"Ini putri Bapak, bukan?"
Danuarga Saptaji menahan gusar saat melihat ponsel di tangan gadis muda di hadapannya ini.
"Saya tahu Bapak adalah anggota dewan perwakilan rakyat, nama baik Bapak mesti dijaga, tapi dengan video ini ditangan saya, saya tidak bisa menjamin Bapak bisa tidur dengan tenang!" ancam gadis muda itu lagi.
"Tapi—"
"Saya mau Bapak menikah dengan saya, menggantikan posisi pacar saya yang telah ditiduri putri Bapak!"
What? Alis Danu berjengit saking tak percaya.
"Saya tidak peduli Bapak berkeluarga atau tidak, saya hanya mau Bapak bertanggung jawab atas kelakuan putri Bapak!" sambung gadis itu lagi.
Danu terenyak menatap mata gadis muda ini.
"Jika Bapak tidak mau, maka saya akan menyebarkan video ini di media sosial!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 7. Mabok Kecubung Sebaskom
"Dua-duanya menggatal sih menurutku, makanya Beby pilih mundur! Apa arti pernikahan kalau pasangan berkhianat?"
"Mana tuh cewek sama Beby saling kenal, kaya gak ada laki lain gitu! Malah kesannya sengaja."
"Beby terlalu polos jadi cewek, makanya bisa kejadian."
"Tetep aja dia kasihan, mana dia udah bucin parah."
"Untung dia tuh bukan cewek menye-menye, tegas pas tau calon lakinya gak baik langsung pilih mundur."
"Penasaran sama cewek itu! Kira-kira siapa ya? Kalau kenal Beby, kemungkinan kita kenal juga nggak sih?"
"Eh, Beby datang! Beby datang!"
Suara kursi dan langkah kaki saling menjauh kemudian terdengar memenuhi ruangan. Mereka langsung kembali ke kursi masing-masing, tetapi masih enggan berhenti membahas Beby.
Batalnya pernikahan Beby terdengar hingga ke seluruh penjuru kantor. Mereka simpati atas kejadian tersebut, tetapi tetap saja, gosip soal perselingkuhan memang topik yang bagus untuk dibicarakan terus menerus.
Pun setelah kejadian itu telah 3 hari berlalu. Tak ada alasan bagi Beby berlama-lama di rumah. Meski rasanya semua tatapan kini terarah padanya.
"Beby!"
Ketika Beby hendak menuju mejanya, suara Revan membuyarkan tatapan penghuni ruangan ke arah Beby, ganti menatap Revan di belakangnya. Akan tetapi Beby enggan merespon, berlalu begitu saja usai matanya berotasi sempurna.
"Beby!" Revan menyusul hingga Beby duduk di mejanya. "Ikut aku, ayo kita bicara!"
Tatapan Revan yang penuh permohonan dibalik wajah lelahnya, tidak juga membuat Beby tergerak. Ia justru segera menyalakan komputernya.
"Semua udah selesai, jadi nggak perlu bicara apa-apa lagi!"
Untuk ukuran sakit hati, respons Beby tergolong santai dan ringan, seolah semua yang terjadi kemarin bukan apa-apa baginya.
"Beb, apa yang harus aku lakukan biar kamu bisa maafin aku?" Revan berlutut di depan Beby, membuat seisi ruangan menatap ke arah mereka dengan mata membola.
Beby menghembuskan napasnya pelan. Ia benar-benar muak melihat tingkah Revan yang sok tidak berdosa itu.
"Aku tau aku salah, tapi kita udah mau nikah ... aku janji akan jadi suami yang baik buat kamu nanti! Dan hal-hal kaya gitu nggak akan pernah kamu lihat lagi, Beb, aku bersumpah!"
Beby masih bersikap tuli pada apa yang Revan ucapkan. Wanita muda itu masih sibuk mempersiapkan pekerjaannya seperti biasa.
"Beb, kamu tau aku kan?" Revan bertahan dengan baik, menatap Beby sendu. "Cuma kamu yang aku cintai! Kemarin itu aku khilaf, sumpah! Aku dipaksa sama Cl—"
"Stop, deh, Van!" potong Beby cepat sebelum Revan membongkar kebobrokan mereka disini. Ia memberikan Revan tatapan kesal yang tak berujung.
"Aku nggak akan berhenti sampai kamu maafin aku! Aku akan tetap disini sampai kamu maafin aku!"
Beby memutar bola matanya malas. "Apa aku sudah gila bisa maafin kamu semudah itu setelah semua yang terjadi?"
Revan berusaha menenangkan kemarahan Beby dengan menggenggam tangannya. Namun dengan enggan ditepis kasar oleh Beby. Hal itu membuat Revan menelan ludahnya kasar saat perlahan menatap Beby. "Sayang, kita udah 5 tahun sama-sama, kalau di logika, nggak mungkin aku tergoda sama dia kalau bukan karena pengaruhnya! Aku cuma cinta sama kamu, nggak ada siapapun selain kamu!"
Astaga, bahkan asam lambung Beby pun muak mendengar ucapan buaya satu ini. Rasanya Beby ingin muntah sekarang.
"Beby ...."
"Itu Pak Revannya!"
