Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Yoga
“Ada apa, sih?!” bentak Rima, kesal, menatap putrinya yang langsung menjatuhkan diri di sisi sofa.
Dengan tangan gemetar, Riri meraih ponselnya dan menyodorkannya ke hadapan ibunya. Suaranya bergetar, nyaris terbata.
“Bu... produser itu... gak bisa dihubungi lagi. Bahkan... dia udah gak jadi produser.”
Alis Rima bertaut. “Apa maksudmu?”
“L-lihat ini!” seru Riri, hampir histeris. Ia menekan layar dengan jari yang masih gemetar. Di sana terpampang berita mencolok: “Produser Mesum Terungkap: Rekrut Artis dengan Bayaran Uang dan Ranjang.”
Wajah Rima pucat seketika. “Apa?!” serunya dengan mata membelalak.
“Bu...” suara Riri pecah, “kita ketipu! Dia... dia bahkan jadi buruan polisi sekarang.”
Rima memegangi dadanya, napasnya sesak. “Sial!” jeritnya, suaranya melengking menusuk telinga. “Ibu sudah kasih dia uang ratusan juta... dan juga keperawanan gadis sialan itu!”
Nada suaranya berubah parau, penuh amarah yang membakar. “Kenapa malah dia yang tersandung masalah?!”
Riri terdiam, tubuhnya kaku. Hanya matanya yang menatap sang ibu dengan ketakutan.
Rima bangkit dari duduknya, berjalan mondar-mandir seperti orang kehilangan akal. “Ibu rugi total kalau begini! Gadis sialan itu gak bisa dijual lagi. Usaha kita terbakar, paket-paket yang terbakar itu masih harus kita ganti rugi...”
Tangannya meraih rambutnya sendiri, mencabik, matanya nyalang penuh kebencian. “Dan Ardi... Ardi bersama istrinya yang penyakitan itu, dengan anak sialannya... mereka semua sudah kabur!!”
Suara Rima pecah, bergema di ruangan yang sunyi. Ia menendang kursi di hadapannya hingga terguling keras.
“Arkhhhh!!! Sialan!!”
Pecahan amarahnya memantul di dinding ruangan, membuat Riri terlonjak mundur. Ada sesuatu yang runtuh dalam tatapan Rima, seperti seorang wanita yang kehilangan segalanya, dan hanya meninggalkan bara kebencian.
Dendam membara di dadanya. Dengan tangan gemetar, Rima meremas ponsel Riri seolah bisa menghancurkannya.
“Kalau mereka pikir bisa lari... kalau mereka pikir bisa tenang meninggalkan semua ini... mereka salah besar!” desisnya.
Napasnya memburu, matanya berkilat, dan dari bibirnya terbit janji yang penuh kebencian.
“Ibu... akan habisi mereka semua.”
***
Ruangan itu luas, berlapis dinding kaca dengan tirai yang hanya setengah tertutup. Aroma parfum maskulin mahal menguar, melebur dengan dingin pendingin ruangan. Di balik meja kayu gelap, seorang pria duduk dengan punggung tegak, sorot mata serius meneliti berkas-berkas di hadapannya.
Yoga Pratama.
Tangan kanan seorang pebisnis tersohor. Lelaki yang dikenal disiplin, dingin, dan nyaris tanpa cela. Tiga puluh tahun umurnya, masih melajang. Masih perjaka ting-ting. Entah harus bangga dengan keperjakaannya atau malu dengan kejombloannya.
Yang pasti, ia bukan jomblo karena kekurangan rupa atau materi. Justru karena semuanya terlalu berlebihan. Orang bilang, kadang ia tampak terlalu sempurna. Barangkali itulah yang membuatnya berbeda. Sebuah kesempurnaan yang justru menyisakan kesepian.
Atau... mungkin penulis hanya terlalu gemar mengujinya, agar tidak jadi protagonis yang terlalu mudah dicintai lalu dibenci editor karena “kebanyakan cahaya.”
Nyatanya, Yoga bukan sosok yang hidup di menara kaca. Ia lebih sering pindah kontrakan ketimbang menetap di apartemen elit. Kendaraannya? Sebuah motor yang ia rawat sendiri. Baginya, tinggal di tempat sederhana, bercengkerama dengan orang-orang sekitar, jauh lebih menyenangkan daripada lingkungan glamor yang bahkan tak kenal nama tetangga.
Bukan low profile, hanya memang begitulah dirinya. Lahir dari keluarga biasa, terbiasa hidup sederhana, dan tidak pernah benar-benar merasa perlu menyamakan diri dengan dunia gemerlap yang mengelilingi pekerjaannya.
Sebuah ketukan terdengar, cepat, terburu.
“Masuk,” ucap Yoga tanpa menoleh.
Seorang pria kekar berbaju serba hitam masuk, wajahnya tampak sumringah. Ia berjalan mantap, lalu meletakkan sebuah map di atas meja.
“Bos, lihat ini.”
Yoga mengangkat alis, menutup berkas lain, lalu membuka map itu perlahan. Matanya membeku sesaat, sebelum sebuah senyuman samar menghiasi bibirnya.
“Akhirnya... aku menemukannya.” gumamnya lirih, seolah kata-kata itu hanya untuk dirinya sendiri.
“Kerja bagus,” lanjutnya singkat, nada datarnya justru seperti pujian paling tinggi.
Anak buahnya menegakkan dada, tampak antusias.
“Sekarang kita harus gimana, Bos? Kapan saya antar?”
Yoga menutup map itu, jemarinya mengetuk pelan permukaan meja. Pandangannya tajam, jauh, seperti tengah menembus batas waktu.
