Seraphina Luna — supermodel dengan kehidupan yang selalu berada di bawah sorotan kamera. Kalleandra — pria asing yang muncul di malam tak terduga.
Mereka bertemu tanpa sengaja di sebuah klub malam. Sera mabuk, Kalle membantu membawanya pulang ke apartemennya. Tanpa disadari, dua wartawan melihat momen itu. Gosip pun tercipta.
Seketika, hidup mereka berubah. Gosip itu bukan sekadar cerita — ia memaksa mereka untuk mengambil keputusan yang tak pernah terbayangkan: menikah. Bukan karena cinta, tapi karena tekanan dunia.
Di balik cincin dan janji itu tersimpan rahasia dan luka yang belum pernah terungkap. Akankah cinta lahir dari dari gosip… atau ini hanya akhir dari sebuah pertunjukan?
"Di balik panggung, selalu ada cerita yang tak pernah terucap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amariel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RITME YANG TAK SAMA
Udara pagi di Sukabumi masih seperti biasa—dingin dan sedikit basah.
Bedanya, dapur rumah dinas itu sudah seperti zona perang.
“Astagaaaaa, kenapa bisa gosong semua?!” Sera menatap panci dengan wajah ngeri.
Telur dadar yang tadi niatnya mau dibikin cantik, sekarang sudah hitam di pinggir dan lengket di wajan.
Dari pintu dapur, Kalle cuma melirik sambil menyeruput kopi. “Kamu menyalakan kompor terus sambil menelpon agensimu. Ya gosong, Seraphina."
Sera menatapnya tak terima. “Aku multitasking, tahu! Gimana sih, harusnya kamu bantuin!”
Kalle meletakkan cangkirnya, nada suaranya tetap tenang. “Aku udah bantu. Aku nggak komentar waktu kamu masuk dapur.”
“Karena biasanya bencana dimulai dari situ,” lanjutnya kalem.
Sera melotot, sementara Kalle malah nyengir kecil.
“Lucu banget kamu ngetawain penderitaan aku,” katanya sambil menepuk spatula ke meja. “Ini tuh tragedi, bukan komedi.”
“Tenang, nggak apa-apa. Aku masih punya roti tawar,” jawab Kalle.
“Roti tawar?”
“Yang kamu gosongin kemarin,” ujarnya polos.
Sera melempar tatapan maut.
Kadang dia lupa kalau menikah sama dokter yang dinginnya nggak bisa didebat.
Siangnya, Sera sibuk ngecek email kontrak kerja dari Jakarta.
Dari balik jendela, suara motor lewat, suara anak-anak tetangga main bola, dan aroma gorengan dari ibu sebelah—semuanya bikin suasana makin “kampung”.
Sera, si model internasional, duduk di sofa kecil rumah dinas sambil pakai masker wajah dan laptop di pangkuan.
"Kalle, kamu inget nggak… dulu aku selalu dikelilingi tim, makeup artist, stylist—semuanya siapin aku. Sekarang, aku bahkan harus cuci piring sendiri. semuanya harus serba mandiri." keluhnya sambil menopang dagu.
Kalle, yang baru pulang dengan jas dokter penuh noda tinta, cuma menjawab pendek. “Adaptasi.”
“Adaptasi? Aku model, bukan marinir.”
“Tapi marinir juga manusia.”
Sera terdiam. Dia nggak ngerti, apakah itu kalimat bijak… atau sindiran.
Yang jelas, wajahnya udah pengin melempar bantal.
Sore, Kalle ketiduran di sofa.
Jam tangan masih di tangan, jas dokter terlipat seadanya di pangkuan.
Sera menatapnya lama. Ada gurat lelah yang bahkan kamera paling jujur pun tidak akan bisa menangkap.
Dalam hati, dia bergumam pelan, “Tiap hari kamu menolong orang, tapi nggak pernah tahu gimana caranya menyelamatkan perasaan sendiri.”
Malamnya, dia duduk di balkon kecil. Laptop di depan, earphone terpasang di telinga.
Meeting virtual sama agensi.
Salah satu manajer bicara cepat dengan aksen bahasa Inggris namun bercampur.
" Sera, we need your confirmation for the paris show next month. You'll be the closing model."
Sera sempat ragu.
Paris. Kota yang dulu selalu jadi mimpinya.
"I'll think about it." jawabnya singkat
Kalle lewat di belakang, membawa secangkir teh.
“Kerja lagi?” tanyanya.
Sera mengangguk. “Paris Fashion Week.”
“Jadi kamu pergi?”
“Mungkin.”
“Ya udah,” ucapnya pelan, lalu berlalu begitu saja.
