Aluna ditinggal mati suaminya dalam sebuah kecelakaan. Meninggalkan dia dengan bayi yang masih berada dalam kandungan. Dunianya hancur, di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Demi menjaga warisan sang suami, ibu mertuanya memaksa adik iparnya, Adam, menikahi Aluna, padahal Adam memiliki kekasih yang bernama Laras.
Akankah Aluna dan Adam bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hare Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
“Aluna…” panggil Adam setelah beberapa saat Aluna tidak menjawab.
Wajah Aluna tenang, datar, dan tidak bisa ditebak. Apakah dia akan marah-marah saat mendengar apa yang Adam katakan, atau dia akan mengalah. Tapi, sebenarnya di dalam hatinya semua perasaan itu bercampur menjadi satu.
“Iya, Mas.”
“Kamu dengar aku?” tanya Adam menatap Aluna dalam.
Aluna mengangguk. “Dengar, Mas. Terus, kamu mau kita seperti apa?” tanya Aluna datar.
Dari nada suaranya, aluna benar-benar tenang. Tidak ada ledakan emosi, tidak ada tangisan, yang ada hanya sebuah senyum terukir di wajahnya.
Dia sudah memprediksikan ini akan terjadi. Cepat atau lambat, sudah pasti Laras akan minta untuk dinikahi. Karena tidak mungkin hubungan mereka akan berpacaran selamanya. Meskipun, Aluna tidak tahu apa yang telah terjadi dengan mereka.
Seorang perempuan sejatinya pasti akan menuntut, mungkin awalnya dia bisa menerima. Tapi, lama-lama akan menuntut. Juga, Aluna sudah menyiapkan hatinya untuk hari ini. Dia akan menerima apapun keputusan yang akan diambil oleh Adam.
Kini, justru Adam yang terdiam. Ketenangan Aluna justru membuatnya goyah. Awalnya, dia sudah menyiapkan rencana untuk mereka. Dia akan tetap menikahi Laras, tapi tidak akan menceraikan Aluna. Tapi, entah mengapa kini justru lidahnya kelu.
“Mas, aku rela kalau kamu mau menceraikanku,” ucap Aluna memecah keheningan.
Malam yang dingin malah semakin dingin dengan pembicaraan mereka kali ini. Tubuh Adam justru menggigil mendengar apa yang dikatakan Aluna.
“Jangan pikirkan aku dan Kiya, Mas. Kalian saling mencintai, sudah selayaknya kalian perjuangkan. Kiya juga kini sudah besar, aku sudah bisa bekerja kok,” sambung Aluna.
“Apa yang mau kamu lakukan?” tanya Adam.
“Aku bisa mengajar di TK, karena memang pendidikan terakhirku adalah tenaga pendidik,” jawab Aluna tersenyum.
“Bagaimana dengan Kiya?”
“Tidak masalah dengannya, aku akan memberikan dia pengertian. Lagian, dia masih kecil, dia belum tahu apa-apa, tidak sulit untuk membuatnya mengerti,” jawab Aluna.
Adam tidak menjawab, dia melihat kalender di pergelangan tangannya. Tiga hari lagi Kiya berulang tahun yang ke satu. Dan, apakah ini hadiah yang dia siapkan untuk Kiya? Apakah dia tega menghancurkan masa depan Kiya. Sedangkan Arman menitipkan Aluna dan Kiya kepadanya.
“Aku bisa menghidupi Kiya, Mas. Aku tidak akan menuntut kalian mengenai harta warisan, bagiku sudah bisa bertahan hidup sampai hari ini saja aku sudah bersyukur. Aku tidak akan meminta apapun dari keluarga kalian, Mas. Aku yakin, Tuhan tidak akan pernah meninggalkan dan membiarkan kami kelaparan,” sambung Aluna.
Adam tersentak. Dia merasa baru mengenal Aluna, ternyata Aluna begitu tegas.
“Jika kamu tidak percaya, aku akan membawa Kiya pergi dari sini. Agar kamu dan Mama percaya kalau aku tidak akan pernah menuntut.”
Dengan cepat Adam menggeleng. Itu tidak boleh terjadi, Aluna tidak boleh membawa Kiya pergi. Dia sangat menyayangi Kiya.
“Tidak, bukan itu yang aku mau,” jawab Adam akhirnya.
Aluna mengernyit. “Jadi, kamu mau berpoligami? Mau aku menandatangani surat izin menikah?”
Akhirnya, Adam mengangguk. “Maaf.”
Aluna menghela nafas berat. Dia harus dimadu? Jika boleh memilih, dia akan lebih memilih bercerai. Tapi, dia tahu mungkin bercerai juga tidak akan mudah. Keluarga Adam tidak akan percaya kalau dia tidak menuntut apapun. Dan pastinya hidupnya dan Kiya akan lebih sulit.
“Mana suratnya?” tanya Aluna akhirnya.
