"Nak!" panggil Pak Basuki. "Masih belum rela, ya. Calon suami kamu diambil kakak kamu sendiri?"
Sebuah senyum tersungging di bibir Sashi, saat ini mereka sudah ada di sebuah restoran untuk menunggu seseorang.
"Ya sudah, mending sama anak saya daripada sama cucu saya," kata sang kakek.
"Hah?" kaget Sashi. "Cucu? Maksudnya, Azka cucu eyang, jadi, anaknya eyang pamannya Mas Azka?"
"Hei! Jangan panggil Eyang, panggil ayah saja. Kamu kan mau jadi menantu saya."
Mat!lah Sashi, rasanya dia benar-benar tercekik dalam situasi ini. Bagaimana mungkin? Jadi maksudnya? Dia harus menjadi adik ipar Jendral yang sudah membuangnya? Juga, menjadi Bibi dari mantan calon suaminya?
Untuk info dan visual, follow Instagram: @anita_hisyam TT: ame_id FB: Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hangat Pelukannya
Sashi tersenyum dari balik masker medisnya, lalu sedikit membungkuk memberi salam. Pria di hadapannya, tinggi, berseragam loreng dengan lencana kecil bertuliskan "Letkol DIRGA", membalas anggukannya. Meski wajah mereka tertutup masker, mata keduanya bicara lebih banyak daripada bibir yang diam.
Di sisi mereka, seorang prajurit muda dengan helm tedatang memberikan hormat.
"Laporan, Komandan. Kami dapat informasi soal evakuasi darurat di sektor barat, izin bergerak sekarang," katanya cepat.
"Laksanakan."
Namun sebelum prajurit itu berbalik, matanya sempat melirik Sashi, pandangannya cepat tapi cukup membuat Sashi mengernyitkan dahi.
"Dirga," bisiknya pelan, lalu tersenyum kecil, "Namanya sama seperti nama suamiku…." Hah, dia hampir lupa kalau sekarang dia sudah memiliki suami.
Sashi menggeleng pelan, mencoba menepis ingatan yang datang terlalu cepat, Setelah itu, ia kembali berbalik, membantu yang lain untuk menyelesaikan tugasnya.
"Sha!" bisik bidan Yani. "Yang tadi itu dokter Dirga kan?" tanya Yania lagi.
"Kenapa?" tanya Sashi penasaran.
"Tadi, aku denger dari orang-orang, kalau Komandan Dirga adalah dokter militer termuda yang sudah naik pangkat jadi Letkol. Umurnya baru 33 tahun, harusnya kan paling banter juga Mayor."
Senyum miring tersungging di bibirnya. "Udah ketebak, Mbak. Paling juga layar belakang keluarganya yang oke. Enggak masuk akal kalau semuda itu udah jadi Letkol."
"Iya, Sih. Terus, ya. Kayanya beliau itu galak banget, enggak pernah lirik cewek, kabarnya, dia botieee ....."
"Hush!" Sashi melotot kepada sahabatnya. "Jangan gosip, ah. Lanjut aja."
"Iya, iya." Yuni kembali bertugas.
Mulut bisa berkata, tapi hati tak sejalan, Sashi agak sedih kalau memang benar pria itu tidak menyukai perempuan, semakin benar saja trust issue yang beredar di masyarakat kalau si tampan untuk yang tampan.
Hari bergulir perlahan menuju senja.
Ketika malam menjatuhkan jubah gelapnya, tenda-tenda darurat di wilayah pengungsian mulai menyala dengan lampu-lampu kecil yang digantung seadanya.
Di tempat lain, generator diesel menderu pelan, memberikan secercah terang pada rumah sakit lapangan yang terbuat dari terpal tebal dan rangka besi seadanya.
