"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Cemburu
Matahari mulai merendah, menyinari taman kecil di dekat apartemen dengan cahaya keemasan yang hangat. Angin sore bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan hingga menciptakan bayangan yang menari-nari di atas tanah.
Di sebuah bangku taman, Serena tampak sedang duduk dengan wajah cerah yang dihiasi senyum kecil. Matanya sesekali menengok ke sana-ke mari, seolah sedang mencari sesuatu di tengah keramaian yang ada.
Tak berselang lama, yang dinanti akhirnya muncul juga. Dia datang bersama dengan motor kesayangannya. Berhenti di tempat parkir, dan menitipkan kendaraan roda dua itu di sana.
Dari kejauhan, Serena bisa melihat wajah dingin Brian saat berjalan menuju ke arahnya. Namun, begitu jarak mereka semakin dekat, pria itu tersenyum dengan begitu hangat, bahkan sampai mempercepat langkah kakinya.
"Kamu nggak nangis lagi kayak kemarin?" Satu pertanyaan yang Brian layangkan berhasil membuat bibir Serena mengerucut. Entah apa yang dipikirkan oleh pria itu, suka sekali mencari gara-gara, padahal baru saja bertemu.
Brian duduk di sebelah Serena, tangannya bertumpu pada lutut yang ditekuk. Matanya menatap Serena cukup dalam, dihiasi senyum kecil yang tersembul di sudut bibirnya.
"Apa sih, baru dateng langsung ngajak berantem, nantangin?" gerutu Serena sambil melototkan matanya dengan tajam.
Melihat tingkah Serena yang demikian, Brian malah tertawa gemas.
Ini sudah menjadi seperti kebiasaan baginya. Apalagi melihat Serena mengamuk setelah dijahili. Semacam ada euforia, kebahagiaan tersendiri baginya.
"Ampun! Aku nggak berani ngelawan tuan putri yang mudah merajuk," tambahnya, masih ingin menjahili.
Kali ini Serena tak mengatakan apa pun. Dia malah memasang wajah cemberut, mirip seperti anak kecil yang sedang merajuk. Persis seperti yang Brian katakan.
"Ya udah, kamu mau cerita apa? Aku dengerin," ucap Brian akhirnya menyerah juga.
Raut wajah Serena langsung berubah 180°.
"Aku baru aja diterima kerja di tempat lain, Brian!" beritahu gadis itu dengan mata yang berbinar-binar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah.
Brian tertegun sejenak, alisnya mendadak naik. "Kerja? Maksudnya gimana? Sejak kapan kamu nyari kerja? Kok nggak bilang-bilang sama aku?"
"Perasaan aku udah bilang dari lama sama kamu deh, kalau aku mau nyari kerja di tempat baru. Aku udah nggak tahan lagi kerja di sana. Makin lama, makin gila' aku jadinya!"
"Terus? Kamu udah diterima kerja? Kok cepet banget prosesnya?"
"Aku juga nggak nyangka ini bakal secepat itu. Tadi, aku baru beres interview, dan langsung diterima kerja. Makanya, aku menghubungi kamu buat cerita soal ini," jelas Serena sejujur mungkin. Mengingat sifat Brian yang mudah salah paham, jadi sebelum ada masalah di antara mereka, mending langsung dibicarain baik-baik.
"Brian bersandar ke bangku, matanya menyipit, menatap Serena dengan tatapan menyelidik. "Kamu nggak bilang apa-apa ke aku, terus tau-tau dapat kerjaan. Di mana tempatnya?"
Serena mengerutkan kening, merasa ada yang aneh dengan nada suara Brian. "Di gedung sebelah. Nama perusahaannya, Artivio Studio. Semacam tempat percetakan gitu."
"Siapa bosnya?" tanya Brian langsung pada to the point.
Serena menyadari perubahan di wajah Brian, bahkan nada suaranya juga terkesan mengintimidasi. Dari sana Serena bisa menebak, kalau saat ini, Brian sedang tidak dalam keadaan bisa diajak kompromi.
Menarik napas panjang dalam, Serena mengumpulkan keberaniannya. Dia harus bisa meyakinkan Brian, karena dia sangat membutuhkan pekerjaan ini. Ini demi masa depannya.
"Namanya Adhan. Kayak kamu bakal kenal aja."
Belum sempat Serena menyelesaikan perkataannya, Brian langsung menyela.
"Adhan? Aku bisa aja cari tahu soal pria itu. Dia ganteng atau nggak?"
"Nggak lah. Emangnya aku itu kamu, matanya keranjang."
"Kenapa kamu nggak ikut aku aja, kita keluar kota. Kamu kerja sekalian di sana, atau kamu nggak perlu kerja, deh. Biar aku yang biayain semua keperluanmu. Daripada kamu kerja tempat baru, jatuhnya sama aja. Si Adhan itu, udah punya istri atau pacar?"
"Mana aku tahu, Bi? Emang itu urusanku? Mau dia lajang, atau udah punya pasangan, dia cuma bos aku."
"Iya, itu urusanku, Serena. Kamu tahu, kan, kalau aku nggak suka ada yang deket-deket sama kamu. Apalagi si Adhan itu."
