NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:973
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6: Usaha untuk kabur

Siang ini, matahari sudah bersinar terik sekali, cahayanya menembus jendela kamar yang besar dan terang. Namun, di dalam kamar mandi, Nayara masih bergelung, berdiri di bawah aliran air dari shower yang deras. Tubuhnya terbalut uap, namun pikirannya tidak bisa tenang. Pikiran itu terus berputar, menyelidiki setiap detail yang masih kabur dari malam sebelumnya.

Hatinya berdebar, dada terasa sesak. Ia mencoba mengingat lagi, mencoba merangkai ingatan yang masih terpecah-pecah. Dengan tangan yang memegang shower, dia menatap percikan air yang mengalir di tubuhnya, seolah air itu bisa menghapus rasa cemas yang menempel di kulitnya.

"Tunggu... semalam siapa yang menggendongku dan menidurkanku di ranjang? Apa dia?" gumam Nayara, suara itu hampir tenggelam oleh gemuruh air yang mengalir di sekelilingnya. Matanya terfokus pada titisan air yang menetes di kaca, namun pikirannya tetap terjebak di ruang tamu malam itu. Seingatnya, ia pingsan setelah tidak makan dan minum seharian, tubuhnya terasa sangat lemah, limbung, dan akhirnya jatuh tak sadarkan diri. Setelah itu, gelap.

Namun kini, setelah bangun di pagi hari, dia mendapati dirinya sudah berada di ranjang besar milik Zevian, di ruang yang serba mewah, dengan selimut yang hangat, yang tampaknya menutupi tubuhnya. Semua itu aneh—bagaikan mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

Rasa takut mulai merayapi dirinya lagi. Tiba-tiba dia merasa begitu terperangkap dalam situasi yang tak bisa dipahami. Zevian, pria itu, yang selama ini membuatnya merasa cemas dan kesal, kini menguasai ruang ini, bahkan dalam mimpinya sekalipun.

"Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku?" pikirnya dengan cemas. Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Nayara berusaha menenangkan diri.

“Aku harus keluar dari sini, apapun yang terjadi,” pikirnya, tekadnya semakin bulat. Tapi, di balik rasa takut itu, ada keberanian yang mulai tumbuh. Dia tahu, jika tetap diam, situasi ini hanya akan semakin memperburuk keadaan. Maka, ia pun mulai merencanakan langkah berikutnya untuk kabur.

Setelah 10 menit di bawah guyuran air yang seakan membersihkan pikirannya, Nayara akhirnya keluar dari kamar mandi. Tubuhnya masih terasa hangat, tetapi pikirannya tetap gelisah. Dia mengganti pakaian dengan cepat, mengenakan setelan yang disediakan oleh Zevian. Sebuah kaos lengan pendek berwarna putih bersih yang dipadukan dengan rok pendek senada. Saat memandang dirinya di cermin, ada sedikit senyum tipis yang muncul di wajahnya. Pakaian itu, meskipun sederhana, cukup nyaman dan sesuai dengan seleranya. Meski begitu, senyum itu hanya sebentar—rasa terperangkap kembali menyelimuti hati Nayara.

Setelah memastikan penampilannya, Nayara berjalan cepat menuju pintu kamar. Tanpa ragu, ia memutar gagang pintu dan...

ceklek!

Pintu terbuka. Hatinya berdebar kencang, perasaan lega meluncur begitu saja. Ternyata Zevian tidak menguncinya. Kelegaan itu seakan memberi harapan baru, dan ia tidak bisa menahan senyum kecil, meskipun itu hanya sesaat.

Nayara bergegas keluar dari kamar, berlari menuruni tangga dengan langkah cepat. Matanya celingak-celinguk, berusaha mencari jalan keluar. Setiap langkah terasa begitu berat, dan perasaan gelisah itu semakin menguat. Ia berlari menuju ruang tamu, memeriksa setiap sudut rumah yang megah ini, tetapi tidak menemukan siapapun.

