NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:469
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

26. Darah dan bara di lapangan istana

Fajar menyingsing perlahan di atas Samudra Jaya. Kabut tipis masih menggantung di pelataran barat istana, tempat para prajurit telah bersiap menjalani latihan pagi. Di tengah lapangan luas yang dikelilingi para bangsawan dan dayang, Raden Kusumanegara berdiri tegap mengenakan pakaian tempur ringan berwarna biru laut, warna kebesaran Mandalapura. Di sisi lain, Panglima Aruna telah bersiap, mengenakan baju zirah sederhana berlapis kulit dan logam ringan. Hari itu, Samudra Jaya hendak menyambut sekutunya dengan cara yang agung — latihan persahabatan antara prajurit Samudra Jaya dan pasukan Mandalapura.

Dari panggung kehormatan, Prabu Harjaya duduk dengan wibawa, diapit oleh Mahapatih Nirmala Wisesa. Di belakangnya, keempat selir kerajaan hadir dengan busana terbaik mereka, sementara para dayang berbaris di belakang, bisik-bisik kagum melihat sosok Raden Kusumanegara yang gagah. Namun, tatapan mereka bukan satu-satunya yang memperhatikannya — Putri Dyah pun hadir di sisi kanan sang Prabu, wajahnya tenang, meski hatinya bergetar hebat.

Ketika nama Panglima Aruna disebut, seluruh mata beralih padanya. Sosoknya tampak gagah, langkahnya mantap, dan sorot matanya menyala yakin. Ia berlutut sejenak di hadapan Prabu Harjaya, memberi hormat.

“Hamba siap, Gusti Prabu.”

“Bangkitlah, Aruna. Tunjukkan pada sekutu kita bahwa Samudra Jaya masih memiliki darah prajurit sejati,” titah sang Prabu dengan suara berat. Raden Kusumanegara menatapnya dari kejauhan — pandangan yang awalnya bersahabat, namun menyimpan sesuatu yang lain. Sejak kedatangannya dua hari lalu, banyak hal yang ia kagumi dari negeri ini tata perangnya, keindahan istananya, bahkan kelembutan Putri Dyah. Tapi justru dari sinar mata sang putri, ia merasakan sesuatu yang ganjil. Setiap kali Aruna hadir, sinar itu berubah lembut — bukan pada dirinya, melainkan pada sang panglima.

“Apakah itu... yang disebut cinta?” batin Kusumanegara getir. Sebagai putra mahkota, ia terbiasa dikagumi, bukan diabaikan. Maka hari ini, di hadapan semua orang, ia bertekad menunjukkan siapa dirinya. Gendang perang ditabuh pelan. Kedua pendekar muda itu melangkah ke tengah arena. Pedang mereka dihunus, saling memberi salam hormat.

“Panglima Aruna,” ucap Kusumanegara sopan namun penuh tantangan, “izinkan hamba belajar sedikit tentang keberanian Samudra Jaya.”

Aruna membalas dengan anggukan. “Hamba hanya seorang prajurit, Gusti. Tapi hamba akan berusaha tidak memalukan negeri ini.” Serangan pertama datang cepat dari Kusumanegara — tajam, gesit, dan penuh teknik khas Mandalapura. Aruna menangkis dengan sigap, tubuhnya berputar ringan, membalas dengan gerakan yang membuat para prajurit bersorak. Dua kali Aruna terdesak, pedangnya nyaris terlepas, namun ia bertahan dengan tenang dan membalik keadaan. Sorak sorai terdengar dari para penonton. Para selir bertepuk tangan kecil, beberapa dayang menahan napas, dan Prabu Harjaya mengangguk puas melihat kemampuan keduanya. Namun, Kusumanegara mulai gelisah. Tatapannya sempat melirik ke arah Putri Dyah — dan di sana, ia melihat sesuatu yang menusuk hatinya: tatapan cemas sang putri, bukan untuknya, melainkan untuk Aruna.

Hatinya tersulut api yang tak bisa dijelaskan. Ia memutar pedangnya dengan cepat, lalu menyerang dengan kekuatan penuh — gerakan yang lebih mirip pertempuran sesungguhnya daripada latihan. Para prajurit Mandalapura di sisi barat menahan napas, Mahapatih Nirmala berdiri, sementara Prabu Harjaya menegakkan tubuhnya di kursi singgasana penonton.

