Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Pagi itu, matahari baru saja menyentuh atap genting panti asuhan Kasih Ibu. Udara masih lembap, dan suara anak-anak kecil yang tertawa di halaman belakang terdengar seperti musik yang menenangkan. Di antara aroma bubur dan suara sendok beradu di dapur, Annisa duduk di teras bersama secangkir teh yang sudah mulai dingin.
Pikirannya melayang jauh, tentang pertemuannya kemarin dengan Bu Ratna, ibu dari Bima.
Wanita itu datang dengan penuh wibawa tapi juga kelembutan. Kalimat yang ia ucapkan masih bergema di kepala Annisa:
“Menikah dengan putra saya atau kamu akan mendekam di penjara."
Kata-kata itu terasa begitu berat, seakan menekan dadanya hingga sulit bernapas.
Ia masih belum sepenuhnya mengerti kenapa Bu Ratna memilihnya, seorang anak panti yang sederhana yang bekerja keras untuk bertahan hidup, bukan perempuan glamor yang biasa menghiasi dunia Bima yang mapan.
Namun satu hal yang ia tahu, Ratna bukan orang yang sembarangan bicara.
Dan kini, Annisa harus berbicara dengan Bu Asih, pengurus panti sekaligus sosok yang sudah seperti ibunya sendiri.
Anisa mendekati Asih dengan hati-hati...
“Bu, boleh Nisa bicara sebentar?”
Suara lembut itu membuat Asih menoleh saat menyusun berkas-berkas yang akan mereka simpan dalam kardus, mulai berkemas. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat.
“Tentu, Sayang. Duduklah dulu. Ada apa, Nisa?”
Annisa menunduk sebentar, berusaha merangkai kalimat. “Kemarin… Bu Ratna ketemu aku di cafe. Ibu ingatkan yang waktu itu pernah nganterin aku pulang. Dia bilang ingin menjadikan Nisa menantunya.”
Bu Asih yang baru saja menyesap teh langsung terbatuk kecil. “Astaga… jadi, Bu Ratna juga bilang begitu padamu nak?”
Annisa mengerutkan kening. “Maksud Ibu?”
“Dia juga datang ke sini, Nak. Tepat setelah kamu berangkat kemaren. Beliau datang sama suaminya. Katanya dia ingin panti ini punya masa depan yang lebih baik. Dia berjanji, kalau kamu menerima lamaran itu, vila keluarganya di Bandung akan diserahkan untuk dijadikan panti asuhan atas nama kamu.”
Kata-kata itu membuat dada Annisa semakin sesak. Antara terharu, bingung, dan takut.
“Jadi, Ibu sudah tahu semua ini?” tanyanya pelan.
Bu Asih mengangguk perlahan. “Iya, Nak. Tapi ibu tidak mau memaksa kamu. Semua keputusan ada di tanganmu. Ibu hanya ingin kamu bahagia. Panti ini bisa terus berjalan dengan cara lain, jangan merasa kamu harus berkorban demi kami.”
Namun justru kata-kata itu membuat Annisa semakin sulit. Ia tahu Bu Asih tulus, tapi di dalam hatinya, ada suara kecil yang terus berbisik, “Bagaimana kalau ini memang cara Tuhan membalas perjuangan ku?"
Anisa lebih memilih bungkam dan ia tidak ingin menceritakan kejadian kemarin, kejadian di cafe di mana ia harus membayar ganti rugi senilai rp600 juta. Iya takut itu hanya akan membuat Asih banyak pikiran.
"Aku pikirin dulu ya Bu."
"Iya nak kamu sudah dewasa, Kamu sudah tahu mana yang baik dan mana yang tidak. Dan satu hal yang harus kamu tahu, ibu tidak akan pernah memaksakan sesuatu kepada kamu. dan jangan korbankan masa depan kamu untuk kami. karena Ibu yakin Tuhan pasti sudah punya rencana terbaik untuk kita,"
Setelah pembicaraan itu, Annisa berjalan ke taman kecil di belakang panti. Di sanalah dulu ia sering bermain bersama anak-anak asuh yang ia sayangi seperti adik sendiri.
