Vexana adalah seorang Queen Mafia, agar terbebas dari para musuh dan jeratan hukum Vexana selalu melakukan operasi wajah. Sampai akhirnya dia tiba di titik akhir, kali ini adalah kesempatan terakhirnya melakukan operasi wajah, jika Vexana melakukannya lagi maka struktur wajahnya akan rusak.
Keluar dari rumah sakit Vexana dikejutkan oleh beberapa orang.
"Ibu Anne mari pulang, Pak Arga sudah menunggu Anda."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 - Bukan Malam Ini
Setelah kembali Anne terus membuatnya terkejut, seperti pelukan kali ini. Bagaimana bisa Anne memeluknya erat sekali, seolah hubungan mereka memang sedalam itu. Suami istri yang sesungguhnya.
Secara perlahan Arga mendorong tubuh Anne untuk melepaskan pelukan. "Jaga batasanmu, kita tidak sedang menjalani peran sebagai suami istri sungguhan. Kamu hanyalah wanita yang ku nikahi untuk meneruskan keturunan. Tidak lebih," ucap Arga, suaranya pelan penuh keseriusan.
Vexana yang kesabarannya setipis tisu juga mudah terpancing mendengar ucapan menjengkelkan itu. "Kalau begitu berhenti mengkhawatirkan tentang gegar otakku. Langsung saja buat anak."
"Kenapa kamu tidak sabaran sekali?"
"Bukankah semakin cepat aku hamil akan semakin bagus? itu artinya aku akan secepatnya pergi dari rumah ini," balas Vexana yang suaranya mendadak berubah jadi dingin. Jangan tanyakan bagaimana sorot matanya, bahkan lebih tajam daripada milik Arga.
"Kamu pikir aku senang berada di sini? Tidak, karena itulah jangan membuang waktuku," timpal Vexana, lalu mundur dua langkah dan pergi dari sana.
Arga kembali dibuat terdiam, seolah kini Anne banyak sekali memiliki kepribadian. Tadi wanita itu seperti gadis bodoh, lalu kini berubah seolah pemegang kendali.
Arga tak benar-benar tahu bagaimana cara untuk menghadapinya. Namun sungguh, Arga tak ingin menyentuh jika Anne masih belum terlihat waras di matanya.
Saat malam menjelang, emosi Vexana mulai mereda. Dia kembali ke tujuan awal untuk fokus membuat anak, jika Arga masih menolak dengan alasan gegar otak dia hanya perlu menggoda.
Pria sama saja, diberi dada psti tergoda. Inilah yang diyakini oleh Vexana.
Vexana berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Ia mengenakan lingerie putih mutiara pilihan Arga, membalut tubuhnya dengan lembut tapi menggoda. Rambutnya tergerai, bibirnya dipulas tipis, dan aroma vanila bercampur rempah menyelimuti ruang kamar.
Ia tersenyum puas melihat bayangannya sendiri.
"Sudah cocok jadi calon ibu bangsawan," gumamnya sambil memutar tubuh ke kiri dan ke kanan.
Begitu mendengar ketukan pelan di pintu, jantung Vexana berdebar sedikit entah karena gugup, atau justru semangat.
“Mas, masuk saja,” ucapnya lantang, duduk santai di atas ranjang. Punggungnya tegak, satu kaki ditekuk, tangan menopang dagu seperti model iklan parfum mahal.
Pintu terbuka, dan Arga muncul. Penampilannya seperti biasa santai tapi memikat. Kemeja putih, lengan digulung ke siku, dan celana bahan gelap. Wajahnya serius, seperti pria yang belum juga bisa menebak permainan di hadapannya.
Namun langkahnya terhenti ketika melihat sosok Anne. Arga datang bukan untuk ini, dia justru ingin mengatakan pada Anne untuk menunda. Arga ingin mengatakan bahwa dialah yang menentukan kapan mereka harus berhubungan, bukan Anne.
"Mas ingin malam ini aku pakai lingerie yang mana? Yang ini kan?" Vexana menunjuk tubuhnya sendiri, "Atau yang merah menyala seperti semangat nasionalisme?"
Arga memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam. “Anne...”
“Iya, Mas?” sahut Vexana cepat, matanya berbinar. "Aku sudah siap, aku bahkan sudah mencuci kaki tiga kali."
"Kita belum bicara soal itu.”
“Kita tidak perlu bicara lagi, Mas. Cukup tindakan,” katanya dramatis, lalu beringsut sedikit ke tengah ranjang. “Ayo, Mas. Waktunya membuat penerus keluarga Dewangga.”
Arga hanya berdiri di sana, memandangi wanita itu dalam diam. Tatapan matanya seperti sedang mempelajari tiap inci sikap dan ekspresi Anne yang sama sekali bukan seperti dulu.
Terlalu mencolok perbedaan itu hingga Arga terus membandingkan. Dia terus mencari apa yang sama selain wajah. Tapi hingga sekarang belum menemukan.
Biasanya, Anne akan meringkuk di pojok kasur jika ia masuk kamar. Bahkan terkadang menangis diam-diam di balik selimut. Tapi malam ini?
Anne menyambutnya dengan senyum dan tawaran pilihan lingerie?
Arga menyipitkan mata. “Kamu bahkan tidak terlihat takut.”
“Aku takut,” jawab Vexana, “Takut besok Mas berubah pikiran. Jadi, lebih baik sekarang.”
Pada akhirnya Arga berjalan pelan ke arah ranjang, berhenti tepat di depan Anne. Tatapan mereka bertemu, diam, intens, dan sedikit canggung.
Seketika, suasana berubah.
Vexana merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia terbiasa menghadapi pria kejam, ancaman senjata, bahkan tembakan peluru. Tapi menghadapi seorang suami yang hanya memandanginya tanpa berkata apa-apa, rasanya aneh dan baru.
Arga menunduk pelan, membisik pelan, “Apa kamu benar-benar siap?”
Vexana menelan ludah, “Tentu. Asal jangan minta aku pakai seragam suster. Itu belum kubeli.”
Arga tertawa tipis tanpa sadar, lalu duduk di sampingnya. Tangannya menyentuh lembut pundak Vexana.
“Kalau begitu...” bisiknya.
Vexana menutup mata.
Tapi yang terjadi?
Arga hanya menarik selimut, membungkus tubuh Anne, “Aku yang akan menentukan kapan kita berhubungan, tapi bukan malam ini."
hahaha
klo km blm pintar memainkany....ketimpuk sakitkan....
😀😀😀❤❤❤❤