"Sebenernya kamu mikirin apa, sih, Bi? Kamu itu tahu, kan, aku nggak mungkin main gila, di saat aku masih punya pasangan."
Brian tertawa kecil, tapi tawa itu lebih terdengar seperti ejekan. "Kamu adalah orang yang paling ngerti aku, Re. Aku juga orang yang paling ngerti kamu. Aku tahu dan aku percaya sama kamu. Tapi, aku nggak percaya sama orang lain. Kamu jadi admin di perusahaan orang lain, dengan seorang pria yang ... mungkin dia masih lajang."
"Jadi, kamu nyamain aku, sama kayak kamu. Yang suka main sama lelaki lain gitu? Aku nggak sejahat itu. Aku tahu, gimana rasanya dihianatin. Bagaimana hidupku hancur karena orang tuaku selingkuh, dan aku nggak pernah berpikir untuk melakukan hal yang sama. Kenapa kamu nggak bisa percaya sama aku?"
"Bukannya aku nggak percaya sama kamu. Tapi, dia laki-laki, Re. Kamu nggak tahu bagaimana cara laki-laki berpikir," tegas Brian, tatapannya kini lurus menembus mata Serena. "Kamu bakal sering ketemu sama dia, ngobrol bareng dia, dan nurutin semua perintah dia. Salah kalau aku cemburu?"
Serena merasa dadanya mulai memanas, seperti ada api yang membara di dalamnya. Serena paling tidak suka dengan yang namanya teriakan, bentakan, suara yang keras, atau bahkan perdebatan yang memicu adrenalin. Itu akan membangkitkan kembali semua traumanya di masa lalu.
Setiap mendengar teriakan, bentakan, atau nada suara tinggi, ia seolah diseret ke masa lalu yang jauh, masa ketika orang tuanya sering bertengkar hebat dan terlibat perselisihan sengit. Itu jauh sebelum ibunya memutuskan untuk kabur bersama selingkuhannya.
Kenangan-kenangan itu bagai racun, yang tersimpan dalam memori jangka panjang. Membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang dipenuhi dengan ketakutan, kecemasan bahkan trauma yang sulit dilupakan.
Bahkan, sekalipun bentakan itu tidak ditunjukkan untuk dirinya.
Melihat air mata Serena yang hampir jatuh, Brian merasa frustrasi pada dirinya sendiri. Dia tidak pernah bermaksud membuat Serena sedih, apalagi sampai menangis. Tapi, begitu ada indikasi bahwa Serena akan dekat dengan pria lain, rasa cemburu dan kekhawatirannya langsung meledak tanpa bisa dikendalikan.
Menarik napas dalam-dalam, Brian mencoba menenangkan diri.
Perlahan, dia mendekati Serena, tangannya yang hangat menyentuh pipi Serena dengan lembut, menghapus air mata yang mengalir di atasnya.
"Aku nggak bermaksud buat marah sama kamu, Re," ucap Brian dengan suara yang lebih lembut sekarang. Raut wajahnya penuh penyesalan. "Aku cuma ... kamu tahu aku itu orangnya mudah cemburu. Aku nggak bisa nahan diri kalau tahu kamu deket sama cowok lain. Aku takut, Re. Takut kamu berpaling dari aku. Aku takut kamu bakal ninggalin aku."
Serena hanya diam, air matanya semakin deras mengalir. Dia ingin bicara, ingin menjelaskan bahwa Brian tidak perlu khawatir, tapi kata-katanya seperti terperangkap di tenggorokan. Dia hanya bisa menatap Brian dengan tatapan campur aduk: antara kesal, sedih, dan lelah.
Brian menghela napas, lalu menarik Serena ke dalam pelukannya. "Udah ya, jangan nangis lagi," bisiknya pelan, sambil mengusap punggung Serena dengan lembut. "Oke, kamu boleh kerja di sana. Tapi janji, nggak boleh ada interaksi yang bikin aku cemburu, ya? Aku cuma mau kamu bahagia, aku mau ngejagain kamu dari laki-laki lain."
Serena mengangguk pelan, wajahnya masih basah oleh air mata yang belum sepenuhnya kering. Dia mencoba tersenyum, tapi senyum itu belum mampu menghilangkan kesedihannya.
Bukannya mencari cara untuk bisa membuat Serena tenang, Brian malah memikirkan ide yang lebih gila.
"Eh, ingus kamu sampai keluar-keluar kayak gitu," godanya sambil mengusap hidung Serena dengan lembut menggunakan ujung jarinya. Niatnya sih untuk mencoba mencairkan suasana.
Serena melotot mendengar candaan Brian, matanya membesar seperti bola pingpong. Tanpa mengatakan apa pun, dia memukul lengan Brian dengan pelan, cukup keras untuk menunjukkan kekesalannya
Brian hanya tertawa saat menerima pukulan ringan yang tak terasa sakit sama sekali. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tengah berusaha menutupi rasa cemburu dan kekesalan yang masih meluap-luap.
Dia tidak punya pilihan lain. Demi Serena, ia memilih untuk menahan diri kali ini. Baginya, yang terpenting adalah menjaga perasaan Serena.
Bersambung
Sabtu, 23 Agustus 2025