"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Mantu Rahasia
Perkataan Bu Heni membuat Ayu terkejut.
Dengan nada agak kesal, Ayu menjawab, “Bu, aku nggak mau dengar kata-kata seperti itu lagi.”
“Aku tahu mungkin kata-kata Ibu tadi agak berlebihan, tapi itu semua demi kebaikanmu. Apa kamu benar-benar mau habiskan seluruh hidupmu dengan Rama?” ucap Bu Heni sungguh-sungguh.
“Aku nggak tahu...” Ayu memegangi kepalanya yang terasa pening.
Sebenarnya, Ayu tidak membenci Rama. Tapi dia sering merasa kesal karena Rama terlihat tidak punya ambisi, penampilannya juga biasa saja, dan terutama karena dia hampir nggak pernah bisa membantunya saat sedang menghadapi masalah.
“Ayu, Si Rama udah pulang belum? Trus dia udah kerjain masalah hari ini belum?” tanya Pak Sidik, yang baru pulang kerja. Sambil melempar tasnya ke sofa, dia bertanya santai.
“Katanya sih sudah pergi dan menyelesaikan semuanya, tapi aku rasa kita nggak bisa sepenuhnya percaya,” jawab Ayu sambil tersenyum pahit.
“Semua juga tahu dia nggak bisa diandalkan. Kak, aku rasa proyek itu bakal sulit kita dapat. Biar aku yang coba,” kata Yuni, sambil memakai masker wajah dan menepuk-nepuk pipinya pelan.
“Yuni, emangnya kamu bisa apa?” Ayu mengernyitkan dahi.
“Ya, dicoba dulu aja. Pacarku kerja di Perusahaan Properti Jaya, dia pegang jabatan lumayan tinggi dan punya koneksi ke Grup HAR. Mungkin dia bisa bantu kasih jalan atau saran,” kata Yuni sambil tersenyum.
Plak!
Pak Sidik menepuk lututnya lalu berdiri dengan semangat, “Wah boleh tuh! Ayah sampai lupa soal itu. Yuni, cepetan telepon pacarmu, minta tolong dia bantu kita, ya!”
“Aku ingin menelepon langsung keluarga Hartono dan memberitahu bahwa pacarku adalah seorang eksekutif di Jaya Real Estate, hanya untuk menguji respon mereka,” kata Yuni.
“Baiklah, ini aku kasih nomor Pak Agus. Silakan langsung hubungi,” jawab Pak Sidik tanpa basa-basi sambil menyerahkan ponselnya ke Yuni.
Yuni pun memutar nomornya, dan setelah beberapa dering panjang, akhirnya tersambung.
“Siapa ini?” suara Pak Agus terdengar datar dari seberang.
“Halo Paman Agus, saya Yuni Ningrum, dari Keluarga Ningrum,” ucap Yuni sambil tersenyum sopan.
“Keluarga Ningrum?” Pak Agus terdengar sedikit terkejut, lalu nadanya berubah ramah, “Oh, dari Keluarga Ningrum! Ya halo, halo.”
Perubahan sikap Pak Agus membuat Yuni sedikit kaget. Ia lalu berkata agak gugup, “Paman, pacarku sekarang adalah salah satu eksekutif di Jaya Real Estate, namanya Heri. Dia sering bekerja sama dengan pihak Anda, jadi kupikir sebaiknya aku menyapa dulu. Semoga Paman tidak keberatan.”
“Nak Yuni, kamu terlalu sopan. Kamu menelepon tentang proyek pembangunan HAR Mall di Kota Dakarta, kan? Suruh orang kalian datang besok buat tanda tangan kontraknya. Kita sudah menyerahkan proyek itu ke Keluarga Ningrum,” jawab Pak Agus sambil tertawa.
Beberapa kalimat itu membuat Ayu dan yang lainnya tercengang.
Tak ada satu pun yang menyangka bahwa Yuni bisa mendapatkan proyek sebesar itu dengan begitu mudahnya.
“Te-terima kasih, Paman,” kata Yuni terbata.
“Tidak masalah, aku mau istirahat sekarang. Selamat malam.”
Klik. Telepon ditutup.
“Yuni, hebat sekali kamu! Sepertinya pacarmu benar-benar punya pengaruh besar. Hanya disebut namanya saja, Pak Agus langsung setuju kasih proyek itu ke keluarga kita. Luar biasa! Nanti kamu harus ajak dia makan malam bareng, kita bisa mulai bahas soal pernikahan,” ucap Bu Heni dengan wajah berseri-seri.
“Terima kasih, Bu. Jujur aku juga kaget, aku tahu dia hebat, tapi tidak menyangka sampai segitunya,” pipi Yuni tampak memerah karena senang.
“Yuni, karena kamu sudah dapat proyek ini, kamu juga akan dapat bagian dari keuntungannya. Ikut saja dengan Ayah, kita urus proyek ini bareng,” kata Pak Sidik sambil tersenyum.