“Yaampun, bagaimana caranya agar bisa keluar dari sini?” gumam Nayara, suaranya hampir hilang tertelan udara sepi yang mengisi ruang tersebut. Tatapannya kosong, memandang setiap sudut ruangan yang mewah namun terasa asing.

Dia menyadari betul bahwa ponselnya dan kunci mobil Razka sudah dibawa pergi oleh Zevian kemarin. Tanpa alat komunikasi dan tanpa akses keluar, dia merasa begitu terjebak. Sesekali, ia merutuki kebodohannya sendiri.

“Kenapa harus memilih untuk meminta bantuan dari orang yang bahkan tidak aku kenal?” pikirnya, kecewa pada diri sendiri.

Namun, meskipun rasa takut dan cemas menguasai, ada sedikit tekad yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Dia tidak bisa berdiam diri. Tidak bisa pasrah begitu saja. Entah bagaimana, Nayara tahu dia harus keluar dari sini—apapun caranya.

Di tengah kebingungannya, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mengagetkan dari belakang. Nayara segera berbalik, dan matanya bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang berdiri dengan wajah sedikit cemas. Wanita itu mengenakan pakaian pelayan berwarna gelap, dengan rambut yang tersanggul rapi. Nayara baru menyadari bahwa Zevian memang berjanji akan mengirimkan seorang pelayan untuknya. Seberkas harapan pun muncul di dalam dirinya. Mungkin ini kesempatan untuk meminta bantuan.

"Ny... nyonya, maaf saya terlambat. Karena anak saya sakit, jadi mohon maafkan saya," ujar wanita itu dengan suara pelan, tatapannya terlihat penuh ketakutan, seolah khawatir Nayara akan marah padanya. Nayara menatap manik coklat wanita itu, kemudian menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Perlahan, senyuman kecil merekah di bibirnya.

"Ahhh, itu tak apa-apa. Tidak masalah," ujar Nayara dengan lembut, berusaha menunjukkan keramahan agar wanita itu merasa lebih nyaman. Pelayan itu tampak sedikit lega, namun ekspresinya tetap menunjukkan kecemasan.

"Terimakasih banyak, nyonya. Saya tidak akan mengulanginya lagi, tolong jangan katakan pada tuan," ucapnya sambil menunduk, terlihat sangat hormat dan cemas.

"Saya tidak akan bilang pada dia, tenang saja," jawab Nayara dengan suara menenangkan. "Siapa nama bibi?" tanyanya lagi, berusaha tetap tenang agar tidak ada yang curiga padanya.

"Nama saya Bi Arum, Nyonya," jawab wanita itu, suaranya rendah. Nayara sedikit mengangguk, mencoba memberikan kesan bahwa semuanya baik-baik saja.

"Oh, iya, Bi, dan... panggil saja Naya. Saya belum setua itu sampai harus dipanggil Nyonya," ucap Nayara dengan sedikit canggung. Meskipun ia terbiasa dengan panggilan seperti itu di rumah ayahnya, tapi di sini, di rumah yang terasa asing, ia tidak nyaman dipanggil 'nyonya', terutama oleh orang yang lebih tua darinya.

"Maaf, Nyonya, ini perintah tuan. Saya tidak berani melawan perintahnya," ucap Bibi Arum, masih menunduk, seolah takut jika ia melanggar. Nayara menghela napas pelan, kemudian mengangguk.

"Yasudah, Bibi, tidak apa-apa. Tapi jika kita berdua, panggil saja saya begitu. Tidak usah membungkuk padaku kalau tidak ada dia. Saya merasa tidak enak," ujar Nayara, berusaha menjelaskan dengan nada lembut agar tidak ada ketegangan. Bi Arum terdiam sejenak, sepertinya ragu untuk menerima perubahan itu, tetapi akhirnya ia mengangguk.

"Baiklah, Nyonya... Bibi panggil Non Naya saja... Terimakasih banyak!" ucapnya pasrah, sedikit terharu karena merasa lebih dihargai. Nayara pun tidak merasa keberatan. Bahkan, ia lebih senang dipanggil 'Naya' daripada harus dipanggil 'nyonya.'

