Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Jangan Baper
Matahari sore semakin meredup. Cahaya jingga menerpa kaca besar, memantul di tirai krem yang bergoyang lembut. Rumi tampak sedikit lebih segar setelah menyusui, meski wajahnya masih pucat.
Julian kembali duduk di kursinya, membuka laptop. Namun kali ini, sesekali ia melirik ke arah Rumi dan Kenzo. Tatapannya tetap dingin, tapi ada keteduhan samar yang muncul ketika melihat bayi itu terlelap dalam pelukan ibu susunya.
Bu Ita duduk di sisi ranjang, masih menggenggam tangan putrinya. Sesekali ia mengusap lembut kepala Rumi, seolah ingin memastikan anaknya benar-benar baik-baik saja.
“Rum, kalau nanti kamu sudah diizinkan pulang sama dokter. Pulang ke rumah kita ya. Dan, jangan berlarut-larut sedihnya. Biarkan mereka mengambil rumah suamimu yang tak berkah itu. Sudah waktunya kamu menyelesaikan skripsimu yang tertunda, dan kejar cita-citamu yang tertunda.
Ujung mata Julian melirik, telinganya pun waspada.
“Iya Bu, rencananya begitu. Dan, aku juga ingin bertemu dengan bos Mas Bisma. Aku ingin menjelaskan semuanya, kalau aku tidak tahu menahu masalah Mas Bisma, bahkan menerima uangnya juga tidak,” jawab Rumi pelan.
***
Senja berganti malam. Tirai krem yang menutupi jendela besar itu sudah ditutup setengah, hanya menyisakan sedikit celah yang membiarkan cahaya lampu jalan kota menembus masuk, menciptakan siluet samar di dalam ruang rawat VIP. Lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit memantulkan cahaya kekuningan, membuat ruangan terasa lebih hangat, meski udara dari AC tetap dingin menusuk.
Julian masih duduk di sofa single laptop menyala dengan cahaya putih dingin yang menerangi wajahnya. Jemari panjangnya menari cepat di atas keyboard, mengetikkan barisan kode dan data yang sulit dimengerti orang awam. Sesekali, matanya melirik ke arah ranjang tempat Rumi berbaring bersama Baby Kenzo yang sudah tertidur pulas.
Percakapan Rumi dengan Bu Ita beberapa saat lalu masih terngiang di telinganya. Tentang keinginan Rumi untuk pulang, tentang rumah suaminya yang sudah dirampas, tentang skripsi dan cita-cita yang tertunda. Julian tidak banyak berkomentar. Ia hanya diam, namun di sudut bibirnya tersungging samar sesuatu yang sulit ditebak—sebuah senyum tipis, entah sekadar refleks atau benar-benar senyum sinis penuh misteri.
Dari layar laptop, Julian menutup satu berkas pekerjaan. Napasnya teratur, wajahnya tetap tenang. Senyum samar itu hilang seiring ia kembali mengetik, seolah tidak ada yang berubah.
***
Sekitar pukul tujuh malam, pintu kamar terdengar diketuk tiga kali.
“Permisi, Pak ….” Suara berat itu terdengar.
Julian menoleh. “Masuk.”
Pintu terbuka. Seorang pria tinggi tegap dengan setelan kemeja rapi masuk membawa beberapa kantong kertas berlogo restoran mewah. Dialah Derry. Aroma harum masakan segera memenuhi ruangan, bercampur dengan wangi antiseptik rumah sakit yang sejak tadi mendominasi.
“Sesuai pesanan, Pak,” ucap Derry sambil meletakkan kantong-kantong itu di meja panjang dekat sofa.
Tak lama, Nia ikut mendekat. Dengan cekatan ia membantu Derry menata hidangan: sup buntut hangat, steak daging premium, salad segar, ayam bakar, serta beberapa piring kecil berisi side dish. Aroma kaldu yang gurih menyeruak, membuat perut siapa pun yang mencium akan tergoda.
