RAYYAN hanya memiliki satu tujuan: balas dendam.
Setelah kehilangan ayahnya, misi hidupnya menjadi jelas: menghancurkan musuhnya dengan cara yang paling menyakitkan. Rencana itu dimulai dengan menculik putri musuhnya, menjadikannya tawanan dan alat pembalasan.
Namun, tidak ada yang menyiapkan Rayyan untuk pergolakan emosional yang terjadi selanjutnya. Di balik rencana kejam itu, ia mulai melihat tawanannya bukan lagi sebagai objek, melainkan sebagai seorang wanita yang ia ingin lindungi. Kebencian yang selama ini menjadi kompas hidupnya kini harus bertarung melawan rasa cinta dan sayang yang tiba-tiba muncul.
Terperangkap antara dendam berdarah dan hasrat terlarang, Rayyan menghadapi dilema yang menghancurkan jiwa: Apakah ia akan menuntaskan pembalasan yang telah merenggut segalanya darinya, atau memilih cinta yang bisa membuatnya kehilangan dirinya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annavita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Aira menatap Dimas dengan tatapan penuh harap, masih berharap Dimas akan mengatakan yang sejujurnya. Ia ingin memberikan kesempatan pada Dimas untuk memperbaiki kesalahannya, meskipun hatinya sudah hancur berkeping-keping.
"Apa ada yang kau sembunyikan dariku? Jika kau jujur, mungkin aku akan memberikan kesempatan kedua. Tapi jika kau berbohong, aku tidak tahu apakah pernikahan ini layak untuk diteruskan!" tanya Aira, dengan nada tegas namun penuh kesedihan. Ia ingin Dimas tahu betapa seriusnya ia dengan pertanyaan ini. Ia ingin Dimas tahu bahwa kebohongan akan menghancurkan segalanya.
Dimas merasa seperti sebuah batu besar menimpanya. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Aira. Sementara Aira pun tidak cukup jelas menjelaskan jawaban apa yang ingin ia dengar. Dimas bingung, apakah Aira memang ingin jawaban tentang perselingkuhannya atau hal lain. Ia merasa seperti sedang berada di persimpangan jalan, di mana setiap pilihan akan menentukan masa depannya.
Dimas tidak boleh salah pilih. Di satu sisi, ia tidak ingin melepaskan Aira, wanita yang telah menemaninya selama bertahun-tahun, wanita yang sangat ia cintai. Sementara di sisi lain, ia pun tidak bisa meninggalkan Rania, karena saat ini wanita itu tengah mengandung anaknya. Ia merasa terjebak dalam situasi yang sangat sulit, di mana setiap keputusan akan menyakiti seseorang.
"Sayang, aku... aku tidak tahu apa maksud kamu. Sudahlah, mungkin kamu capek karena masalah mobil hari ini. Ayo, sekarang aku antar ke kamar," kilah Dimas, berusaha mengalihkan perhatian Aira. Ia berusaha memapah Aira, namun dengan cepat Aira menepisnya dan menatapnya dengan tajam.
"CUKUP!!" teriak Aira, dengan suara yang menggelegar. Teriakan itu membuat Dimas semakin menelan kasar ludahnya yang terasa seperti menelan sebutir kelapa. Ia merasa seperti sedang menghadapi singa betina yang sedang marah.
"Sudah berapa lama kau berhubungan dengannya?" tanya Aira, dengan perlahan maju melangkah mendekati Dimas yang mundur perlahan. Setiap langkah Aira terasa seperti tusukan pisau di hati Dimas.
"Apa maksudmu?" tanya Dimas, dengan nada pura-pura tidak tahu. Ia berusaha menyembunyikan rasa bersalahnya, tetapi matanya tidak bisa berbohong.
"Aku bilang cukup, Mas! CUKUP! Aku sudah tahu semuanya! Aku... aku... ah... hahaha," Aira tertawa sinis, diiringi isakan tangis yang memilukan. "Aku nggak percaya kamu sejahat itu sama aku! Aku sudah berusaha korbankan semuanya buat kamu! Keluarga aku, karir, semuanya aku tinggalin demi kamu! Tapi apa balasan kamu sama aku, Mas!" ucap Aira dengan menggebu-gebu, sambil memukul dada Dimas berkali-kali.
Dimas hanya tertunduk, ia diam saja walaupun Aira memukul dadanya berkali-kali. Ia merasa bersalah, malu, dan menyesal. Ia tahu, ia telah menyakiti Aira dengan sangat kejam.
"Maaf," cicit Dimas, dengan suara lirih. Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Dimas. Ia tidak tahu kata-kata apa lagi yang bisa ia ucapkan untuk meredakan amarah dan kesedihan Aira.
Aira terduduk di lantai, sembari menangis histeris. Dadanya semakin sakit dan suaranya tercekat di tenggorokan. Dimas pun ikut duduk sejajar dengannya, berusaha menenangkan sang istri, dengan masih menundukkan kepalanya. Ia merasa tidak pantas untuk menatap wajah Aira.
Setelah beberapa saat, Aira diam dan bangkit, lalu menatap Dimas yang saat itu masih duduk di lantai. Tatapannya dingin dan menusuk.
"Aku memberimu pilihan! Kau tinggal pilih, tinggalkan aku atau wanita itu!" final Aira, dengan nada tegas dan tanpa ragu. Lalu ia pergi ke kamar dan segera mengunci pintu kamarnya. Ia ingin sendiri, ingin menenangkan diri, dan ingin memikirkan masa depannya.
*
Bersambung...
jangan lupa, Like, komen, dan follow ya..
Dont give up💪