Kisah Seorang Buruh kasar yang ternyata lupa ingatan, aslinya dia adalah orang terkuat di sebuah organisasi rahasia penjaga umat manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Bab 29
“Kamu kira aku menyuruhmu menggonggong di depanku?” ucap Rangga dengan nada dingin.
Sekejap, ruangan itu menjadi sunyi.
Bisikan-bisikan yang tadi terdengar berhenti.
Bahkan mereka yang tengah meneguk wine pun menelan minumannya tanpa bisa menikmati rasa pahit yang biasanya menenangkan itu.
Semua mata menatap Rangga.
Mereka tidak percaya ada yang berani berbicara seperti itu — di markas pribadi Elang Dirgantara.
Tempat ini bukan sembarang rumah mewah.
Ini adalah markas pribadi keluarga Dirgantara, dan para wanita yang hadir di sana bukan tamu kehormatan, melainkan penghibur langganan. Mereka dipanggil untuk menemani tamu minum, atau bahkan lebih dari itu.
Sudah tak terhitung berapa kali mereka menyaksikan pertumpahan darah di tempat ini.
Mulai dari wajah lebam, gigi copot, sampai ada yang koma berbulan-bulan.
Namun satu hal pasti:
Tak ada satu pun orang yang berani menentang Elang.
Dan malam ini, Rangga menjadi orang pertama yang berani melawan — di kandang Elang sendiri.
Salah satu anak buah Elang, pria bertubuh besar dengan tongkat bisbol di tangan, langsung berdiri.
“Wah, mulutmu berani juga, ya. Kubunuh kau!” katanya sambil mengangkat tongkat tinggi-tinggi.
Rangga hanya mengangkat alis, lalu menunjuk kepalanya sendiri.
“Ayo. Sini, coba hancurkan kepalaku kalau bisa.”
Urat di leher pria itu menegang.
“Kamu kira aku tidak berani?”
Namun sebelum ia sempat menghantam, suara tawa terdengar.
“Berhenti!” seru Elang Dirgantara, bertepuk tangan sambil berdiri.
“Kau orang yang menarik. Di kota ini, tidak ada yang berani membantah ucapanku. Yah, sejauh ini hanya kamu saja.”
Rangga tersenyum kecil. “Lalu apa?”
Elang berjalan mendekat, menaikkan satu kakinya ke atas meja marmer panjang yang penuh botol wine.
“Orang bisa salah paham. Dengan kepribadianmu yang begini, mereka bisa mengira kamu anak orang kaya.” Ia menuang wine ke gelas. “Tapi nyatanya, kamu cuma tukang angkat batu bata.”
Ia berhenti sejenak, menatap Rangga penuh hinaan.
“Kalau cuma anjing sepertimu, aku bisa habisi sendiri. Jangan sok jagoan di sini.”
Begitu kata terakhir itu keluar, Elang mengguyurkan isi gelas wine ke kepala Rangga, lalu mengayunkan botol di tangannya ke arah kepala pria itu.
Namun dalam sekejap, Rangga memutar tubuhnya dan menepis tangan Elang ke atas.
Botol itu terlepas dan berputar di udara — sebelum jatuh tepat di kepala Elang sendiri.
Prang!
Pecahan kaca berhamburan.
Darah merah segar menetes dari dahi Elang Dirgantara.
Semua orang terperangah.
Tak ada yang berani bergerak.
Belum sempat Elang menyeka darahnya, Rangga memutar tubuh pria itu, memiting kedua lengannya, lalu menekan kepalanya ke atas meja.
Brak!
Gelas-gelas berjatuhan. Meja itu bergetar keras.
Rangga menekan kepala Elang dengan satu kaki, wajahnya tanpa ekspresi.
Dengan tangan satunya, ia mengambil gelas berisi anggur dan menyesapnya pelan.
“Anggur yang enak,” katanya datar. “Sayang kalau tidak diminum.”
Suasana ruangan membeku.
Semua orang hanya bisa menatap — antara takut dan tak percaya.
Pergerakan Rangga begitu cepat, begitu berani, melampaui batas logika semua orang di sana.
“Sepertinya kekuatanku mulai kembali,” gumamnya pelan. “Setelah tiga tahun kehilangan arah, akhirnya aku kembali ke jalan yang seharusnya.”