“Ayah, kalau... kalau Kakak gimana?” tanya Yuni pelan sambil melirik Ayu yang terlihat tidak senang.
“Dia sendiri yang pilih suami yang nggak becus dan tidak bisa amankan proyek ini. Siapa yang bisa diandalkan coba? Ayu, kamu harus pikirkan baik-baik soal ini.”
Nada bicara Pak Sidik terdengar serius saat menegur Ayu.
Ayu menunduk, menggigit bibir, dan tak berkata apa-apa.
Tanpa mereka sadari, semua itu terdengar jelas oleh Rama yang sedang berada di lantai dua.
“Ck... Menandatangani kontrak itu tidak sesederhana yang mereka bayangkan,” gumam Rama sambil mencibir.
Dua jam berlalu. Setelah selesai makan, Ayu naik ke atas dan masuk ke kamar tidur.
Saat melihat Rama masih terbaring di atas karpet, wajah Ayu langsung dipenuhi amarah.
“Rama, bangun! Aku mau bicara. Katanya kamu sudah bereskan semuanya? Tadi Yuni baru saja nelepon Pak Agus, cuma sebut nama pacarnya, dan beliau langsung setuju kasih proyek itu. Ini maksudnya apa?” bentaknya sambil menatap tajam.
Rama pun berdiri dan menjawab dengan tenang, “Aku tahu keluargamu tidak pernah benar-benar menganggapku, tapi akulah yang sebenarnya menegosiasikan proyek itu. Telepon dari Yuni tadi cuma kebetulan. Saat Pak Agus dengar bahwa yang menelepon dari Keluarga Ningrum, dia langsung setuju. Dia baru saja dapat penawaran resminya.”
“Sampai sekarang pun kamu masih berbohong?” suara Ayu mulai bergetar, matanya memerah, “Kalau memang kamu gagal, kamu bisa jujur. Aku nggak akan marah. Tapi bohong terus seperti ini, aku benar-benar kecewa.”
“Sayang, tenang saja. Yuni itu sama sekali nggak bisa tanda tangan kontraknya. Di dunia ini, cuma kamu yang bisa selesaikan proyek itu. Percayalah padaku.”
Sambil bicara, Rama langsung mengirim pesan ke Pak Agus.
“Sudahlah, aku malas dengar omong kosongmu. Dasar pembohong,” ujar Ayu dengan kesal, lalu membalikkan badan tanpa melihat Rama lagi.
Ia mendengus kesal lalu masuk ke kamar mandi untuk mandi.
Kini Rama merebahkan diri di atas tempat tidur yang empuk. Lalu mendengarkan suara gemericik air dari kamar mandi. Tanpa sadar, pandangannya tertuju ke arah pintu kamar mandi.
Beberapa detik kemudian, penglihatan Rama menembus kaca tersebut.
Ia bisa melihat siluet tubuh Ayu yang memukau, lengkap dengan ekspresi angkuhnya yang khas…
Jantung Rama berdegup kencang. Ia buru-buru memejamkan mata.
Sejak membangkitkan Darah Pendekar, ia memiliki banyak kemampuan aneh yang bahkan sulit ia percaya sendiri.
Salah satunya adalah penglihatan tembus pandang!
Namun saat itu, Rama tidak berniat memanfaatkan kemampuannya untuk mengintip istrinya sendiri.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Ayu keluar dari kamar mandi.
Rambutnya masih basah, tubuhnya hanya terbungkus handuk, dan aura pesonanya terasa kuat dan menggoda.
"Istriku… kamu kelihatan cantik banget," ucap Rama sambil berdiri dan mendekatinya.
"Kamu… kamu mau apa?" tanya Ayu gugup.
"Boleh aku bantu keringin rambutmu?"
"Kamu bisa?"
"Kurasa bisa."
"Ya sudah, silakan," jawab Ayu tanpa banyak protes, hal yang cukup mengejutkan Rama.
Rama mengambil pengering rambut, lalu mulai mengeringkan rambut Ayu dengan hati-hati.
"Istriku, masih sakit nggak perutmu?" tanya Rama lembut.
Mendengar nada suaranya yang tulus, perasaan kesal dalam hati Ayu sedikit mencair. "Masih agak sakit sih, tapi udah nggak separah tadi."
"Nanti aku bantu pijat, ya."
Ayu mengerutkan kening, menatap curiga. "Pijat? Kamu beneran niat bantu atau cuma modus?"
“Serius, nanti juga kamu tahu.”
Setelah rambut Ayu kering, Rama meminta istrinya berbaring di atas tempat tidur.
Ayu sempat ragu, tapi akhirnya menurut juga. Ia merebahkan diri di atas ranjang besar itu.
Rama menarik napas panjang, lalu perlahan meletakkan tangannya di perut datar Ayu.
Meskipun masih terhalang handuk, Rama merasa gugup sendiri. Ini adalah pertama kalinya ia benar-benar menyentuh tubuh istrinya.