesar saat melihat Tuan Muda Nadeo sudah duduk di tepi tempat tidur, menatapnya dengan ekspresi sulit terbaca.
Dengan cepat, Aliza merogoh tasnya dan mengambil ponsel. Mungkin ia melewatkan pesan dari Sekretaris Mark—tapi tidak ada satu pun notifikasi baru. Layar ponselnya kosong.
Jantung Aliza mulai berdetak lebih cepat. Kenapa dia sudah pulang? pikirnya panik. Suasana kamar terasa tegang, seolah udara di dalamnya menolak bergerak.
Aliza menggenggam ponselnya erat, mencoba menenangkan diri. Namun pandangan tajam Tuan Muda Nadeo membuat tenggorokannya terasa kering.
“Kenapa... Tuan sudah pulang?” suara Aliza terdengar ragu, nyaris berbisik.
Nadeo menatapnya lama sebelum menjawab, suaranya dalam dan tenang namun mengandung tekanan yang membuat Aliza menunduk.
“Apakah sekarang kalau aku ingin pulang harus meminta izin darimu? Ini rumahku, Aliza. Terserah aku mau pulang jam berapa saja,” ujar Tuan Nadeo dengan nada dingin.
“Maaf, Tuan. Saya tidak menyambut Anda saat pulang, sebab Sekretaris Mark tidak memberi tahu saya perihal kepulangan Anda,” ucap Aliza pelan, menundukkan kepala.
“Hmm… mm,” ujar Tuan Muda Nadeo pelan, matanya menyipit menimbang Aliza. “Baiklah. Kali ini aku maafkan kamu. Tapi lain kali, kalau kamu tidak ada di rumah saat aku pulang, kamu akan mendapat hukuman.”
“Baik, Tuan Muda,” jawab Aliza, suaranya tercekat namun patuh, tangannya mengepal di sisi tubuh.
Tuan Muda Nadeo memijit keningnya perlahan, wajahnya tampak letih setelah seharian bekerja.
Aliza yang melihat itu langsung melangkah mendekat, suaranya lembut namun penuh kehati-hatian.
“Tuan Muda, apakah Anda baik-baik saja? Atau… ada yang sakit?” tanyanya pelan.
Nadeo tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, lalu membuka mata dan menatap Aliza sekilas.
“Siapkan air hangat di bathtub, seperti biasa. Aku ingin berendam,” ucapnya singkat.
“Baik, Tuan Muda,” jawab Aliza, segera menunduk dan bergegas ke kamar mandi untuk menyiapkan air sesuai perintah.
Aliza tengah memeriksa suhu air di bathtub, memastikan hangatnya pas seperti yang biasa diinginkan Tuan Muda. Ia menuangkan sedikit sabun cair, aroma segar langsung memenuhi ruangan.
Suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Aliza menoleh sekilas, lalu buru-buru menunduk dengan wajah memanas saat menyadari Tuan Muda Nadeo sudah masuk tanpa mengenakan sehelai pakaian. Ia segera memalingkan pandangannya ke arah lain, jantungnya berdebar tak menentu.
“Airnya sudah siap, Tuan Muda,” ucapnya pelan, mencoba menjaga suara agar tetap stabil.
Nadeo hanya bergumam pendek. Ia menunduk sedikit, memejamkan mata seolah menahan lelah.
Melihat itu, Aliza memberanikan diri mendekat, lalu mulai memijat lembut bahu dan kepala Tuan Muda, mencoba meringankan ketegangannya.
“Tuan Muda… sepertinya Anda sangat lelah hari ini,” katanya hati-hati, berusaha menebak suasana hati pria itu.
"Seperti yang kamu lihat sendiri,” ucap Tuan Muda Nadeo dengan nada datar namun lelah.
Aliza tidak menjawab. Tangannya terus bergerak perlahan di bahu dan kepala Tuan Muda, berusaha meredakan ketegangan di ototnya. Keheningan di antara mereka hanya diisi oleh suara air yang tenang dan aroma sabun yang lembut.
Nadeo menarik napas panjang, lalu berkata pelan, “Pijatanmu enak sekali, Aliza. Kalau begini terus… sepertinya aku bisa terbiasa dengan perhatianmu seperti ini.”
Aliza berhenti sejenak, jantungnya berdebar, namun ia kembali melanjutkan pijatannya tanpa berkata apa-apa. Ada sesuatu di balik nada suara Tuan Muda yang membuat hatinya hangat sekaligus takut pada waktu yang sama.
“Kamu boleh keluar. Aku ingin merendam tubuhku dulu,” ucap Tuan Muda Nadeo sambil menyandarkan kepala ke tepi bathtub. “Tolong katakan pada Bu Nur, aku ingin sop iga sapi malam ini.”
“Baik, Tuan,” jawab Aliza lembut, menundukkan kepala sebelum melangkah keluar dari kamar mandi.
Begitu pintu tertutup, Aliza menarik napas panjang. Ada perasaan lega—namun entah mengapa, juga sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Setiap kali berhadapan dengan Tuan Muda Nadeo, hatinya selalu bergetar antara takut dan... sesuatu yang lain.
