Dua orang sahabat dekat. Letnan satu Raden Erlangga Sabda Langit terpaksa harus menjadi presiden dalam usia muda karena sang ayah yang merupakan presiden sebelumnya, tutup usia. Rakyat mulai resah sebab presiden belum memiliki pasangan hidup.
Disisi lain presiden muda tetap ingin mengabdi pada bangsa dan negara. Sebab desakan para pejabat negara, ia harus mencari pendamping. Sahabat dekatnya pun sampai harus terkena imbas permasalahan hingga menjadi ajudan resmi utama kepresidenan.
Nasib seorang ajudan pun tak kalah miris. Letnan dua Ningrat Lugas Musadiq pun di tuntut memiliki pendamping disaat dirinya dan sang presiden masih ingin menikmati masa muda, apalagi kedua perwira muda memang begitu terkenal akan banyak hitam dan putih nya.
Harap perhatian, sebagian besar cerita keluar dari kenyataan. Harap bijaksana dalam membaca. SKIP bagi yang tidak tahan konflik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Demi pujaan hati.
"Itu adalah keputusan yang baik di antara yang terbaik. Kalau kamu bisa menerima, silakan kamu tinggal disini, tapi jika tidak.. Sekarang angkat kaki dari rumah saya..!!" Kata Bang Lugas begitu jelas dan tegas.
Nadine mengepalkan jemarinya. Ia kembali menangis sebab tak punya pilihan dalam hidupnya. Hatinya di penuhi rasa sesal, jika saat itu dirinya menerima Bang Lugas, tentu tidak akan seperti ini hasilnya. Kini dirinya sangat merindukan belai sayang ayah dari anaknya namun harap itu pupus dan sirna.
"Baik, Nadine terima."
//
Bang Erlang menghela nafas lega. Sahabatnya sudah membuat keputusan bijak meskipun mungkin tidak bisa memuaskan hati atau mungkin adil dari sebelah pihak.
"Buat surat tugas, Serda Nadine ada perintah misi khusus di luar daerah. Jangan pertanyakan apapun lagi. Sembunyikan identitasnya sampai anaknya lahir. Pantau khusus keadaan istri Letnan Lugas, team kesehatan jangan jauh dari jangkauan..!! Sementara, Letnan Lugas menduduki daerah distrik X. Di larang bergunjing..!!" Perintah dari Bang Erlang atas pemikiran Nindy sebagai ibu negara.
"Kami mengerti." Respon menteri yang mengatur keamanan dalam negeri.
\=\=\=
Hari-hari berganti. Dena berusaha keras menahan mualnya. Ia tau betul suaminya sudah terlalu banyak pikiran dengan banyaknya pekerjaan dan permasalahan.
Di satu sisi Nadine sedang membersihkan teras depan rumah. Rasa pusing masih menyerangnya.
"Istirahat kalau pusing, jangan di paksa." Kata Bang Lugas kemudian berlalu masuk tanpa ekspresi apapun. Ia langsung mencari Dena ke perapian.
"Bang..!!" Nadine menghentikan langkah Bang Lugas.
"Kenapa?"
"Kata dokter, anak laki-laki." Jawab Nadine.
Bang Lugas sejenak menyentuh perut Nadine yang sudah mulai membesar. "Alhamdulillah." Hanya sesingkat itu saja kemudian Bang Lugas berlalu pergi. Ia kembali melangkah mencari Dena.
Benar saja, Dena sedang sibuk menyiapkan makan siang untuk mereka. Pipinya menghitam terkena arang dan bau asap perapian jauh berbeda dengan Nadine yang selalu cantik dan wangi.
Dengan senyum tipis, Bang Lugas memeluk Dena dari belakang sambil mengusap perut Dena yang juga sudah terlihat. "Istri Abang masak apa??"
Dena yang kaget secepatnya melepas pelukan itu. Ia cukup tau diri dengan penampilannya. "Dena bau api, Bang. Abang tunggu saja di meja makan sama Mbak Nadine. Sebentar lagi Dena siapkan makan siang Abang."
Jawaban dari Dena tersebut justru membuat Bang Lugas bersedih. Itu berarti dirinya sudah membuat sang istri kehilangan kepercayaan diri.
"Ada apa ini? Kenapa bicara begitu. Penampilan mu ini karena kamu mengurus anak dan suamimu dengan baik. Diamlah barang sehari saja, istirahat yang cukup. Anak kita juga butuh bersantai." Kata Bang Lugas.
Lagi-lagi Dena melepaskan pelukannya tapi Bang Lugas menahannya. "Inilah yang Abang takutkan dari keputusanmu. Kamu tidak kuat, kamu merasa jauh di bawah Nadine padahal kamu istri sah Abang."
"Dena tau, Bang. Tapi kalau bukan Dena yang melakukannya, lantas siapa lagi. Dena tidak ingin ada wanita lain yang lebih mengerti dan memahami kebutuhan Abang. Soal masak, mungkin benar kita bisa beli, tapi yang melayani???"