Tidak ada pertanyaan lanjutan. Tidak ada ekspresi apa-apa.
Sera menatap punggungnya yang menjauh.
Entah kenapa, keheningan itu lebih nyakitin dari pertengkaran.
Mereka tinggal di rumah yang sama, tapi hidup di ritme yang berbeda.
Dan di antara jeda itu, perlahan—jarak mulai tumbuh, diam-diam.
*********************************
Suara sirine terdengar keras. Mobil ambulance masuk dengan terburu-buru. dua perawat mendorong brankar. Satu perawat lainnya berlari membuka pintu mobil.
"Kecelakaan ?"
"Kayanya gitu. Gue lihat dulu ya"
Salah satu dari mereka berlari. Tepat di saat brankar itu mendekat. Saat itu yang terlihat seorang perempuan dengan wajah penuh darah tergeletak lemah.
"Apa ini ?"
"Katanya kasus tabrak lari, Dok." perawat mencoba menjelaskan.
"Parah ini, Daf. kelihatannya kritis."
"Makanya ini mau gue cek." ujar pria dengan nametag bertuliskan Daffa." Untung ada Id card di tasnya."
mereka bersamaan menoleh kearah id card yang sedang di pegang Daffa.
Delani Sifa-- Nurse Saphira medical center.
Dua pria itu kini saling melempar tatapan.
"Saphira medical center. Punyanya Ayu Laraswati." Daffa kembali berujar. bukannya waktu itu kita sempat bahas soal Lo sama model yang--
" Iya, istri gue."
Mendengar kalimat yang di ucapkan temannya, Daffa tak mampu menyembunyikan rasa kagetnya.
"Hah..nikah ? Lo nikah sama model itu ? Kok gue gak tahu."
"Lo waktu itu masih sibuk sama S2 Lo di Singapura. Lagi pula gue memang belum bikin acara khusus temen-temen. Nanti nunggu jadwal istri gue kosong."
Daffa masih tak begitu yakin. Dia memundurkan kakinya demi melihat Kalle dari atas sampai bawah. Di mana matanya tertahan pada salah satu benda melingkar d jari manis temannya.
"Oke ,gue percaya. Tapi habis ini Lo musti kenalin gue ke Luna."
"Luna ?"
"Seraphina luna namanya ? supermodel yang iklannya sama balihonya segede terpal pecel lele ?" sahut Daffa." congrats, bro. meski telat".
"Dok--."
panggilan dari salah satu perawat membuat mereka menghentikan obrolannya sejenak. Mereka tahu siapa yang di butuhkan saat ini.
"Gue ngecek korban dulu. Habis itu kita bahas soal ini." telunjuk Daffa tertuju pada id card yang ada di tangan Kalle.
Sepeninggalan Daffa. Tinggal Kalle yang matanya tertuju pada nama Delani Sifa dan tentu saja Saphira medical center.
********************************
Tadi Kalle mendadak dipanggil ke rumah sakit karena ada pasien bayi prematur darurat. dan Sera kembali ditinggal sendirian di rumah.
Malam itu bukan cuma tentang kesepian — tapi juga tentang perasaan yang pelan-pelan muncul tanpa izin. Sera duduk di pinggir ranjang, memandangi pintu yang baru saja tertutup.
Pukul satu lewat lima belas.
Rumah kecil itu terasa lebih dingin daripada biasanya.
Sera menarik selimut, tapi tetap saja nggak bisa tidur. Setiap kali dia pejamkan mata, bayangan Kalle yang tergesa-gesa pakai jaket itu muncul lagi.
Bayi prematur, katanya tadi.
Dia bahkan belum sempat pamit dengan baik.
“Bodoh,” gumam Sera pada dirinya sendiri. “Ngapain juga aku khawatir segininya. Dia kan dokter. Udah biasa.”
Tapi tetap saja, detak jantungnya terasa ribut.
Seperti rumah yang kebanyakan suara, padahal cuma dia sendiri di sana.
Ia akhirnya bangkit, berjalan ke dapur. menyalakan kompor merebus air, dengan niat bikin kopi sachet.
Tapi baru membuka tutup toples gula, tangannya gemetar.
Entah karena dingin, entah karena gelisah.
Ia benci rasa itu.
Benci merasa menunggu.
Karena selama ini, semua oranglah yang menunggu dirinya — di lokasi syuting, di backstage fashion show, di ruang rias besar dengan lampu putih. Tapi kali ini, dia yang menunggu seorang dokter yang bahkan tak tahu apakah sempat makan malam atau tidak.
