Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Hanum, kamu rumahku.
Malam itu udara terasa berat. Langit di luar jendela rumah keluarga Biantara diselimuti awan pekat, dan angin malam bertiup pelan membawa aroma lembab tanah yang baru disiram hujan. Mobil hitam berhenti di halaman luas, dan dari dalamnya keluar sosok Abraham Biantara, wajahnya kaku, rahang mengeras, mata tajam menyimpan bara amarah yang belum padam sejak ia meninggalkan kantor sore tadi.
Dia baru saja mengetahui bahwa Rania berani mempermainkan nama mendiang istrinya. Tidak cukup dengan intrik bisnis, wanita itu bahkan menyentuh sesuatu yang paling suci baginya, kenangan tentang Alma. Dan ketika seseorang berani bermain di atas luka yang belum sembuh, maka batas kesabarannya telah habis.
Abraham membuka pintu rumah dengan langkah lebar. Suara sepatunya menggema di lantai marmer, dingin, seolah memantulkan isi hatinya malam itu. Ia ingin langsung masuk ke kamarnya, menenangkan diri, memikirkan langkah berikutnya untuk menghancurkan permainan Rania. Tapi begitu pintu kamar dibuka, langkahnya terhenti.
Seketika seluruh amarah yang tadi memenuhi pikirannya seperti hilang disapu angin. Hanum berdiri di balkon dengan rambut panjangnya yang tergerai lembut, bergoyang perlahan tersapu angin malam. Pintu balkon terbuka lebar, tirai tipis berwarna putih berayun pelan, menyingkap sosok wanita itu yang berdiri di bawah cahaya bulan. Gaun malam berwarna lembut yang ia kenakan menempel di tubuhnya, sederhana tapi anggun. Bahunya yang kecil terlihat bergetar ringan karena udara malam yang sejuk.
Abraham terpaku, untuk sesaat, dunia terasa berhenti berputar. Semua kebencian, semua rasa marah yang tadi menguasai dadanya lenyap. Yang tersisa hanyalah pemandangan itu, Hanum, dalam diam, dalam lembutnya kesederhanaan, namun entah bagaimana berhasil membuat dinding pertahanannya runtuh tanpa suara.
Pintu kamar ia tutup perlahan, nyaris tanpa bunyi. Hanum tidak menyadari kehadirannya. Ia masih memandang langit malam, seolah berbicara dengan bintang yang jauh di atas sana. Bibirnya tersenyum samar, seperti menyimpan sesuatu yang tidak terucap.
Langkah Abraham mendekat perlahan. Setiap derap sepatunya di karpet terdengar begitu hati-hati, seakan ia takut membuyarkan ketenangan itu. Jarak antara mereka semakin dekat, hingga akhirnya pria itu berdiri tepat di belakang Hanum.
Lalu tanpa kata, kedua lengannya terulur memeluk pinggang wanita itu dengan lembut. Tubuh Hanum menegang seketika, napasnya tertahan di tenggorokan.
“Mas Bian…?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan. Ia hendak berbalik, namun suara berat Abraham menahannya, pelan tapi penuh kekuasaan.
“Jangan,” bisiknya di telinga Hanum. “Jangan berbalik dulu.”
Suara itu rendah, serak, dan menggetarkan. Nafas Abraham terasa hangat di kulit lehernya, membuat Hanum memejamkan mata, menahan debaran yang tak terkendali. Dalam pelukan itu, dunia serasa hening. Tak ada suara lain selain detak jantung keduanya yang saling berkejaran.
Abraham menunduk, keningnya bersandar di bahu Hanum. Dalam diam, ia seolah menarik kekuatan dari kehangatan tubuh wanita itu. Seluruh beban yang menumpuk di pundaknya terasa sedikit berkurang, seolah hanya Hanum yang bisa menenangkannya tanpa bertanya apa pun.
“Aku lelah,” gumam Abraham akhirnya. Suaranya terdengar begitu dalam, penuh luka yang tak bisa diungkapkan. “Lelah menghadapi semuanya, dunia ini terlalu banyak tipu daya.”
Hanum menggenggam tangan pria itu yang masih melingkari pinggangnya. Ia tak tahu apa yang terjadi, tapi ia bisa merasakan luka itu, getir yang tersembunyi di balik dinginnya suara suaminya.
“Mas…” Hanum berbisik pelan, nyaris tak terdengar. “Selama Mas masih punya rumah ini … aku akan ada di sini.”