Bang Lugas kembali mengeratkan dekapannya. "Kasihku yang cantik, maaf sudah membuatmu gelisah. Abang sudah pernah bilang, tugasmu hanya di dalam kamar saja. 'Kenyangkan' suamimu disana, Insya Allah apa yang kamu takutkan tidak akan pernah terjadi."
Bang Lugas mengangkat dagu Dena kemudian memberikan kilas kecup padanya.
...
Bang Lugas mendekap Dena di bawah selimut, ia membelai lembut rambut sang istri. "Bagaimana kata dokter tadi? Maaf tadi Abang tidak bisa antar check up. Kegiatan full banget, dek."
"Iya Bang. Nggak apa-apa. Dokter bilang.. Anak kita laki-laki, Bang." Dena meraih sesuatu di bawah bantal dan menyerahkan selembar kertas pada Bang Lugas.
"Alhamdulilah.. Jagoan Abang nih." Bang Lugas menghujani Dena dengan banyak ciuman. Gurat senyum bahagia terlihat dari wajahnya.
"Abang juga dapat satu jagoan lagi, dari Mbak Nadine." Kata Dena.
"Abang tau." Bang Lugas terus mengejar Dena. Rasa rindunya seakan tidak pernah ada habisnya apalagi hatinya sedang bahagia karena Dena sedang mengandung seorang anak laki-laki, buah hatinya.
Tangan Bang Lugas menggelitik pinggang Dena hingga ada suara pekik lirih dari bibir mungil istri kecil Letnan Lugas itu.
...
"Abang, bisakah antar Nadine ke kota?" Tanya Nadine pada Bang Lugas yang sedang merokok santai di belakang rumah. Handuk masih tersampir di pundak, bersiap untuk mandi.
"Nanti Abang antar, tunggu Dena bangun tidur." Jawab Bang Lugas.
"Kita berdua saja."
Refleks Bang Lugas menatap wajah Nadine.
"Ehm.. Maksudnya biar Dena bisa istirahat." Alasan Nadine.
"Kamu butuh beli apa?"
"Melon. Nadine pengen melon." Jawab Nadine.
"Ya nanti tunggu Dena. Siapa tau Dena juga pengen sesuatu. Jarang sekali Dena pergi ke kota. Biar dia juga senang, tidak suntuk lihat pemandangan rumah terus." Kata Bang Lugas sambil mematikan puntung rokoknya yang sudah habis.
"Bisakah kita pergi secara private, hanya berdua. Nadine butuh bicara dari hati ke hati sama Abang." Ucap jujur Nadine pada akhirnya.
"Nggak bisa. Tanpa Dena, kita tidak akan kemana-mana." Bang Lugas beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju kamar mandi.
"Kata Dena, Nadine bisa mendapatkan hak yang sama. Anak ini juga butuh di sayangi bapaknya." Protes Nadine.
"Hak yang sama bagaimana maksudmu??? Dokter, Vitamin untukmu, susu ibu hamil, seluruh kebutuhan kehamilanmu, sama seperti Dena. Tapi kalau lebih dari itu, saya tidak bisa." Ucap lantang Bang Lugas tanpa ada yang di tutupi lagi.
"Tapi anak ini juga butuh di belai. Darimana anakmu bisa bahagia kalau ibunya saja tidak bahagia."
"Kamu ada disini atas permintaan Dena, jadi tolong jaga sikapmu. Saya hanya bertanggung jawab pada anak yang ada dalam kandunganmu." Bang Lugas melangkah pergi tapi Nadine menahan lengannya.
"Apa tidak ada sedikit pun rasa untuk Nadine setelah kejadian malam itu?? Ini anakmu, Bang." Sampai sesenggukan Nadine mengharap balas kasih dari pria di hadapannya.
"Saya pernah mencarimu mati-matian. Tapi kamu meminta pergi. Hati saya hancur lebur padahal saat itu saya ingin bertanggung jawab atas semuanya. Sekarang saya sudah menjadi milik wanita lain. Wanita yang tidak pernah kamu pahami mengapa saya begitu mencintainya. Asal kamu tau Nadine, meskipun saya mampu bermain di belakang punggung istri, tapi saya tidak suka merendahkan harga diri saya sendiri."
Bang Lugas yang kesal mengurungkan niatnya dan memilih masuk ke dalam kamarnya. Disana, ia melihat Dena sudah bangun dan duduk sambil memasang kancing bajunya.
"Ada apa sih, Bang? Ribut sekali." Tanya Dena kemudian mengembangkan senyumnya.
"Nggak apa-apa." Jawab Bang Lugas singkat saja.
"Ke kota yuk, Bang. Dena pengen di suapin sama Abang." Ajak Dena kemudian.
"Pengen makan apa kasihku ini?" Bang Lugas mencubit gemas hidung Dena yang tidak seberapa mancung tapi masih terlihat sangat manis dan cantik.
"Rahang tuna bakar."
"Siap, sayangku. Abang suapin sampai kenyang." Rasa kesal Bang Lugas pun mereda setiap bertemu dengan sang pujaan hati.
.
.
.
.