"Terima kasih juga, Bibi," ujar Nayara dengan senyum yang semakin mengembang, merasa sedikit lega. Kini, dia bisa berbicara lebih leluasa dengan Bi Arum tanpa perasaan tertekan. Rasanya, seperti ada sedikit harapan yang muncul—mungkin, bersama Bibi Arum, ada peluang untuk keluar dari rumah ini. Setelah beberapa saat hening Nayara kembali bicara pada bi Arum yang sudah mulai bekerja.

"Bi… Apa bibi punya ponsel?" tanya Nayara dengan suara pelan, ragu-ragu, seolah takut pertanyaannya dianggap mencurigakan. Bi Arum yang tengah membereskan vas bunga di atas meja menoleh dengan ekspresi bingung, tapi tak menunjukkan kecurigaan.

“Iya… ada, Non,” jawabnya.

"Eum… itu… apa saya boleh pinjam? Untuk menelpon seseorang?" tanya Nayara lagi, matanya menunduk, suara lirih dan penuh harap. Ia tahu risikonya besar, tapi ini satu-satunya peluang yang ia lihat.

Tanpa banyak tanya, Bi Arum langsung merogoh saku apron-nya dan mengeluarkan sebuah ponsel sederhana. Ia menyodorkannya pada Nayara dengan tangan yang sedikit bergetar, namun tak ada rasa ragu dalam tatapannya.

“Silakan, Non,” ujarnya lembut.

“Saya pakai sebentar ya… ponsel saya tertinggal di kampus soalnya,” ucap Nayara, mencoba memberi alasan meski tak sepenuhnya jujur. Senyumnya dibuat semeyakinkan mungkin, berharap itu cukup untuk menghindari kecurigaan. Bi Arum mengangguk, wajahnya tetap ramah.

“Nona, apa ada yang Anda butuhkan lagi?” tanyanya sopan, seolah siap membantu lebih jauh jika diminta.

“Saya hanya butuh ponsel ini,” jawab Nayara sambil menatap mata wanita itu. Ada ketegangan yang tertahan dalam sorot matanya—harap, takut, dan waspada bercampur menjadi satu.

“Anda boleh menggunakannya, Nona. Saya harus kembali bekerja. Jika Anda butuh sesuatu, tinggal panggil saya saja,” jawab Bi Arum, lalu tersenyum tipis sebelum berlalu, membiarkan Nayara sendirian di ruang tamu yang tenang itu.

“Terima kasih banyak… Saya tidak akan lama,” ucap Nayara, menatap ponsel di tangannya dengan debar jantung yang mulai cepat—seakan benda itu adalah satu-satunya harapan untuk bebas dari rumah ini. Untuk pertama kalinya sejak berada di rumah itu, ada secercah harapan dalam benaknya. Jari-jarinya menggenggam ponsel erat, seolah benda itu adalah tiket menuju kebebasan. Detak jantungnya sedikit lebih cepat—ada semangat yang tumbuh di dalam dadanya karena kini ia bisa menghubungi sahabatnya dan meminta bantuan untuk pergi dari tempat Zevian.

Namun, belum sempat dia mengetik nomor, suara lembut Bi Arum kembali memecah keheningan.

"Nona, apa tidak masalah kalau saya bereskan kamar Tuan?" tanya Bi Arum pelan, sambil menunjuk arah tangga dengan isyarat halus. Tatapannya masih sopan dan penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang terbiasa bekerja di bawah tekanan.

"Akh, iya… tidak masalah. Masuk saja, tapi hati-hati ya, Bi. Ada pecahan gelas di sana, jangan sampai terluka," ujar Nayara, mengangguk cepat sambil mengingat kejadian semalam. Suaranya terdengar lebih tegas, tapi penuh kepedulian.

"Baik, terima kasih, Nona," ucap Bi Arum dengan senyum singkat, lalu melangkah pergi meninggalkan Nayara sendirian di ruang tengah yang sepi dan dingin.

