Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Gelombang Yang Menyimpan Rahasia
Dek bawah kapal pesiar itu sepi malam itu. Hanya terdengar suara mesin bergetar samar, seperti dengungan jauh di perut kapal. Cahaya lampu neon berwarna kekuningan memantul di dinding logam lembap, menciptakan bayangan panjang yang bergerak setiap kali kapal bergoyang oleh ombak.
Shannara berjalan pelan, baki di tangannya bergetar setiap langkah. Ia baru saja selesai mengantarkan minuman ke lounge penumpang. Rasa lelah membuat punggungnya kaku. Ia hanya ingin kembali ke kabin kecilnya dan tidur.
Namun langkahnya berhenti ketika dari balik pintu ruang staf, terdengar suara keras — suara yang sangat ia kenal.
"Kita harus lakukan sesuatu, Ris!" suara berat terdengar bergetar oleh panik. "Sergio udah mulai nyari tahu apa yang terjadi malam itu! Kalau dia tahu semua ini cuma permainan kita—"
"Kamu pikir aku nggak takut, Bayu?" potong Risa dengan nada tajam. Napasnya tersengal, dan suaranya sedikit bergetar. "Aku bahkan nggak tahu siapa yang tinggal di kamar 308 A itu. Katanya cuma pria tua bangka mesum yang doyan perempuan. Aku—aku cuma butuh uang itu buat operasi anak kita!"
Risa terisak pelan. Suaranya pecah. Shannara bisa membayangkan wajah wanita itu — mata sembab, pipi basah oleh air mata, tapi juga ada kepanikan yang menua di garis bibirnya.
Shannara terpaku
Nama Sergio.
Kamar 308A.
Dan... Uang?
Tubuhnya menegang, tangan kirinya menutup mulut agar tak mengeluarkan suara. Keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia tak berani bergerak. Hanya matanya yang bergetar, menatap kosong ke pintu seolah bisa menembusnya.
"Kita udah nggak bisa mundur," lanjut Bayu dengan nada frustasi. Ia berjalan bolak-balik di dalam kamar—terdengar langkah kakinya menghentak lantai. "Kalau Sergio tahu, kita bisa dipenjara, Ris! Dan semua gara-gara kamu ngambil risiko bodoh ini!"
"Aku nggak bodoh!" seru Risa, terisak. "Aku nggak peduli! Aku cuma pengen anak kita hidup! Kalau harus menipu satu orang, biar! Tuhan ngerti kenapa aku lakukan ini!"
Shannara menggigit bibir bawahnya sampai nyaris berdarah. Emosinya campur aduk—antara kasihan, marah, dan ngeri. Tapi langkah kecil yang tak sengaja ia gerakkan membuat lantai kayu berderit pelan.
Kreeet.
Risa langsung menoleh, Disusul oleh suaminya. Seketika, perdebatan di dalam ruangan terhenti.
"Siapa di luar?!" Suara Bayu mengguntur
Pintu terbuka mendadak. Bunyi engselnya melengking, membuat Shannara memejam karena kaget.
Ketika matanya terbuka, dua pasang mata menatapnya — satu kaget, satu marah.
Dan di ambang pintu—berdiri Shannara. Tubuhnya gemetar, wajahnya tegang dengan air mata yang menggantung di sudut matanya.
"Nara?" suara Risa serak. "Sejak kapan kamu di situ...?"
Shannara berdiri kaku, bahunya tegang, air mata menetes di pipinya tanpa ia sadari.
"Dari cukup lama untuk tahu kalau kalian—" suaranya pecah di tengah kalimat. "—pakai namaku buat nipu Sergio!"
Risa panik, melangkah maju, tapi Nara mundur setapak, menatapnya dengan tatapan luka. "Nara ... aku bisa jelasin—”
"Jelasin apa, Ris? Bahwa kalian ngerusak hidup orang lain demi uang? Lima ratus juta?! Kalian tega banget! Kalian hancurin hidupku!"
Nada Nara meninggi, matanya menyala. Tangannya mengepal di sisi tubuh, tubuhnya sedikit condong ke depan seolah menahan diri agar tidak menampar mereka berdua.
Bayu menatapnya tajam, matanya merah penuh tekanan. Ia berjalan mendekat perlahan, setiap langkahnya berat seperti predator mendekati mangsa.
"Kamu pikir kamu bersih, Nara?" desisnya pelan tapi menusuk. "Sergio nyentuh kamu malam itu. Dunia tahu itu. Kamu cuma ... bagian dari permainan ini."
"Aku dijebak!" Shannara menangis. Bahunya bergetar, suaranya serak. "Aku nggak tahu apa-apa waktu itu! Aku juga korban."
Bayu menyeringai dingin. "Tapi kamu nggak punya bukti, 'kan?"
Ia berdiri hanya sejengkal di depannya. Nafasnya kasar, wajahnya dekat sekali. "Satu kata aja keluar dari mulutmu, semua media bakal tahu kamu tidur sama suami orang. Kamu mau, hah? Mau dunia lihat kamu begitu?"
Risa menatap suaminya cemas, lalu memalingkan wajah ke Nara. Sekejap, rasa bersalah melintas di matanya—tapi cepat digantikan tatapan dingin dan tajam.
“Kamu nggak paham, Nara... Kalau kamu buka mulut, bukan cuma kami. Kamu juga hancur. Kita semua tenggelam bareng.”
Nara terisak. Air matanya jatuh deras. Tubuhnya melemas, tapi matanya masih menyala dengan campuran marah dan takut.
"Aku nggak akan terus diam..."
“Kamu akan diam,” potong Risa cepat, mendekat satu langkah, menatap lurus ke wajah Nara. “Karena kamu takut. Karena kamu tahu, cuma butuh satu video, satu gosip, dan hidupmu berakhir."
Sunyi.
Tiga manusia berdiri saling menatap dalam ruangan sempit yang berbau garam dan ketakutan.
Shannara menggigit bibir sampai berdarah. Ia melangkah mundur dengan tubuh gemetar, lalu berbalik dan keluar dari kamar tanpa sepatah kata.
Risa jatuh terduduk di lantai, menangis tanpa suara. Bayu hanya berdiri menatap pintu yang kini tertutup rapat, wajahnya menegang.
Sementara di lorong, Shannara menahan tangis di balik dinding. Nafasnya sesak.
Ia menatap ke arah laut di kejauhan dari jendela kecil kapal—airnya gelap, beriak pelan, seperti menyembunyikan ribuan rahasia di bawah permukaannya.