Mama Liora yang duduk di sofa langsung bangkit. “Wah, Julian, kamu sampai repot begini segala .…”
Julian hanya menoleh sekilas. “Tidak repot. Mama harus makan, begitu juga Bu Ita. Tidak baik menunggu pasien dengan perut kosong.”
Bu Ita tersentuh. “Aduh, terima kasih banyak, Pak Julian. Saya jadi merasa nggak enak hati, sudah merepotkan.”
Julian tak menanggapi basa-basi itu. Ia hanya memberi isyarat pada Nia untuk menambahkan peralatan makan. Lalu, dengan gerakan datar, ia mengambil satu nampan stainless beroda kecil yang biasa dipakai untuk pasien—overbed table. Di atasnya, ia menaruh satu porsi makanan khusus: bubur ayam lembut, sup bening, satu potong cheese cake dan segelas jus apel tanpa gula.
“Rumi.” Suaranya dingin, nyaris tanpa intonasi. “Kamu makan sekarang.”
Rumi yang sejak tadi berbaring hanya bisa menoleh. Tubuhnya masih lemah, wajahnya pucat, dan ia tidak begitu berselera melihat makanan. “Saya … sebenarnya belum terlalu lapar, Pak.”
Julian menghentikan gerakannya, menatapnya lurus dengan mata dingin. “Kalau kamu tidak makan, tubuhmu makin lemah. Kamu mau Kenzo ikut menderita kalau kamu sakit?”
Ucapan itu menusuk. Rumi terdiam, lalu perlahan mengangguk. “Baiklah ….”
Dengan tenang, Julian mendorong meja kecil itu mendekati ranjang hingga tepat di hadapan Rumi. Ia sendiri yang membuka tutup mangkuk, mengaduk bubur agar tidak terlalu panas, lalu meletakkan sendok di sisi piring. Sikapnya teratur, rapi, seolah semua yang ia lakukan hanyalah prosedur rutin.
Rumi merasa janggal. Ada campuran rasa tidak nyaman dan bingung. Lelaki dingin itu tampak begitu teliti memperhatikan kebutuhannya, namun sikapnya sama sekali tidak menunjukkan kelembutan. Semua dilakukan seperti kewajiban, bukan perhatian.
“Silakan makan,” ujar Julian singkat.
Rumi perlahan mengambil sendok. Tangannya masih gemetar, sehingga bubur sedikit tumpah ke tepi mangkuk. Melihat itu, Julian refleks berdiri, meraih sendok dari tangannya.
“Biar saya.”
Rumi terperanjat. “Pak Julian … nggak perlu, saya bisa sendiri.”
“Bisa? Tanganmu bahkan tidak sanggup menggenggam sendok dengan stabil.” Suaranya dingin, tapi tatapannya fokus. Ia mengambil sesendok bubur, meniupnya pelan agar uap panasnya hilang, lalu menyodorkannya ke depan bibir Rumi. “Cepatlah.”
Rumi terpaksa membuka mulut, menelan bubur itu perlahan. Hangatnya merambat ke tenggorokannya, memberi sedikit tenaga. Namun, yang membuat dadanya sesak justru cara Julian memperlakukannya. Terlalu dingin, tapi juga terlalu dekat.
Beberapa sendok masuk tanpa komentar. Rumi akhirnya memberanikan diri bicara. “Pak Julian … kenapa repot sekali begini? Saya bisa makan sendiri, kalau pun pelan-pelan. Tidak usah sampai Anda yang menyuapi.”
Julian berhenti sejenak. Matanya menatap tajam, lalu ia meletakkan sendok kembali ke mangkuk. “Jangan terlalu dibawa perasaan. Apa yang saya lakukan bukan karena … simpati atau hal lain. Saya hanya memastikan kamu cukup sehat untuk bisa menyusui Kenzo. Semua ini demi anak saya, bukan demi kamu.”
Bersambung ... ✍️