Begitu langkah Bi Arum menjauh dan suara sandal rumahnya tidak lagi terdengar, Nayara segera duduk di ujung sofa dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia menunduk, menarik napas dalam-dalam, lalu mulai mengetik angka demi angka di layar ponsel. Setiap sentuhan pada layar terasa seperti mengetuk pintu harapan.

Jantungnya berdetak semakin cepat saat nada sambung terdengar. Beberapa detik terasa seperti menit, sampai akhirnya...

Tersambung.

Dan suara seorang pria terdengar dari seberang sana, membuat Nayara langsung menegakkan tubuhnya dan menatap lurus ke depan, seolah suara itu adalah satu-satunya jangkar yang bisa menyelamatkannya dari kekacauan ini.

“Halo, siapa ini?” suara dari seberang terdengar berat dan penuh waspada, sedikit serak seperti baru saja bangun tidur atau terlalu lama cemas.

“Ini Naya… Razka, tolong aku,” ucap Nayara dengan suara setengah berbisik, sambil melirik gelisah ke sekeliling ruangan untuk memastikan tak ada yang mendengar. Genggamannya pada ponsel semakin erat, dan tubuhnya sedikit membungkuk seolah berusaha melindungi suara dari dinding-dinding yang mungkin saja bisa mendengar.

“Nay?! Astaga… akhirnya! Kamu di mana? Aku dan Vina sibuk mencarimu ke sana kemari sejak kemarin… astaga,” ujar Razka dengan nada tergesa dan terdengar sangat lega. Napasnya bahkan bisa terdengar dari seberang, seperti baru saja lepas dari ketegangan yang menghimpit dadanya.

“Aku… aku dibawa oleh orang yang pernah kuceritakan sebelumnya. Sepertinya aku salah menduga. Dia bukan pria baik-baik…” suara Nayara tercekat, namun ia tetap berusaha terdengar tenang meski gemuruh dalam dadanya semakin kencang.

“Gila… aku dan Vina panik karena kamu tidak kembali ke kelas. Kami pikir kamu kecelakaan, Nay!” sahut Razka, kini terdengar semakin emosional.

“Aku… aku minta maaf. Kunci mobilmu… terbawa olehku,” ucap Naya cepat, merasa bersalah tapi juga bingung harus menjelaskan dari mana dulu semuanya.

“Itu tidak penting! Yang penting sekarang kamu baik-baik aja. Itu yang paling penting, Nay. Barang-barangmu udah Vina bawa. Sekarang, tolong bilang kamu ada di mana?” tanya Razka, kali ini lebih tegas dan serius.

Nayara menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Ia menatap ke jendela lalu kembali menunduk, mencoba mengingat nama apartemen tempatnya berada. Setelah berpikir sejenak, ia kembali bersuara.

“Aku di apartemen Altamira Residence… lantai tujuh puluh lima.” ujarnya pelan namun jelas.

“Oke. Aku dan Vina akan ke sana sekarang juga. Tolong tunggu kami, jangan ke mana-mana. Kunci pintu jika bisa!” ujar Razka cepat dan terdengar seperti mulai panik lagi.

“Aku paham. Terima kasih…” ucap Nayara dengan suara penuh harap, lalu ia menatap layar dan perlahan memutus sambungan telepon.

Ponsel di tangannya terasa lebih berat dari sebelumnya. Namun kini, setidaknya ada secercah cahaya di balik kebingungan dan ketakutannya. Nayara menghela napas lega, sebuah rasa ringan mengalir di dadanya setelah berhasil mengabari sahabatnya dan menceritakan semua yang terjadi. Syukurlah, dengan bantuan Bi Arum, dia akhirnya bisa mendapatkan pertolongan yang sangat dibutuhkannya. Meskipun ada ketegangan di hatinya, Nayara merasa sedikit tenang, tahu bahwa Razka sedang dalam perjalanan untuk menjemputnya.