Suara seseorang membuat Revan urung melayangkan rayuan mautnya. Ia menoleh dan mendapati seseorang yang ia kenal sedang menatap ke sini.
Bukan hanya Revan yang tampak syok, Beby pun juga terlihat seperti habis menelan sebongkah batu.
"Pak Danu," desisnya menahan napas.
"Pak Revan, ada tamu yang nyariin Bapak." Pria yang tak lain adalah satpam kantor, bersikap sopan dan segera mempersilakan tamu Revan itu menemui atasannya.
Revan berdiri. Salah tingkah dan ketakutan. "Em—"
"Bisa kita bicara sebentar?"
Danu masih lurus menatap Beby, sehingga Beby pun bingung harus menjawab atau tidak. Ya, memang kemarin dia bisa bersikap seolah semua sudah selesai sebab hanya mereka berdua saja di dalam mobil. Beby bisa bersikap tengil, tetapi sekarang, sepertinya dia baru bisa melihat Danu dengan semua atribut duniawinya yang mendominasi.
"S—say—!"
"Revan, mari kita bicara di luar!"
Danu mengulangi lagi permintaannya sebab ia sadar telah membuat Beby bingung. Segera ia alihkan tatapan ke Revan, "saya agak terburu-buru ...."
"Em—baik, Pak." Revan menoleh ke arah Beby sejenak. Kecanggungan di ruangan ini benar-benar sudah tidak bisa diselamatkan lagi.
Revan berniat pamit pada Beby, tapi entah kenapa rasanya sedikit aneh, sehingga ia hanya menatap Beby saja tanpa berkata apa-apa.
Revan berlalu dari sana diikuti Danu. Tetapi ketika keluar dari pintu, Danu berhenti sejenak dan kembali menatap Beby dengan sebuah senyuman yang hangat.
Beby mematung di tempat. Ia syok hingga berkeringat banyak. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya ketika Danu tersenyum padanya. Rasanya menakutkan sekali setelah ia akhirnya sadar siapa yang selama ini dia ajak bernegosiasi.
"Kesurupan apa aku kemarin?" gumam Beby. Rasanya ia merepet hampir pingsan. Sungguh, ia pikir yang terjadi hari itu hanya mimpi. "Sampai aku bisa melakukan hal senekat itu pada orang yang punya jabatan tinggi."
Beby duduk terenyak. Rasanya ia mabuk kecubung sebaskom hingga punya nyali sebesar itu.
...
"Clara hamil, Revan! Jadi sebaiknya kalian berdua segera menikahi Clara agar—"
Danu menghela napas dalam. Ia sendiri sedang tertekan secara psikologis menghadapi kampanye, tapi masalah justru datang dan memperumit keadaan.
"Sebenarnya, ini tidak ada hubungannya dengan pileg yang sedang saya hadapi, Revan ...," ujar Danu kemudian setelah berhasil menguasai diri. Ia menatap Revan yang belum berbicara sama sekali sejak mereka duduk berhadapan di sini.
"... melainkan karena desakan Clara yang takut kehamilannya terungkap sebelum ia menikah."
"Tapi Pak ...."
"Van, laki-laki harus bisa mempertanggungjawabkan apa yang ia perbuat, entah efeknya baik atau buruk. Meski kamu tidak siap, tapi tindakan kamu pada anakku membuahkan seorang bayi tidak berdosa! Saya berharap, setelah menikah, kamu bisa berubah jadi pria yang lebih dewasa dan berhati-hati."
Revan tidak bisa menyangkal apapun yang Danu katakan meski rasanya dia ingin bilang kalau masih ada perasaan seorang wanita yang akan dikejarnya.
"Kami tidak meminta apapun selain pertanggungjawaban kamu. Toh kamu sudah mapan dan berkecukupan, Clara juga bekerja, setidaknya pondasi rumah tangga kalian sudah terbangun."
Revan terbujuk kata-kata Danu. "Boleh saya selesaikan masalah saya lebih dulu, Pak?"
"Silakan!" Danu memberi ruang sebanyak yang Revan butuhkan. Sedikit ia paham masalah apa yang akan Revan selesaikan, meski sebenarnya masalah itu sudah Danu bantu bereskan.
"Saya akan bicara dulu dengan orang tua saya lalu saya akan kerumah Bapak dengan orang tua saya nanti."
Danu mengangguk, membiarkan Revan pergi. Senyumnya kemudian muncul begitu halus. Masalah Revan yang itu pasti tidak akan menerima Revan untuk kembali.
Danu kemudian berdiri untuk segera pergi dari kantor Revan. Senyumnya terus terkembang hingga ia tiba di kantornya.
"Hari ini sepertinya akan berlalu dengan baik."
Namun, senyum itu mendadak lenyap ketika mendapati notif banking nya yang berdenting beberapa kali.
Danu melihatnya dan ia tahu siapa yang menarik uang puluhan juta itu dari rekening kampanye miliknya.
"Untuk apa Mila menarik uang sebanyak itu sepagi ini?"
sampai Danu mencerailan mila dan clara sadar diri bahwa dia hanya anak sambung yg menyianyikan kasih sayang ayah sambungnya 💪
mila mila sombongnya tdk ketulungan sm Danu
merasa dulu cantik anak pejabat