Abraham memejamkan mata, napasnya berat. Bisikan itu seperti menembus dinding yang selama ini ia bangun. Ia menarik Hanum sedikit lebih dekat, memeluknya seolah takut kehilangan sesuatu yang baru saja ia sadari begitu berharga.
Udara malam masuk dari celah balkon, membawa aroma lembut bunga melati dari taman bawah. Di bawah sinar bulan, dua siluet itu berdiri saling berdekapan, diam tapi penuh makna. Abraham akhirnya berbisik pelan di telinga istrinya, suaranya rendah, hampir seperti doa.
“Terima kasih, Hanum…”
Hanum hanya diam, membiarkan hangatnya pelukan itu berbicara untuk mereka berdua. Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Abraham Biantara merasa tenang.
“Jangan berbalik…” bisik Abraham dengan suara yang dalam, berat, dan nyaris bergetar.
Hanum mematung, dia bisa merasakan degup jantung pria itu menekan punggungnya, terasa cepat dan keras, seolah menahan sesuatu yang lama tertahan.
“Untuk malam ini…” ucap Abraham lirih, napasnya hangat di sisi telinga Hanum. “Aku hanya ingin kau di sini. Aku ingin melupakan semuanya, Rania, masa lalu, dan semua hal yang menghantui pikiranku.”
Hanum tak menjawab, tetapi genggaman tangan Abraham di pinggangnya semakin kuat, seolah takut kehilangan. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan itu, merasakan kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan.
Perlahan, Abraham membalikkan tubuh Hanum. Tatapan mereka bertemu, mata lelah penuh luka bertemu dengan mata yang tenang dan hangat. Tak ada kata yang keluar. Hanya diam yang menggantung, cukup untuk menyalurkan rindu yang tak terucap.
Abraham mengangkat tangannya, menyentuh pipi Hanum dengan lembut. “Aku sudah terlalu lama hidup dalam bayangan Alma,” katanya nyaris berbisik. “Tapi sekarang … aku sadar, yang ada di hadapanku bukan masa lalu, tapi kau, Hanum.”
Hanum tertegun, matanya mulai berembun.
Dan di antara tatapan yang panjang itu, keduanya membiarkan dunia di luar sana memudar menyisakan hanya keheningan, kehangatan, dan ketulusan yang mulai tumbuh kembali.
“Hanum…” suara Abraham rendah, hampir bergetar. “Kau tahu … aku tidak pernah setenang ini sejak Alma pergi.”
Hanum mengangkat wajahnya perlahan, menatap matanya yang kelam namun penuh rasa sakit.
“Aku tidak ingin menggantikan siapa pun, Mas. Aku hanya ingin tetap di sini … bersamamu.”
Abraham menarik napas panjang. Ia menunduk, menyentuh kening Hanum dengan lembut.
“Aku tahu, tapi malam ini … aku hanya ingin merasakan bahwa aku masih hidup. Bahwa aku masih bisa mencintai.”
Hanum tak menjawab, hanya jemarinya yang terangkat menyentuh wajah Abraham, seolah menenangkan badai yang selama ini tersembunyi di dalam dirinya.
Ketika bibir mereka bertemu, bukan lagi karena dorongan rindu atau amarah, tapi karena keinginan untuk saling menghapus luka yang terlalu lama membekas.
Waktu seakan berhenti di antara mereka.
Cahaya lampu yang temaram memantul di kulit mereka, diiringi desau angin yang masuk lewat celah balkon. Tak ada lagi kata, hanya napas yang berpadu, dan sentuhan yang saling menemukan jalannya.
Beberapa saat kemudian, Abraham memeluk Hanum erat, menatapnya dalam diam.
“Kau tahu,” bisiknya pelan, “kau membuatku ingin pulang setiap hari.”
Hanum tersenyum samar, membenamkan wajahnya di dada Abraham.
“Dan aku akan selalu menunggumu pulang … di sini.”
Abraham lalu merebahkan tubuh Hanum pada ranjang itu menatapnya dengan mata tajam seakan menebus dinding pertahanan yang ada di antara mereka berdua. Malam itu, menjadi malam yang indah untuk keduanya setelah sekian lama bersama.
Mampir ke karya author ya, ganti karya yang tamat.
Btw terimakasih author bacaan yng bagus 👏👏👏❤❤❤
ceritanya keren thor.
terus semangat berkarya thor 🥰 🥰 🥰 🥰