“Aruna, awas!” seru seseorang dari barisan prajurit Samudra Jaya. Tapi panglima muda itu tidak mundur. Ia menangkis serangan Kusumanegara dengan gerakan yang tenang, lalu melompat ke samping, membalas dengan serangan balasan yang begitu cepat hingga suara logam beradu menggema keras di udara. Dalam sekejap, keduanya saling berhadapan — peluh menetes di pelipis, napas terengah, namun sorot mata sama-sama menyala. Akhirnya, dengan satu gerakan cepat, keduanya mengunci posisi — pedang Kusumanegara menempel di bahu Aruna, sementara ujung pedang Aruna berhenti tepat di dada Kusumanegara.

Seri.

Hening menyelimuti arena beberapa saat. Lalu Prabu Harjaya berdiri dan bertepuk tangan.

“Cukup! Kalian berdua menunjukkan keberanian sejati. Mandalapura dan Samudra Jaya pantas disebut saudara senjata.” Kusumanegara menurunkan pedangnya perlahan, menatap Aruna dengan senyum tipis — namun di balik senyum itu, terselip bara cemburu yang tak bisa padam.

“Panglima yang hebat,” katanya dengan nada datar. “Tak heran jika Samudra Jaya masih tegak hingga kini.”

Aruna menunduk sopan. “Hamba hanya menjalankan tugas, Gusti.” Putri Dyah menatap keduanya dengan hati yang campur aduk — antara lega dan takut. Ia tahu api di antara kedua pria itu bukan sekadar tentang kekuatan... tetapi tentang dirinya. Di antara sorak sorai yang kembali terdengar, Raden Raksa yang duduk agak jauh di sisi kiri arena hanya tersenyum samar. Tatapannya penuh arti, seolah melihat sesuatu yang lebih besar dari sekadar latihan perang.

“Bara sudah menyala,” gumamnya pelan. “Dan kali ini... tak ada air yang bisa memadamkannya.” Sore itu, setelah latihan persahabatan antara Panglima Aruna dan Raden Kusumanegara usai, suasana di lapangan utama istana Samudra Jaya belum sepenuhnya reda. Prabu Harjaya, yang tampak puas dengan unjuk kemampuan dua prajurit muda itu, memberi isyarat agar latihan dilanjutkan dengan para putra kerajaan sendiri.

“Sekarang... mari kita lihat,” ujar beliau sambil menatap dua sosok yang berdiri di antara barisan prajurit. “Bagaimana dua darah Samudra Jaya menegakkan nama leluhur mereka.” Raden Arya melangkah lebih dulu ke tengah lapangan, wajahnya tenang namun matanya menyimpan bara yang belum padam sejak pagi. Raden Raksa, adik tirinya, datang tak lama kemudian — dengan langkah ringan, senyum tipis, dan sorot mata yang nyaris tak terbaca. Di sekitar arena, para bangsawan kembali berbisik-bisik, sementara para dayang bersiap membawa kendi air dan kain untuk menyiapkan latihan berikutnya. Namun di barisan belakang podium, Puspa berdiri diam sambil memeluk kendi kecil di dadanya. Ia tak tahu harus menatap ke mana — antara Raden Arya yang selama ini begitu disegani, dan Raden Raksa yang selalu membuatnya gugup dengan sikapnya yang sulit ditebak.

“Raden Arya melawan Raden Raksa,” seru Mahapatih Nirmala dengan suara lantang. “Demi latihan kehormatan keluarga kerajaan!”

Sorak prajurit pun pecah. Kedua pangeran itu menunduk hormat kepada Prabu Harjaya, lalu saling menatap — tajam, seperti dua singa muda di padang perburuan yang sama.

“Sudah lama kita tidak beradu senjata, Kakanda,” ujar Raksa dengan nada yang terdengar sopan, namun ada sindiran halus di ujung suaranya.

Arya menjawab dengan datar, “Tidak ada yang berubah, Raksa. Kau masih sama — datang terlambat tapi ingin jadi pahlawan.”

Raksa tersenyum tipis. “Mungkin karena yang paling lambat datang... justru yang paling diingat.” Ucapan itu membuat dada Arya menghangat — apalagi ketika dari sudut matanya, ia melihat Puspa tersentak kecil, menunduk, pura-pura memperbaiki letak kendi di tangannya. Semua orang tahu, di balik keanggunannya yang sederhana, nama Puspa sering disebut-sebut di antara para prajurit — gadis yang lembut namun tegas, dan entah bagaimana, selalu membuat dua pangeran itu saling membara.