Adam menatap Aluna, dia ingin tahu apakah ada keterpaksaan disana, apakah ada luka disana. Tapi, dia tidak bisa menemukannya. Aluna benar-benar hebat bisa menyembunyikan semuanya.
“Nanti saja,” jawab Adam akhirnya.
Ruangan itu kembali hening, tidak ada yang bersuara dan hanya terdengar detak jarum jam di dinding yang menemani malam yang hening itu. Bahkan suara helaan nafas keduanya terdengar begitu berat.
“Tidurlah,” ucap Adam akhirnya.
“Baiklah, aku tidur duluan, Mas.”
Adam mengangguk, menatap punggung Aluna yang berjalan menuju kamar. Sepanjang mereka mengobrol, tidak sedikitpun Aluna menunjukkan kesedihannya. Adam semakin bingung, dan hatinya semakin meragu.
“Maafkan aku, Mas Arman,” bisik Adam pelan.
Adam benar-benar tidak bisa tidur, keinginan Laras itu sangat mendadak. Biasanya, meskipun ngambek atau marah, Laras tidak menuntut untuk dinikahi. Tapi, entah mengapa kemarin, Laras malah menuntutnya agar segera menikah.
Sejak awal, Laras tahu kalau Adam menikahi Aluna. Tapi, Laras tidak pernah ingin berpisah, pada saat itu Adam bahkan ingin mengakhiri hubungan mereka, karena dia tahu, Laras lah yang akan tersakiti.
“Kamu tidak mencintainya, kan?” tanya Laras kala itu.
“Tidak, tapi Mas Arman menitipkannya padaku,” jawab Adam.
“Seharusnya tidak perlu menikahinya. Kamu cukup menafkahi mereka saja setiap bulan, bukankah usaha Masa Arman kamu yang pegang?”
“Iya, tapi Mama dan Papa tidak mau membagikan harta itu untuk Aluna dan anaknya. Jadi, aku yang dipaksa menikahinya.”
“Yaudah kamu nikahi saja,” sahut Laras.
“Bagaimana denganmu? Bagaimana dengan kita?” tanya Adam.
“Tidak ada yang berubah. Kita akan tetap seperti ini, kalau bisa setelah Aluna mandiri, kamu ceraikan dia dan kita menikah,” jawab Laras.
“Aku tidak yakin bisa, sebaiknya kita putus saja. Kamu bisa menemukan orang yang lebih baik dariku.”
“Bagaimana dengan hidupku kedepannya? Kamu sudah merenggut semuanya!” teriak Laras.
Iya, Adam pernah melakukan kesalahan. Saat itu perayaan wisuda Laras, keduanya malah melakukan hubungan yang tidak seharusnya. Tapi, hanya satu kali. Setelahnya, Adam tidak pernah menyentuh Laras lagi, meskipun kadang wanita itu menggodanya.
“Aku akan menyakiti kamu kalau kita terus seperti ini. Aku takut khilaf,” ucap Adam.
“Aku tidak peduli. Aku sangat mencintaimu, bagaimana aku bisa menikah dengan orang lain, sedangkan kamu yang sudah mengambil perawanku?” tanya Laras.
Selama delapan bulan, semuanya berjalan seperti biasa. Adam dan Laras selalu bertemu minimal dua kali dalam sebulan. Adam akan datang mengunjungi Laras setiap kali ada waktu senggang. Dan yang pasti, setiap bulan, Adam memberikan uang kepada Laras, sudah seperti menafkahi istri dengan jumlah yang tidak sedikit. Bahkan lebih besar daripada yang dia berikan kepada Aluna.
Gaya hidup Laras dan Aluna juga sangat berbeda. Aluna yang sederhana, berapapun yang diberikan oleh Adam, dia tidak pernah protes. Dan dari uang yang diberikan, dia bisa memanjakan Adam dengan masakannya yang enak dan bergizi. Sementara Laras, yang Adam berikan bahkan dianggap kurang, dan selalu menuntut lebih. Bahkan, mobil yang dipakai oleh Laras adalah dibelikan Adam ketika dia menikahi Aluna, sebagai hadiah untuk Laras karena ditinggalkan menikah.
Namun, kemarin Laras tiba-tiba menuntut untuk dinikahi.
“Adam, aku ingin kita menikah,” ujar Laras dengan tingkah manjanya.
“Aku belum bisa. Kiya masih kecil, kalau aku menceraikan Aluna sekarang, kasihan mereka. Pasti Mas Arman akan sangat marah denganku,” jawab Adam.
“Kamu tidak perlu menceraikannya. Yang penting kita menikah, aku ingin kita menikah,” ucap Laras.
“Mengapa terburu-buru?” tanya Adam.
“Gak terburu-buru, kita sudah lama bersama. Pokoknya aku ingin kita menikah secepatnya, kalaupun tidak bisa secara resmi sekarang, kita nikah siri dulu,” jawab Laras tegas.