Dijebak oleh sahabat dan atasannya sendiri, Adelia harus rela kehilangan mahkotanya dan terpaksa menerima dinikahi oleh seorang pria pengganti saat ia hamil. Hidup yang ia pikir akan suram dengan masa depan kacau, nyatanya berubah. Sepakat untuk membalas pengkhianatan yang dia terima. Ternyata sang suami adalah ….
===========
“Menikah denganku, kuberikan dunia dan bungkam orang yang sudah merendahkan kita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12 ~ Belum Saatnya
Bab 12
“Lo, dimana?” tanya Kemal lirih sambil menutup pintu ruangan.
“Di sini, nggak sabar banget.”
Kemal menoleh, Abi melangkah mendekat dan panggilan pun berakhir. Berdecak kesal karena ulah sahabatnya itu. Namun, ada kelegaan meski sudah menunggu setengah jam akhirnya datang juga.
“Jalanan macet, gue nggak kayak bos lo bisa pake patwal apalagi naik helikopter.”
“Jangan ngarang, memangnya beliau Pejabat pakai patwal segala,” tutur Kemal lalu mengernyitkan dahi mengamati penampilan Abi. “Bener-bener ya,” ujarnya sambil menggeleng pelan lalu membuka pintu ruangan.
Indra Daswira sudah menunggu di dalam, sedang menunduk menatap layar ponsel perlahan ia mengangkat wajah menatap ke depan saat Abimanyu memasuki ruangan. Mendadak suasana seperti hening, hanya suara sepatu Abi yang terdengar.
“Selamat malam Pak Indra,” sapa Abi masih berdiri.
Indra masih terpaku menatap Abimanyu, putranya. Meski sering mendapatkan laporan apa yang sedang dilakukan dan dikerjakan pria itu dari orang kepercayaannya termasuk juga Kemal. Namun, jarang sekali bertemu. Bahkan baru kali ini semenjak putranya itu beranjak dewasa.
Terlihat gagah, tampan dan berwibawa. Tatapannya cukup beraura dan tajam. Yang membuat Indra bangga sekaligus sedih adalah raut wajah datar. Bangga karena Kesan wibawa dan kharisma dari seorang pria. Sedih karena sebagai ayahnya, Indra mendapatkan sikap acuh dan sedingin itu.
“Duduklah!” Indra menatap Abi yang memakai jaket tanpa resleting, di dalamnya jelas menggunakan seragam OB dan celana panjang hitam serta sepatu pantofel.
“Apa kabarmu?” tanya Indra berusaha mencairkan suasana.
“Baik.”
Kemal yang duduk di sudut ruangan sambil fokus dengan ponsel kembali menggeleng pelan, mendengar jawaban Abi. Ingin sekali menghampiri dan mengetuk kepala pria itu agar lebih hangat pada ayahnya.
“Papi senang sekali bisa bertemu denganmu, apalagi kamu sudah dewasa begini.”
“Bisa kita mulai makan, aku sudah lapar,” sahut Abi.
Indra memberikan perintah hanya dengan anggukan pada Kemal yang langsung keluar ruangan dan tidak lama pelayan datang membawakan makanan juga minuman.
“Selamat makan,” ucap Abi sambil mengambil sendok dan garpu saat appetizer sudah ada di depannya. Hanya fokus menikmati makanan tanpa menatap Indra di hadapannya.
Pun saat pelayan menghidangkan menu utama, Abi masih saja acuh dan makan.
“Abi,” panggil Indra.
“Hmm.”
“Pulanglah,” ujar Indra dan berhasil mendapatkan perhatian dari Abi yang langsung meletakan sendok dan menatapnya.
“Pulang? Aku tidak merasa sedang tersesat atau kabur dari rumah."
“Pulang dengan Papi, kita ini keluarga. Jangan begini, papi sedih melihatmu tinggal di kontrakan sempit dan bekerja sebagai … ada posisi yang lebih layak untuk kamu.”
Abi tersenyum simpul lalu bersedekap, wajahnya perlahan berubah sinis.
“Keluarga. Katamu kita keluarga? Lalu di mana dirimu saat Mami dan aku diusir dari rumah oleh kakek, ah maksudku ayahmu. Kalau kita keluarga kenapa tidak perjuangkan kami, sampai akhirnya mami meninggal.”
