Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Aiden melirik ke arah Rachel dan secara pelan wanita itu mengangguk kecil. Isyarat itu cukup bagi Aiden untuk menangkap maksudnya—mereka akan datang ke pesta malam ini, bersama.
“Oh, iya. Aku dan Rachel akan pergi ke pesta. Gaun pesta juga sudah kita siapkan,” ujar Aiden, suaranya tenang tapi penuh perhitungan, seperti ketika pria itu sedang menyampaikan rencana bisnis yang matang.
Begitu kalimat itu meluncur dari bibir Aiden, ruangan seketika hening. Nenek Hilda dan Hillary saling berpandangan, ekspresi mereka mencerminkan keterkejutan yang tak bisa mereka sembunyikan. Biasanya, Aiden tidak pernah menggandeng Rachel ke acara seperti itu—kecuali jika itu acara resmi keluarga Salvador. Rachel selalu dikesampingkan, dianggap bayangan yang tak pantas berada di sorotan publik.
“Aiden, kamu yakin akan mengajak Rachel?” tanya Nenek Hilda, suaranya berat bercampur nada tak percaya. Dahi keriputnya berkerut, seolah menilai kembali cucunya yang tiba-tiba berubah arah haluan.
“Iya, Grandma. Malam nanti aku dan Rachel harus hadir di pesta itu,” balas Aiden, kali ini dengan nada tegas yang membuat suasana di sana semakin kaku.
Kalimat itu terdengar seperti deklarasi perang dalam dunia yang penuh intrik dan kemunafikan. Bagi Aiden, keputusan itu bukan sekadar mengajak pasangan ke pesta, tapi juga bagian dari strategi menyelamatkan reputasi—dan lebih dari itu, menyelamatkan dirinya sendiri yang kini terperangkap dalam tubuh Rachel. Ia tahu, hanya Rachel yang mengenal medan permainan sosial ini.
Rachel tersenyum manis—senyuman lembut yang selama ini sering diremehkan, tapi kini menjadi perisai yang ia gunakan dengan lihai. Ia tahu bagaimana memainkan peran yang dibutuhkan. “Aiden, terima kasih,” ucapnya lembut. Padahal dalam hatinya, ia ingin mencubit pipi pria itu karena mulai bisa memainkan perannya sebagai Rachel dengan cukup meyakinkan.
“Sebaiknya kita istirahat dulu, biar nanti bisa menghadiri pesta,” ujar Aiden cepat, lalu dengan gerakan natural namun penuh makna, ia menarik tangan Rachel. Langkah mereka seirama menapaki anak tangga menuju lantai atas—tempat kamar utama berada. Tempat yang selama ini hanya dihuni satu nama: Aiden.
Mata Nenek Hilda dan Hillary mengikuti kepergian mereka. Tatapan yang penuh pertanyaan, seperti baru saja menyaksikan fenomena langka di tengah musim kering.
“Kenapa setelah kecelakaan hubungan mereka menjadi dekat?” gumam Hillary lirih. Kalimatnya nyaris tak terdengar, tapi sarat dengan racun cemburu. Tangannya mengepal di atas gaun, seolah ingin mencabik kenyataan yang tak sesuai harapannya.
Nenek Hilda mengerutkan kening lebih dalam, pikirannya berputar-putar memikirkan kemungkinan terburuk. Bagi wanita tua itu, Rachel adalah pengganggu yang harus disingkirkan. Sementara Sandra, wanita pilihan yang ia yakini pantas berada di sisi Aiden. “Apa Sandra tahu akan hal ini?” bisiknya pada diri sendiri, matanya menerawang.
Nada suaranya berat, seolah memikul beban ambisi pribadi yang terbungkus dalam dalih keluarga. “Dia harus diberi tahu, agar secepatnya bersatu dengan Aiden,” lanjut Nenek Hilda dingin.
Hillary mendengar itu hanya diam seribu bahasa, menahan amarah yang membuncah dalam dada karena cemburu. Matanya memerah. Ia mencintai Aiden sejak dulu secara diam-diam dan dalam-dalam. Akan tetapi darah yang sama menghalangi langkahnya. Mereka sepupu—dari pihak ibu—dan keluarga Dawson melarang keras hubungan pernikahan antar kerabat.
Hillary menggigit bibir bawahnya menahan rasa cemburu dan sakit hati. Ia merasa seperti gadis kecil yang melihat mainan kesayangannya direbut, tetapi tak berhak menangis.
Sementara itu, di lantai atas, pintu kamar utama tertutup perlahan. Di dalamnya, dua jiwa yang tertukar berdiri dalam kebisuan penuh perhitungan. Di balik dinding rumah megah keluarga Salvador, perang batin, kecemburuan, dan strategi mulai bergulir tanpa suara.