Aliza menuruni anak tangga dengan langkah hati-hati. Aroma bumbu dan suara dentingan panci dari dapur menyambutnya. Di sana, Bu Nur tampak memperhatikan para pelayan lain yang tengah menyiapkan hidangan.
“Bu Nur,” panggil Aliza sambil mendekat, “Tuan Muda Nadeo menyuruh Anda untuk membuat sop iga malam ini.”
Bu Nur menoleh cepat, wajahnya berubah serius. “Sop iga sapi?” ulangnya memastikan.
“Iya, Bu,” jawab Aliza pelan.
Tanpa menunda, Bu Nur menepuk tangan untuk menarik perhatian semua orang. “Baik, ganti menu makan malam! Tuan Muda ingin sop iga sapi! Ayo cepat, siapkan bahan-bahannya sekarang juga!”
Para pelayan segera bergerak, sebagian mengambil daging dari lemari pendingin, yang lain menyiapkan bumbu. Dapur yang semula tenang kini berubah ramai dan sibuk.
Aliza berdiri di sisi meja, memperhatikan semuanya berjalan dengan teratur di bawah komando Bu Nur. Meski hanya menyampaikan pesan, hatinya entah kenapa terasa lebih tenang di dapur dibanding saat bersama Tuan Muda tadi.
Aliza duduk di meja makan yang sudah tertata rapi. Suara langkah Bu Nur terdengar mendekat, membawa aroma masakan yang menggoda.
“ Nona, ingin minum apa?” tanya Bu Nur sopan sambil menunduk sedikit.
Aliza tersenyum lembut. “Jika Bu Nur tidak keberatan, boleh buatkan saya teh hangat?”
“Baik, Nona,” jawab Bu Nur, kemudian berbalik menuju dapur untuk menyiapkan minuman.
Aliza menyandarkan punggungnya ke kursi. Pandangannya menerawang ke arah jendela, tempat cahaya senja mulai meredup. Suasana rumah terasa tenang, tapi pikirannya masih dipenuhi bayangan wajah Tuan Muda Nadeo — tatapan dingin yang sulit ia artikan.
Aliza menikmati teh hangat yang dibuatkan oleh Bu Nur. Aroma teh yang lembut menenangkan pikirannya untuk sesaat. Setelah cangkirnya kosong, ia bangkit perlahan dan kembali menuju kamar.
Namun, begitu membuka pintu, Aliza tidak mendapati Tuan Muda Nadeo di sana. Ia menatap ke arah kamar mandi, wajahnya tampak ragu.
Apa Tuan Muda masih berendam di bathtub? pikirnya dalam hati.
Biasanya, Nadeo tidak pernah berlama-lama di kamar mandi. Perasaan cemas mulai muncul di dada Aliza. Ia segera menyiapkan pakaian ganti seperti biasa, melipatnya dengan rapi di atas tempat tidur.
Tubuhnya sendiri terasa lengket oleh keringat, ingin rasanya segera mandi. Tapi ia tak berani mengetuk pintu kamar mandi—takut mengganggu Tuan Muda.
Akhirnya, Aliza memutuskan pergi ke kamar kosong di ujung lorong. Di sana, ia mengisi bathtub dan berendam sebentar untuk menenangkan diri.
Tiga puluh menit berlalu, air mulai mendingin. Aliza menyelesaikan mandinya, lalu segera kembali ke kamar utama. Namun begitu ia masuk, suasana kamar masih sama seperti sebelumnya—sunyi, kosong.
Aliza menatap sekeliling dengan dahi berkerut.
Ke mana Tuan Muda pergi?
Mata Aliza tertuju pada pakaian ganti yang tadi ia siapkan. Letaknya masih sama—tak tersentuh.
Apakah Tuan Muda belum juga keluar dari kamar mandi? pikirnya cemas.
Perasaan risau membuat langkahnya tanpa sadar mendekati pintu kamar mandi. Ia mengetuk pelan.
“Tuan Muda?” panggilnya. Tak ada jawaban.
Degupan jantung Aliza semakin cepat. Dengan hati-hati, ia membuka pintu. Asap tipis dari air hangat masih memenuhi ruangan. Pandangannya terhenti saat melihat Tuan Muda Nadeo terbaring lemah di dalam bathtub, wajahnya pucat.
“Tuan Muda!” seru Aliza panik. Ia segera menghampiri dan menyentuh dahinya. “Panas…!”
Tanpa pikir panjang, Aliza berusaha membangunkannya, tapi tubuh Tuan Muda tak juga bereaksi. Dengan seluruh tenaga dan penuh kehati-hatian, Aliza menarik tubuhnya keluar dari bathtub dan membaringkannya di atas kasur.
Tangannya gemetar saat ia mengambil handuk untuk mengeringkan air di wajah dan leher Tuan Muda. Nafasnya terengah, antara panik dan takut. Ia menutupi tubuh pria itu dengan selimut, lalu berlari keluar memanggil Bu Nur.
“Bu Nur! Cepat! Tuan Muda pingsan!”
hati dah mulai suka ma istri tapi munafikun kamu ,tunggu aja nanti jg nongol lagi bikin huru hara