Ia duduk di bangku kayu dan memandang bunga melati yang tumbuh di pot tua. Harum lembutnya membawa kenangan tentang masa lalu tentang dirinya yang pernah begitu hancur ketika Bayu mantan kekasihnya meninggalkannya setelah Bayu tahu bahwa Nisa hanyalah anak yatim piatu dan di besarkan di panti asuhan. Orang tua Bayu menentang keras hubungan mereka.
Ia teringat malam saat ia mengemas barang-barangnya sambil menahan tangis.
Terbayang jelas wajah Bayu yang dingin, kata-katanya yang menyakitkan, dan Lara sahabat nya sendiri yang berdiri di belakangnya dengan senyum penuh kemenangan.
“Nisa bukan siapa-siapa bagi gue, dia hanyalah anak yatim piatu yang gak pantas masuk kedalam hidup gue.”
Kalimat itu… seperti luka yang tak pernah sembuh.
Dan kini, ketika ada seseorang seperti Bu Ratna, dengan segala kebaikan dan ketulusannya menawarkan harapan baru, yang membuat Annisa takut.
Takut membuka hati lagi. Takut mengulang kesalahan.
Namun ada hal lain yang membuatnya tidak bisa menolak dengan mudah, yaitu nasib anak-anak panti.
Mereka yang selalu memeluknya setiap pagi, yang menyebutnya Kak Nisa, yang menangis saat ia pergi Kuliah dan bekerja.
Jika dengan menikah, ia bisa memberikan tempat yang lebih baik untuk mereka… apakah salah jika ia mencoba menerimanya?
"Sudahlah sebaiknya aku terima saja tawaran dari tante Ratna, mudah-mudahan saja anaknya tidak menyukaiku dan segera menceraikanku setelah beberapa bulan menikah. lagian kemarin aku lihat pacarnya jauh lebih cantik dan glamour, jadi sangat mustahil jika dia akan tertarik apalagi menerima aku sebagai istrinya. aku tahu dia menerima aku hanyalah untuk menyelamatkan dirinya sendiri, karena ia tidak mau menjadi gembel jika menolak menikah denganku." monolog Nisa yakin.
Sementara itu di Apartemen Luna...
Suara pecahan gelas terdengar keras, memecah keheningan.
Luna berdiri dengan napas tersengal, matanya berkilat penuh amarah.
“Jadi ini yang kamu sebut kabar baik, Bima?” serunya sambil menunjuk wajah laki-laki itu.
“Kamu mau menikah?! Dengan perempuan lain?!”
Bima menutup matanya sejenak, mencoba menahan emosi.
“Sayang, dengarkan aku dulu....”
“Dengarkan apa lagi?!” Luna memotong cepat. “Kamu pikir aku bodoh? Kamu pikir aku akan diam saja lihat kamu menikah dengan perempuan yang bahkan seujuang kuku aku aja gak ada harga nya?”
Bima melangkah mendekat, suaranya lebih dalam, tapi terkontrol.
“Ini bukan karena aku mau, Luna. Tapi ini permintaan orang tuaku.”
Ia berhenti tepat di depannya, menatap tajam ke arah mata Luna.
“Kalau aku menolak, semua aset perusahaan akan jatuh ke tangan yayasan keluarga. Papa sudah menyiapkan surat wasiat, kalau aku belum menikah tahun ini, aku tidak akan dapat sepeser pun dari perusahaan. Semua akan disumbangkan.”
Luna terdiam sejenak. Ia tahu keluarga Bima adalah salah satu konglomerat lama yang hartanya tidak hanya besar, tapi juga berpengaruh.
Namun amarahnya belum reda.
“Dan jadi, kamu memilih menikah? Dengan siapa?!”
“Cewek di cafe kemaren,” jawab Bima cepat.
“Gadis pelayan itu?”
“Iya sayang. Tenang, dia bukan siapa-siapa. Cuma anak panti yang mungkin mama aku kasihan sama dia. Orangnya sederhana, kalem, dan… yang paling penting, tidak akan ribut soal ini. Aku akan buat surat kontrak dengan nya. Aku akan menceraikan nya setelah enam bulan.”
Luna menatap Bima lama.
“Jadi kamu akan menikahi dia demi kekayaan keluarga kamu?”
Bima menatap balik, dingin. “Demi aset. Demi masa depan kita, Sayang.”