Dia menoleh ke arah tangga, matanya menangkap sosok Bi Arum yang turun dengan seprai kotor di tangan, menunjukkan bahwa wanita itu baru saja selesai membereskan kamar Zevian. Nayara bangkit dari duduknya, merasa ada tanggung jawab untuk segera mengembalikan ponsel yang dipinjamnya. Ponsel itu kini terasa begitu penting, sebuah jembatan komunikasi yang memungkinkan dirinya untuk merencanakan pelarian.

"Ini sudah selesai, terimakasih banyak," ujar Nayara dengan nada sopan, menyerahkan ponsel itu kepada Bi Arum yang menerima dengan senyuman sederhana.

"Sama-sama, Nona. Jika butuh sesuatu lagi, panggil saja," jawab Bi Arum, berbicara dengan suara rendah namun tulus, sebelum berbalik melanjutkan pekerjaannya. Langkah-langkah kaki Bi Arum terdengar semakin menjauh, dan ruang itu kembali terasa sunyi, meskipun ketegangan di dada Nayara tidak hilang.

Beberapa saat berlalu, Nayara terdiam menunggu jemputan Razka yang tak kunjung datang. Gelisah mulai kembali menghantui pikirannya. Waktu terasa berjalan begitu lambat, dan setiap detik yang berlalu membuat perasaan takut semakin besar—takut jika Zevian datang kapan saja, takut jika rencananya untuk kabur terbongkar. Tubuhnya tegang, dan matanya secara otomatis melirik ke arah pintu kamar, memastikan bahwa tidak ada suara atau tanda yang mengisyaratkan kedatangan Zevian.

Namun, di tengah lamunan dan kecemasan itu, tiba-tiba suara langkah terburu-buru dari arah dapur mengejutkannya. Bi Arum muncul dengan napas terengah-engah, wajahnya sedikit berkerut karena kelelahan.

"No... na... ada telepon," ujar Bi Arum dengan nada ngos-ngosan, wajahnya menunjukkan kelelahan, namun ada kecemasan di matanya, seperti tahu bahwa Nayara sedang dalam keadaan genting. Nayara langsung terbangun dari lamunannya, cepat-cepat meraih ponsel itu. Tangannya sedikit gemetar saat menatap layar, merasa cemas apakah itu Razka atau malah Zevian.

"Ah, iya, maaf ya," ujar Nayara cepat, sambil menatap ponsel itu dan melihat nomor Razka di layar. Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

"Hallo, kamu di mana?" Tanya Nayara dengan suara sedikit panik, matanya kembali melirik ke pintu, khawatir jika suara langkah kaki Zevian akan terdengar kapan saja.

"Aku sudah di lobby, tapi sulit masuk karena aku bukan penghuni di sini," jawab Razka dari seberang telepon, terdengar sedikit frustrasi namun juga penuh tekad. Ada rasa kesulitan yang menambah kegelisahan di antara mereka.

"Aduh... bagaimana ini," ujar Nayara, semakin gelisah, matanya mengaburkan pandangan ke luar jendela, mencoba memikirkan solusi secepatnya. Namun, suara Bi Arum yang datang tiba-tiba memecah kepanikan itu.

"Maaf, Nona, bukan saya tidak sopan, jika Anda ingin teman Anda kesini, tinggal bilang saja mau datang ke unit-nya Tuan Zevian, dan katakan hubungan nya dengan beliau. Semua petugas akan langsung mengerti," ujar Bi Arum dengan nada tenang, seolah memberikan petunjuk yang begitu praktis dan sederhana.

Nayara menatap Bi Arum, perasaan lega muncul begitu mendengar saran itu. Dia segera mengangguk, merasa lebih tenang. Kemudian, dengan cepat, dia berkata pada Razka melalui ponsel.

"Kamu bilang saja ingin bertemu Tuan Zevian, dan katakan sahabatnya," ujar Nayara, berusaha berbicara dengan suara yang lebih tenang dan meyakinkan. Beberapa detik setelahnya, suara Razka terdengar lebih ceria di seberang sana, penuh lega dan kelegaan.

"Berhasil! Bersiaplah... aku akan ke sana," ujar Razka, dengan suara yang kini terdengar penuh keyakinan, dan itu memberi rasa harapan baru bagi Nayara.