“Dasar manusia aneh,” desisnya, menatap cermin kecil di dapur. “Lo dulu dikejar banyak orang, sekarang malah khawatir sama cowok yang bahkan nggak follow balik Instagram lo.”
Pukul dua lewat tiga puluh.
Masih tak ada kabar.
Akhirnya Sera membuka ponselnya. Scroll galeri, lagi dan lagi tidak sengaja menemukan foto Kalle — foto candid waktu Kalle lagi mengupas bawang di dapur minggu lalu, ekspresinya serius banget kayak lagi operasi jantung.
Sera ketawa kecil. “Ya Tuhan, dokter aja bisa kalah sama bawang.”
Tiba-tiba pesan masuk.
"Operasi selesai. Bayinya selamat."~ Kalle.
"Good job, Dokter bawang."~ Sera.
"??"
"Nanti aku jelasin. Di rumah. Hati-hati di jalan kalau pulang nanti.~ Sera
"Tidur duluan saja. Takutnya aku sampai pagi. Ini soalnya temenku lagi urus korban tabrak lari yang kritis."
"Apa hubungannya sama kamu yang Dokter anak ?"
"Tetap saja dia pasti membutuhkan teman."
"Jadi gak pulang ?"
"Pulang, tapi agak telat. Maaf ya." ~ Kalle." aku beli sarapan dulu. Kamu tidur saja."
Sera menatap layar itu lama, lalu tersenyum kecil tanpa sadar.
“Beli sarapan katanya. Jam tiga pagi…”
Tapi entah kenapa, hatinya sedikit lebih tenang.
Dia akhirnya benar-benar tidur—dengan posisi miring, ponsel masih di tangan, dan senyum kecil yang belum sempat hilang.
***********************
Pagi datang.
Sinar matahari pertama menembus tirai tipis.
Bau bubur ayam tercium samar dari meja makan.
Kalle sudah pulang. Rambutnya berantakan, tapi senyumnya masih hangat.
“Aku bawa bubur. Nggak sempat beli bunga,” katanya pelan.
Sera duduk, matanya masih setengah ngantuk.
“Aku lebih suka bubur daripada bunga.”
“Oh ya?”
“Iya. Kalau bunga, aku cuma bisa foto. Kalau bubur, aku bisa hidup.”
Kalle tertawa kecil. “Pragmatis banget.”
Sera nyengir. “Model nggak bisa hidup cuma dari estetika, Dok.”
Kalle menyerahkan mangkuk bubur hangat ke tangannya.
Dan di situ—di meja kecil rumah dinas, di antara dua orang yang sama-sama nggak bisa bilang perasaannya—ada sesuatu yang pelan-pelan tumbuh.
Bukan cinta yang dramatis, tapi cinta yang tenang.
Yang muncul di antara jam dinas, aroma bubur ayam, dan dua hati yang belum saling mengerti.
"Bayinya gimana ? sedih banget sekecil itu musti prematur ?"
"Alhamdulillah, tadi pas aku pulang. kondisinya membaik, begitu juga sama ibunya."
Sera menyimak sembari menikmati bubur ayam hasil bawaan Kalle.
"Sera, aku boleh nanya sesuatu ?"
Sera yang hendak memasukan sendok berisi bubur ayam pun menahan. Ada raut wajah penuh ketegangan dari kalle yang ia tangkap. Apakah ini ada sangkut pautnya dengan dia ?
"Apa kamu sering ke Saphira medical center ?"
"Kenapa nanya ini sama aku ? Papa tawarkan kamu buat di sana ?"
Cepat Kalle menggeleng tanda tak terimanya atas tuduhannya.
"Terus, kenapa nanya soal Saphira medical center ?"
"Tadi di rumah sakit kita terima korban kecelakaan. Info terakhir dia tabrak lari. korbannya kritis dan yang lebih mengagetkan lagi dia dalam posisi hamil." urai Kalle." dari id card yang kita temukan namanya Delani Sifa, dia nurse di Saphira medical center."
Mendengarnya, alis Sera berkerut. jujur saja tak semua orang yang ada di dalam rumah sakit itu dia kenal. Sera termasuk jarang berkunjung kesana.
"Terus gimana ?"
"Aku belum tahu kabar terakhirnya. Temenku Daffa yang pegang dia."
"Apa aku kasih tahu ibu ?"
"Coba saja. Siapa tahu orang tua atau kerabatnya bisa di hubungi."
"Memang gak ada handphone atau tas gitu ditemukan ?"
" Di tasnya gak ada handphone."
Dan Sera segera mengambil ponselnya mencoba menghubungi Ayu, ibunya.