Tak ada yang bersuara.
Darah mengalir semakin deras dari kepala Elang, menetes di atas meja dan menggenang di bawahnya.
Jeritan parau keluar dari mulut pria itu.
“AAARGHHHH!!!”
Para wanita berteriak histeris melihat darah menetes ke lantai.
“Lepaskan bos kami kalau kau mau keluar hidup-hidup dari sini!” salah satu anak buah Elang berteriak.
Seorang pria berlari membawa tongkat baseball, tapi Rangga hanya menatapnya dingin sambil menekan kepala Elang lebih kuat.
“AHHH!” jerit Elang kesakitan.
Rangga tersenyum menghina.
“Oh, maaf. Aku lupa kalau di bawah kakiku ada kepala manusia.”
“Cepat lepaskan!” bentak salah satu anak buahnya.
Namun Rangga tidak peduli. Ia justru menuangkan isi gelas wine ke atas kepala penuh darah itu.
Alkohol mengenai luka terbuka.
Elang menjerit sekeras-kerasnya —
“AAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHH!”
Tangisan dan teriakan memenuhi ruangan.
Di sudut ruangan, Rafael Voss dan Zachry Shah berdiri gemetar di balik sofa.
Keduanya pucat pasi, tak berani menatap langsung.
Rangga… benar-benar mengerikan.
Mereka selalu meremehkannya, menganggapnya hanya orang rendahan.
Tapi malam ini, kebrutalannya membuat mereka tak bisa berdiri tegak.
Dika, yang duduk di sisi lain, hanya memicingkan mata. Ia masih tenang.
“Lepaskan kakinmu,” katanya dingin. “Dia itu Elang Dirgantara, keturunan keluarga Dirgantara. Kamu memang berani sekarang, tapi kamu cuma pendatang baru di Kota Veluna.”
Rangga tak menggubris. Ia menatap Elang dan berkata pelan,
“Sudah kubilang kemarin, tapi sepertinya kamu tidak mendengarkan. Hari ini kamu malah menyuruhku datang ke tempatmu. Aku tadinya ingin bicara baik-baik. Tapi kamu malah bermain kasar.”
Ia menatap berkeliling.
“Dan coba lihat orang-orangmu. Mereka ketakutan. Tak satu pun yang bergerak untuk membantumu.”
Semua menunduk. Tak ada yang berani menatap balik.
Elang menggeram. “Kamu tahu siapa aku? Kamu benar-benar cari mati—”
Rangga tersenyum tipis. “Balas dendam? Silakan. Tapi aku hanya memberimu pelajaran. Aku tidak memulai masalah, jadi aku tidak takut. Sekarang biarkan aku pergi dari sini tanpa ribut. Aku sudah bosan melihat wajah kalian.”
Ia melirik Dika, yang membalas dengan tatapan dingin penuh benci.
Perlahan Rangga menurunkan kakinya dari kepala Elang.
Ia mengangkat bahu dan berkata santai,
“Huh, enak juga bisa meluruskan kaki setelah olahraga kecil. Aku akan pergi. Tapi kalau ada satu saja yang menyentuhku…”
Ia menatap tajam ke arah semua orang.
“...kau akan menerima yang lebih buruk daripada kepala bocor.”
Dengan itu, Rangga berbalik menuju pintu keluar.
“Wah, kamu mimpi bisa keluar tanpa stempel dari sini?” teriak seseorang dari belakang.
Biasanya, siapa pun yang berani datang ke tempat ini selalu keluar dengan “stempel” penuh darah di tubuhnya. Tapi kali ini, tak seorang pun berani menyentuh Rangga.
Adegan barusan membuat mereka ciut.
Rangga menoleh dengan senyum dingin.
“Siapa tadi yang berteriak?”
Tak ada jawaban. Semua menunduk ketakutan.
Orang-orang yang biasanya meremehkan kini tak berani mengangkat wajahnya.
Rangga tertawa kecil, kemudian matanya beralih ke Rafael Voss dan Zachry Shah.
Keduanya langsung menunduk, gemetar hebat.
Keringat dingin mengucur deras dari pelipis mereka.
Bersambung