Aiden dan Rachel memasuki kamar tidur utama yang terletak di ujung koridor lantai atas. Ruangan itu begitu luas dan terang, dipenuhi dengan perabotan modern bergaya Eropa. Tempat tidur berukuran king berdiri anggun di tengah ruangan, lengkap dengan kanopi ringan berwarna gading yang menjuntai seperti kabut. Di sisi kiri, sofa empuk berjejer rapi dengan coffee table marmer di tengahnya. Tirai beludru biru laut tergerai setengah, membiarkan sinar matahari sore menerobos masuk membentuk pola indah di atas lantai kayu mengilap.
Aiden melangkah pelan, seakan menimbang tiap jejak kaki yang ia tapakkan di tempat yang dulu pernah ia sebut sebagai kamar terbaik—tempat di mana ia pernah mencurahkan seluruh cinta dan harap, sebelum semua berubah menjadi luka.
Sudut mata Aiden menangkap pintu kamar mandi yang terbuka sedikit. Di dalam sana tampak wastafel ganda dari granit hitam, bathtub melengkung dari porselen, dan shower kaca berlapis embun. Kamar mandi itu bahkan lebih luas dan mewah dibanding kamar tidurnya yang sekarang—bekas gudang yang dijadikan ruang buangan atas perintah Nenek Hilda.
Sejak keguguran dan pertengkaran hebat malam itu, Rachel diusir secara tidak manusiawi dari ruangan ini. Malam-malam panjang yang ia lalui di lantai bawah hanya ditemani kesepian, air mata, dan dinginnya lantai beton. Lalu kini, takdir mengembalikannya ke kamar ini … dalam tubuh suaminya sendiri.
“Tidurlah. Nanti malam kita akan pergi ke pesta,” ucap Rachel lirih, mencoba mengendalikan emosinya. Tatapan matanya mengandung pesan—mereka harus bekerja sama untuk menyelamatkan reputasi. Dia lalu berjalan menuju sisi kiri tempat tidur, tempat yang dulu menjadi bagiannya. Tempat Rachel biasa berbaring dalam diam dan berdoa dalam hati agar rumah tangganya membaik.
Aiden berdiri canggung di tengah ruangan, tatapannya menyapu seisi kamar seolah baru pertama kali melihatnya. Lalu, dia membuka suara, “E … sepertinya aku … maksudku, tidak ada gaun untuk kamu pergi ke pesta nanti.”
“Hah?!” Rachel langsung terduduk, wajahnya memperlihatkan keterkejutan. Dia baru saja merebahkan tubuhnya dan ingin mencoba beristirahat sejenak. “Kamu tidak punya baju untuk ke acara pesta?”
“Bagaimana aku punya?” Aiden mengangkat bahu, ekspresi wajahnya polos, nyaris kekanak-kanakan. “Kamu nggak pernah ngajak aku ke acara-acara seperti itu.”
Kata-kata itu menghujam Rachel dalam diam. Dulu, setiap kali ada undangan pesta, Aiden akan berangkat sendiri, meninggalkannya dengan alasan menjaga rumah.
Dahulu, Rachel pernah berdandan berjam-jam hanya untuk menjadi pendamping Aiden, tetapi pria itu malah berkata, "Kamu nggak perlu ikut."
Rachel menarik napas panjang, berusaha menelan kenyataan pahit yang kini datang padanya dalam bentuk penyesalan. Ia membalikkan tubuh, menatap Aiden yang kini menjadi bayangan dirinya.
“Kalau begitu telepon butik. Suruh mereka kirimkan baju pesta untuk pasangan,” kata Rachel datar, menyembunyikan rasa bersalahnya di balik nada perintah.
“Kenapa nggak kamu telepon sendiri?” ujar Aiden cepat, terselip rasa kesal dari nada bicaranya. “Aku ‘kan nggak punya uang.”
Rachel memutar mata. “Hey, sekarang ini kamu adalah aku! Semua uangku kini jadi milikmu.”
Aiden tertawa kecil, menyeringai malu sambil menggaruk belakang kepala. “Oh, iya! Aku lupa.” Ada kekikukan dalam suaranya, tapi juga sedikit rasa senang karena untuk pertama kalinya. Dia bisa menggunakan kekuasaan kepala keluarga Salvador yang selama ini dia pandang dari jauh.
***
pelajari tuuuu muka-muka penjilat.
mendengar srmua doa dan kesakitan Rachrl..
supaya mata Aiden tervelek pada pendeeitaan Rachrk selama ini..
😀😀😀❤❤❤❤
Karena selama ini Aiden ga pernah percaya dg Rachel,,tp mudah diperdaya org" disekelilingnya
Dan bisa ngerasain di cambuk nenekmu