“Mulai!” seru Mahapatih. Dua bilah keris panjang beradu keras, memantulkan kilatan cahaya sore yang mulai menurun. Arya menyerang lebih dulu — cepat, akurat, dan terlatih. Raksa menangkis dengan gaya yang lebih luwes, seolah bermain dengan angin. Beberapa kali ia sengaja menghindar lebih lambat, membuat Arya makin tersulut. Sorak prajurit bergema lagi. Beberapa bangsawan mulai berdiri, menikmati tontonan itu. Di podium kehormatan, Prabu Harjaya tampak menatap dalam diam, sorot matanya tak bisa ditebak — apakah bangga, atau khawatir.

“Gerakmu masih kaku, Kakanda,” ujar Raksa di sela benturan senjata. “Atau tanganmu gemetar karena seseorang sedang menatap?” Arya berhenti sejenak. Tatapan tajamnya menembus adik tirinya, lalu melirik sekilas ke arah Puspa — yang kini benar-benar menunduk, wajahnya merah padam.

“Jagalah lidahmu, Raksa. Jangan bawa-bawa seorang dayang dalam urusan kehormatan,” balasnya dingin.

Raksa hanya tersenyum sinis. “Ah, tapi bukankah kehormatan justru diuji karena cinta, Kakanda?” Keris Arya terayun deras, memaksa Raksa mundur dua langkah. Benturan berikutnya lebih keras, lebih panas. Debu mulai terangkat di bawah kaki mereka, dan bahkan beberapa prajurit Mandalapura yang masih menonton dari sisi lapangan menahan napas kagum.

Mereka tak sedang melihat latihan... melainkan dua darah bangsawan yang memperebutkan lebih dari sekadar kemenangan.

Tiba-tiba suara logam beradu terdengar nyaring — keris Raksa hampir terlempar. Tapi sebelum Arya sempat menekan serangan, Raksa memutar tubuh, memanfaatkan celah kecil untuk membalas, membuat keduanya sama-sama mundur dengan napas berat.

Suasana mendadak hening. Dari podium, Prabu Harjaya berdiri perlahan, lalu berkata dengan suara dalam,

“Cukup. Dua darah dari satu ayah, dua keberanian dari satu nama. Jangan jadikan lapangan latihan sebagai medan dendam.” Kedua pangeran itu sama-sama menunduk, menurunkan keris mereka. Namun di antara mereka, bara belum benar-benar padam.

Arya menatap Raksa dengan amarah yang tertahan, sementara Raksa hanya menyunggingkan senyum kecil — seolah kemenangan sudah ia genggam, bukan di medan laga, tapi di hati seorang gadis yang kini tak berani mengangkat pandangan.

Dan di kejauhan, Puspa menggenggam kendi itu erat-erat, merasakan dadanya berdebar tak karuan. Ia tahu... sore itu bukan hanya latihan kehormatan, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya — pertarungan antara cinta dan darah.

Fajar mulai turun di ufuk barat, para abdi dalem mempersiapkan ritual mandi untuk para anggota kerajaan. Di pemandiannya Raden Kusumanegara masih teringat di lapangan latihan tadi bagaimana raut wajah khawatir Putri Dyah menatap Panglima Aruna, terlihat sekali walau tanpa dijelaskan sekali pun siapa yang sang putri cintai diantara mereka. Raden Kusumanegara menyandarkan tubuhnya di dinding kolam pemandian menatap langit malam yang penuh dihiasi bintang dan bulan purnama yang indah.

“Ah....indah sekali malam ini, sayangnya tak seindah hatimu padaku wahai sang Putri,” gumam Raden Kusumanegara lalu sejenak dia pun tertawa, tertawa getir karena sadar siapa saingannya dalam perebutannya kali ini tentang hati seorang wanita, karena seumur hidupnya persaingannya hanyalah sesama para bangsawan bukan dengan seorang pengawal rendahan. Tangannya mengepal erat rahangnya mengeras menatap nyalang pada langit malam.

“Cinta memang buta bahkan hadir pada pengawal rendahan sepertimu,” Raden Kusumanegara merendamkan tubuhnya perlahan ke dalam air yang hangat, membiarkan uap tipis naik ke udara dan menutupi sebagian wajahnya. Suara gemericik air dan nyanyian serangga malam seolah menjadi satu-satunya saksi dari gelombang perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. Tatapannya kosong, namun di balik mata itu tersimpan bara yang sulit dipadamkan.

Ia mengingat dengan jelas bagaimana siang tadi Putri Dyah berlari kecil ke arah Panglima Aruna yang terjatuh saat latihan. Wajahnya pucat, suaranya gemetar memanggil nama sang panglima. Dan saat tangan halus putri itu menyentuh lengan Aruna, entah mengapa dada Kusumanegara terasa sesak—seperti ada sesuatu yang menusuk pelan tapi dalam.