“Abi, ini salah papi. Maafkan papi. Saat itu papi bukan tidak mau, hanya menunggu waktu yang tepat.”
“Karena saat itu anda terbuai dengan dunia. Kaya raya dan dikelilingi wanita. Begitu maksudnya.”
“Itu masa lalu, Abi. Papi menyesal, tolong pulanglah. Papi mohon.”
“Aku sudah maafkan. Sebelum pergi mami bilang agar jangan menyimpan dendam, tapi untuk pulang dan menyematkan nama Daswira … aku tidak bisa. Namaku, Abimanyu hanya Abimanyu. Sengaja aku berada di sekitarmu dengan seragam ini,” tutur Abi membuka salah satu sisi jaketnya. “Sebagai OB. Bagaimana rasanya kita dekat, tapi jauh? Sebagai pengingat kalau puncakmu diawali dengan posisi paling rendah.”
Abi berdiri dan meninggalkan Indra. Kemal yang berada di luar ruangan memberi waktu dan ruang untuk ayah dan anak itu bicara, berusaha menghentikan Abi.
“Abi, lo keterlaluan,” seru Kemal.
Abi pun berhenti dan menoleh. “Gue? Gue keterlaluan.” Abi terkekeh. “Nggak salah? Justru dia yang keterlaluan. Rela mengabaikan gue dan Mami mementingkan hubungan dengan mantan sekretarisnya. Kenapa dia nggak cari saja perempuan itu dan nikah terus punya anak. Kenapa harus cari gue?” cecar Abi lalu memasukan tangan ke dalam sakunya. “Kalau saja anaknya yang lain laki-laki, dia nggak akan cari gue.”
“Abi, tunggu dulu!” Kemal berdecak melihat Abi tetap pergi lalu ia kembali ke ruangan di mana Indra masih berada.
Abimanyu, nyatanya tidak langsung pulang, duduk tidak jauh dari area parkir motor. Melamun sambil menghis4p rokoknya. Kemarahan di dadanya belum usai karena ulah Indra saat ia masih remaja dan terusir dari rumahnya sendiri. Padahal saat itu ibunya dan Indra menikah secara sah bukan simpanan, karena istri pertama Indra tiada saat melahirkan putri kedua mereka. Indra yang berada di puncak kejayaan, sukses dan disegani rupanya membuat terlena dengan memiliki wanita lain.
Yang Abi tau, saat Itu Indra ada hubungan dengan mantan sekretarisnya juga wanita lain di kantor. Imbasnya adalah ia dan sang Mami harus tersingkir, dianggap sebagai salah satu wanita simpanan dan penggoda dari Indra Daswira.
“Hah.” Menginjak puntung rokoknya lalu mengusap wajah dengan kasar. Sungguh Abi menyesal karena bersikap kurang ajar pada Indra, tidak mengikuti apa yang diperintahkan oleh Mami. Namun, dendam masih memenuhi rongga dadanya. Emosinya belum kunjung reda.
Bagi Abimanyu, maminya adalah bidadari. Namun ia sekarang kesepian karena sang bidadarinya pergi. Mungkin semua akan berubah saat seorang bidadari lainnya datang. Bidadari dari kesunyian dan gelapnya hari Abimanyu.
Menengadahkan wajah menatap langit malam yang kelam, tidak ingin air matanya menetes mengingat saat sulit bersama wanita yang sudah melahirkannya. Secinta apa sang mami pada Indra, selalu mengingatkan agar tidak membenci dan pendendam bahkan meminta Abi untuk menyadarkan papinya.
“Papi sedang salah jalan, kamu harus bantu dia kembali ke jalan yang benar. Sadarkan dia dan kembali saat ia butuh kamu.” Pesan itu masih terngiang di telinga Abi, seakan baru kemarin. Meski sudah bertahun-tahun ia mendengarnya.
“Belum saatnya. Belum saatnya untuk kembali. Mami, maafkan aku. Tunggu sebentar lagi.”
siap siap aja kalian berdua di tendang dari kantor ini...
hebat kamu Mona, totally teman lucknut
gak punya harga diri dan kehormatan kamu di depan anak mu
kalo perlu zahir nya ngk punya apa " dan tinggal di kontrakan biar kapok
sedia payung sebelum hujan