"Oke, sudah dulu. Aku akan keluar," ujar Nayara, mengakhiri panggilan teleponnya dengan suara pelan namun mantap. Meski bibirnya mencoba tersenyum, sorot matanya menunjukkan campuran cemas dan tekad yang mulai menguat. Ia menatap Bi Arum yang masih berdiri di dekatnya, lalu kembali berbicara, suaranya lebih tenang, namun dalam hatinya bergemuruh.

"Bi, aku ingin pergi ke kampus. Berapa kode akses keluar-masuk sini?" tanya Nayara dengan raut wajah setenang mungkin, meskipun jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Matanya terus mengawasi ekspresi Bi Arum, khawatir jika pertanyaannya justru menimbulkan kecurigaan.

Kening Bi Arum sedikit mengerut, tanda kebingungan yang segera membuat Nayara panik dalam hati. Tak ingin menimbulkan kesan mencurigakan, Nayara buru-buru menambahkan penjelasan.

"Kemarin saya datang bersama Zevian, jadi tidak pakai kode. Kami pakai kartu akses," jelasnya lagi dengan cepat. Ucapan itu cukup untuk membuat Bi Arum mengangguk, ekspresinya kini lebih mengerti.

"Tuan bilang PIN-nya tanggal lahir Nona," jawab Bi Arum dengan nada sopan. Kalimat itu membuat Nayara terdiam sejenak. Alisnya bertaut, dan ekspresinya berubah bingung.

"Tanggal lahir ku? Memangnya Bibi tahu tanggal lahir aku?" tanyanya heran, kepalanya sedikit miring karena benar-benar tak paham dari mana informasi itu berasal.

"Tuan yang memberitahukannya, Nona. Tadi pagi, Tuan bilang dia mengganti PIN-nya dengan tanggal lahir Anda," jelas Bi Arum tanpa ragu. Ucapan itu membuat hati Nayara kembali bergetar, kali ini bukan karena takut, melainkan bingung dan risau sekaligus.

Bagaimana bisa Zevian tahu tanggal lahirnya? Kampusnya? Bahkan hal-hal pribadi yang seharusnya tidak diketahui oleh orang asing. Bukankah ini kali pertama mereka bertemu? Apakah... pria itu benar-benar men-stalking dirinya? Ada rasa tak nyaman yang merayap diam-diam di dada Nayara, rasa asing yang bercampur dengan ketakutan tersembunyi.

"Nona, ada lagi yang Anda perlukan?" tanya Bi Arum, membuyarkan lamunan Nayara.

"Ah... tidak. Sebelumnya terima kasih, sudah banyak membantuku," ujar Nayara dengan senyum tipis yang dipaksakan. Bi Arum mengangguk singkat, lalu melangkah menjauh, kembali pada pekerjaannya yang sempat tertunda.

Begitu Bi Arum menghilang dari pandangan, Nayara langsung bergerak cepat. Ia berjalan menuju pintu apartemen dengan langkah ringan tapi penuh ketegangan. Tangannya bergerak cepat memasukkan beberapa angka di keypad pintu.

Klik.

Sebuah bunyi denting halus terdengar, dan pintu terbuka perlahan. Tanpa ragu, Nayara menarik gagang pintu dan melangkah keluar dengan hati-hati, seolah ingin meninggalkan semua tekanan yang menyesakkan di balik pintu itu.

Baru beberapa langkah ia berjalan di koridor mewah itu, matanya langsung menangkap dua sosok yang sangat dikenalnya—Razka dan Vina.

Seketika itu juga, Nayara berlari kecil dan memeluk keduanya erat, seperti seseorang yang baru saja lolos dari badai besar.

"Akhirnya..." ucap Vina, suaranya nyaris berbisik namun sarat dengan kelegaan. Razka juga memeluk Nayara erat, keduanya terlibat dalam pelukan hangat yang singkat namun penuh emosi. Sekilas, mereka terdiam dalam keharuan—tiga sahabat yang kembali bersatu di tengah situasi yang rumit.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!