“Panglima Aruna...” ucapnya pelan, seolah nama itu racun yang membuatnya muak. “Hanya seorang panglima, namun kau berhasil membuat sang putri menunduk, menunjukkan hatinya tanpa kata.”

Ia terkekeh lirih, tapi tawa itu terdengar getir dan kosong. “Seumur hidupku aku selalu menang. Di medan politik, di arena latihan, di mata para bangsawan. Tapi kini... aku kalah sebelum bertarung.” Ia berdiri, menatap pantulan dirinya di permukaan air. Bayangan seorang pangeran yang tampan, anggun, dan berwibawa—namun kini terlihat rapuh. “Apa yang dia miliki hingga sang putri mampu menatapnya dengan begitu lembut? Apakah keberanian? Kesederhanaan? Atau mungkin... ketulusan yang tak bisa dimiliki seorang seperti aku?” Langit malam makin gelap, namun bulan purnama masih setia menggantung di atas sana, seolah mengejeknya dengan cahaya yang terlalu tenang. Ia mengibaskan air dari tangannya, lalu berjalan ke tepi kolam, mengambil jubah tipis yang diletakkan di atas batu besar.

Tak lama, terdengar langkah lembut seorang abdi dalem yang menghampiri, membawa minyak wangi dan kain kering.

“Gusti, apakah Anda hendak kembali ke paviliun?” tanya abdi itu hati-hati.

“Belum,” jawab Kusumanegara tanpa menoleh. “Bawakan aku minuman dari perasan bunga kenanga. Malam ini terlalu panjang untuk dilewati tanpa teman.” Abdi itu menunduk lalu pergi, meninggalkan sang pangeran seorang diri lagi. Kusumanegara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak hatinya, tapi semakin ia mencoba, semakin kuat rasa iri itu menjerat. “Aku tidak akan membiarkan kisah ini berakhir begitu saja,” bisiknya. “Aku akan membuat Putri Dyah melihat... bahwa hanya seorang pangeran sepertiku yang pantas berdiri di sisinya. Bukan panglima dari kalangan bawah yang hanya kebetulan menarik belas kasihannya.”

Ia menatap kembali ke langit, mata itu kini tidak lagi kosong. Ada tekad yang perlahan tumbuh di sana—sebuah ambisi yang lahir dari luka dan rasa cemburu.

“Baiklah, Panglima Aruna...” ujarnya lirih tapi tegas. “Kalau ini medan perang yang baru, maka aku akan bertarung di dalamnya. Tidak dengan pedang, tapi dengan hati dan kehormatan. Dan kita lihat, siapa yang akhirnya akan dipilih oleh sang putri.” Malam pun terus berjalan, sementara di kolam pemandian itu, Raden Kusumanegara menatap bayangan bulan yang terpantul di air, seolah melihat tanda permulaan dari sebuah persaingan yang tak akan mudah padam.

Di istana yang sama tapi ada dua anak manusia yang merasa kalah bersaing sebelum perang, itulah yang Raden Arya rasakan tatapan khawatir dari Puspa untuk Raden Raksa masih teringat jelas dipikirannya, dia menatap tangan kanannya bagaimana pedang itu terlepas dari tangannya dan dia kalah telak dari adik tirinya. Di antara cahaya lentera yang berayun di sepanjang lorong batu, langkah Puspa terdengar pelan dan hati-hati. Di tangannya tergenggam nampan berisi segelas jamu hangat yang baru saja diseduh oleh Nyi Jayem.

Seperti malam-malam sebelumnya, tugasnya sederhana mengantarkan jamu untuk Raden Arya sebelum pangeran itu beristirahat. Namun malam ini terasa berbeda. Sejak siang tadi, seluruh istana masih membicarakan duel antara dua pangeran—dan Puspa tahu, nama dirinya juga ikut terseret dalam bisik-bisik para dayang. Sesampainya di depan paviliun Raden Arya, ia menarik napas pelan, berusaha menenangkan degup jantungnya yang entah kenapa terasa lebih cepat. Ia mengetuk pintu kayu perlahan.

“Siapa?” terdengar suara berat dari dalam.

“Hamba, Puspa, Raden. Mengantarkan jamu malam.” Suara langkah mendekat, lalu daun pintu terbuka perlahan. Di hadapannya, Raden Arya berdiri dengan pakaian santai berwarna gelap. Rambutnya terurai sebagian, wajahnya tampak letih namun sorot matanya—entah kenapa—berbeda malam itu. Ada sesuatu yang lembut sekaligus rapuh.