“Aku akan menemuinya. Dan mengucapkan terima kasih.”
“Siap, Bos! Akan saya antar kapanpun Bos mau.”
Yoga melambaikan tangannya tenang.
“Tak perlu. Aku bisa pergi sendiri.”
Namun semangat anak buahnya meluap terlalu tinggi, lidahnya lepas kendali.
“Bos... gadis ini cantik banget. Bos 'kan masih jomblo. Ngapa nggak sekalian aja disikat? Bodynya juga aduh—”
Bugh!
Tinju Yoga mendarat di wajahnya, cepat, dingin, nyaris tanpa jeda. Pria itu terhuyung, memegangi pipinya dengan ekspresi kaget.
Sorot mata Yoga menyala, dingin dan tajam seperti bilah belati yang siap menebas.
“Jaga mulutmu. Dasar mesum. Keluar!”
Suara itu rendah tapi penuh intimidasi. Tak ada ruang untuk membantah.
“Ba-baik, Bos!” pria itu terbata, buru-buru keluar seraya memegangi wajahnya yang kebas.
Di luar pintu, ia masih meringis.
“Bos mukul aku cuma gara-gara ngomong gitu... jangan-jangan... bos suka sama gadis itu?” gumamnya, menelan ludah.
Ia mendecak, lalu melangkah pergi. “Lain kali harus hati-hati kalau ngomong soal gadis itu...”
Sementara di dalam ruangan, Yoga kembali duduk tenang. Map itu masih di hadapannya, namanya tertulis jelas di sana.
Kevia Amelia.
Mata Yoga menyipit. Senyum samar itu kembali muncul, kali ini lebih lembut.
“Kita bertemu lagi... gadis yang pernah menyelamatkanku.”
Pintu ruang kerja itu tiba-tiba terbuka tanpa ketukan.
Yoga menoleh cepat, alisnya sedikit terangkat.
“Zayn? Ada apa?” tanyanya sambil bangkit berdiri.
Pria berjas hitam itu masuk dengan langkah mantap. Meski seumuran, Yoga tahu betul siapa yang berdiri di hadapannya. Zayn, sahabatnya, sekaligus pewaris perusahaan besar tempat Yoga mengabdi.
“Aku lihat anak buahmu keluar sambil memegangi pipi, mulutnya komat-kamit menggerutu.” Zayn langsung berkomentar, tatapannya meneliti. “Ada masalah?”
Yoga mendecak pelan, bahunya sedikit terangkat seolah itu perkara sepele.
“Biasalah.” Nada suaranya datar, tapi penuh kontrol. “Aku hanya... menunjukkan wibawaku. Om Andi, bahkan kau sendiri juga pernah bilang, di dunia bisnis, kita harus punya dua sisi. Sisi asli, untuk orang-orang yang benar-benar kita percayai. Dan sisi dingin, berwibawa, kalau perlu kejam, untuk ditunjukkan pada bawahan, teman, bahkan lawan. Kalau tidak, mana mungkin aku bisa bertahan jadi tangan kananmu.”
Zayn terdiam sejenak, lalu senyum tipis terbit di wajahnya. Ia menepuk pundak Yoga dengan lembut.
“Itu benar.” ucapnya lirih, mengakui kebenaran dalam kalimat sahabatnya.
“Oh ya,” lanjutnya sambil menyerahkan beberapa dokumen, “aku akan pulang lebih cepat. Tolong periksa ini lagi.”
Yoga menerima dokumen itu dengan tatapan serius, tapi matanya menyipit samar.
“Kau mau pergi bersama Khaira?”
Zayn mengangguk, bibirnya melengkung dalam senyum hangat.
“Quality time.”
Yoga terkekeh pelan, suara rendahnya memecah atmosfer kaku.
“Dasar bucin.”
Zayn menatapnya miring, membalas dengan senyum nakal.
“Dasar jomblo. Kau takkan pernah tahu rasanya quality time bersama orang yang kau cinta.”
Yoga mengerutkan kening, tak terima.
“Aku jomblo juga karena terlalu sibuk mengurus perusahaanmu, brengsek.”
Zayn justru makin tersenyum. “Kau ini tiap hari ketemu wanita cantik, single, berpendidikan tinggi. Kalau kau mau, mereka rela melempar diri ke ranjangmu. Tak satu pun yang bakal menolak.”
Yoga mendengus, wajahnya mengeras.
“Justru itu masalahnya. Mereka suka aku hanya karena materi dan statusku sebagai tangan kananmu. Kalau aku staf biasa? Mereka tak akan melirikku sama sekali.”
Sejenak hening. Lalu Zayn tersenyum tipis, penuh makna.
“Ya sudahlah. Jodoh itu pasti ketemu. Tapi ingat, jodoh harus dijemput. Kalau tidak, kau bisa saja ketemu... setelah orang itu menjanda.”
Yoga sontak melotot.
“Sialan kau! Kau doakan temanmu sendiri kayak gitu?!”
Zayn hanya mengulum senyum penuh kemenangan, lalu berbalik menuju pintu. “Anggap saja motivasi.”
Pintu menutup lembut, meninggalkan Yoga yang menggeram pelan.
Namun saat ia duduk kembali, wajahnya berubah lagi. Sorot matanya dingin, bibirnya menipis. Aura yang tadi hangat bersama Zayn lenyap, berganti dengan sisi lain yang jauh lebih menakutkan. Sisi yang membuat banyak orang gentar saat menyebut namanya.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
“Permisi, Pak,” sapa Yoga sopan, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Apa benar Kevia Amelia tinggal di sini?”
To be continued
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