“Masuklah,” katanya pelan. Puspa menunduk hormat, lalu melangkah masuk dengan hati-hati. Paviliun itu remang, hanya diterangi dua lentera di sudut ruangan. Ia meletakkan nampan di meja rendah, hendak berpamitan seperti biasa, namun sebelum sempat berbalik, tangan Raden Arya tiba-tiba menahan pergelangan tangannya.

“Puspa…” suaranya serak, nyaris seperti bisikan. Gadis itu terkejut, menatapnya dengan mata membulat. “Raden… ada apa?” tanyanya pelan, mencoba menarik tangannya, namun genggaman Arya justru menguat. Untuk sesaat tak ada suara selain detak jantung mereka berdua. Raden Arya menatap wajah Puspa lama—tatapan yang membuat gadis itu tak nyaman, seolah sedang dipelajari satu per satu.

“Kenapa kau selalu menatapnya dengan cara itu?” tanya Arya akhirnya.

Puspa mengerutkan dahi. “Siapa, Raden?”

“Raksa,” jawabnya lirih namun penuh penekanan. “Setiap kali dia datang, atau saat kau berbicara padanya… matamu berubah, Puspa. Kau tidak menatapnya sebagai tuanmu, tapi sebagai seseorang yang… kau kagumi.” Wajah Puspa memucat, bukan karena takut, melainkan karena bingung harus berkata apa. “Hamba tidak bermaksud apa-apa, Raden. Hamba hanya melakukan kewajiban hamba.”

“Tapi kenapa tidak dengan aku?” suara Arya meninggi sedikit, matanya kini penuh luka. “Setiap kali kau datang ke paviliunku, kau begitu kaku, begitu berhati-hati. Tapi aku melihatmu waktu itu, malam saat kau mengantarkan jamu ke paviliun Raksa. Rambutmu terurai… kau bahkan tersenyum.” Puspa menunduk cepat, pipinya memanas. “Itu… bukan maksud hamba, Raden.” Raden Arya menghela napas dalam, tapi masih belum melepaskan tangannya. “Puspa, lihatlah aku… bukan sebagai pangeran, tapi sebagai seorang laki-laki. Aku juga punya hati, aku juga bisa merasa cemburu. Hari ini di lapangan, saat kau menatapnya dengan cemas—kau tahu betapa sakitnya itu bagiku?” Puspa terdiam. Hatinya berguncang mendengar suara lirih itu. Namun ada juga amarah kecil yang perlahan muncul, bukan karena takut, tapi karena kecewa. Ia menarik tangannya perlahan, menatap Raden Arya dengan mata berkaca-kaca.

“Raden,” katanya pelan namun tegas, “jangan rendahkan diri Raden dengan kata-kata seperti itu. Hamba hanyalah seorang dayang, tak pantas menjadi sumber amarah seorang pangeran.”

Arya terdiam, namun matanya tak berpaling.

“Dan tentang hati…” lanjut Puspa, “itu bukan sesuatu yang bisa diatur, Raden. Hati tidak tunduk pada perintah, bahkan pada seorang pangeran.”

“Jadi kau mencintainya?” suara Arya terdengar berat, hampir seperti bisikan putus asa. Puspa menatapnya lama, lalu menggeleng pelan. “Hamba tak tahu, Raden. Yang hamba tahu… perasaan bukan sesuatu yang bisa dijelaskan, apalagi dimiliki hanya karena seseorang menginginkannya.” Hening kembali memenuhi ruangan. Lentera bergoyang ditiup angin malam, bayang-bayang mereka berdua menari di dinding.

Raden Arya akhirnya menunduk, melepaskan genggaman tangannya. “Maafkan aku… aku hanya—”

“Raden lelah,” potong Puspa lembut. “Istirahatlah. Jamu itu akan membantu tidur Raden malam ini.” Ia menunduk hormat, lalu melangkah mundur perlahan. Saat pintu hampir tertutup, suara Raden Arya kembali terdengar lirih di belakangnya, nyaris seperti gumaman yang ditelan malam.

“Seandainya kau tahu… betapa sulitnya bagiku tidak mencintaimu.” Puspa berhenti sejenak di ambang pintu. Matanya menatap lantai batu yang dingin, hatinya berdenyut pelan di antara iba dan ketidakpastian. Lalu, tanpa menoleh lagi, ia melangkah pergi. Dari balik pintu, Raden Arya hanya bisa menatap bayangannya sendiri di permukaan gelap cawan jamu yang belum disentuh. Tatapannya kosong — antara cinta, penyesalan, dan luka yang ia tanam sendiri malam itu.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!