Malam ini lebih tenang. Tidak ada jeritan panik, tidak ada tangisan minta tolong. Banyak pasien sudah dipindahkan ke tenda perawatan lanjutan. Relawan, tim medis, dan prajurit duduk bersama, makan malam dengan lauk seadanya dan air mineral. Di salah satu sisi, terlihat Sashi duduk di sebuah kursi plastik, berbincang dengan bidan sebayanya yang tadi sempat panik siang itu.
Ia tertawa pelan, tampak lebih rileks.
Dari tempat duduknya, Dirga terus menatap ke arah Sashi.
"Hei," suara berat sahabatnya, Kapten Dokter Rio, membuyarkan lamunannya. Pria itu menyikut bahunya sambil menyeringai. "Cantik banget, ya? Sampe kamu nggak bisa berhenti liatin."
Dirga spontan menoleh dan mengernyit. "Apa?"
"Bidan itu, Ga. Yang kamu pantengin dari tadi. Mukanya ... Wah, aku ngerti sih," canda Rio dengan tawa kecil.
"Kamu lebay."
Namun Rio justru makin lebar senyumnya. "Kalau gitu, aku aja deh yang kenalan."
Sebelum Dirga sempat melarang, Rio sudah berdiri dan melangkah ringan ke arah Sashi. Ia menghampiri dengan senyum ramah, lalu sedikit menunduk.
"Permisi… Boleh saya tahu, nama bidan hebat yang tadi bantu lahiran bayi sungsang?" ujarnya, bersuara cukup keras agar terdengar dalam keramaian.
Sashi sempat terkejut, lalu tersenyum sopan. "Saya Sashi."
"Wah, nama yang cantik… seperti orangnya," goda Rio ringan. "Saya Rio. Dokter militer. Kalau butuh bantuan apa-apa, panggil saja."
Bidan di sebelah Sashi hanya tersenyum sambil menahan geli, sementara Sashi mengangguk pelan. "Terima kasih, Dok."
Dari kejauhan, Dirga menyaksikan semua itu. Wajahnya datar, namun matanya sedikit mengecil. Bukannya bergabung, ia malah bangkit, menepuk celana lorengnya, dan berjalan menjauh dari kerumunan.
Ia memutar langkah menuju sisi tenda lain, mengecek stok logistik medis. Tapi sesungguhnya, ia sedang menenangkan pikirannya sendiri. Ia belum tahu kenapa nama perempuan itu, gelang di tangannya, dan caranya bekerja terasa sangat mengusik.
Harusnya ia menemuinya dan mengatakan kalau dia adalah suaminya? Tapi itu tidak mungkin.
** **
Malam itu, ketika tenda-tenda rumah sakit darurat telah lengang dan sebagian besar tim medis memilih beristirahat, Sashi justru menyusuri lorong-lorong tanah yang becek, memeriksa satu per satu pasien. Matanya lelah, tapi hatinya belum tenang. Ia menyempatkan melihat seorang ibu muda yang siang tadi baru saja melahirkan di tengah kondisi darurat.
"Bagaimana keadaannya, Bu? Ada pusing? Atau mual?" tanyanya lembut.
"Alhamdulillah, tidak, Bu Bidan," jawab suaminya sambil tersenyum penuh syukur. "Terima kasih sudah membantu istri dan anak saya."
Sashi mengangguk, membalas dengan senyum kecil sebelum berpindah ke pasien berikutnya, seorang remaja yang meringis karena infus di tangannya.
"Kenapa?" tanya Sashi, membungkuk memeriksa tangan pasien itu.
"Sakit, Bu ... infusnya kayak nusuk tulang...."
Sashi memicingkan mata. Tidak ada tanda kemerahan atau bengkak. Tapi ia mencoba berempati.
"Mungkin kanulanya terlalu besar, kita coba pakai yang biru ... sebentar, saya cari dulu ....."
Belum sempat ia berbalik, sebuah tangan dari belakang telah lebih dulu mengulurkan kanula biru. Dia mengambilnya, dan Sashi menoleh. Tapi yang ia lihat hanya punggung tegap berseragam loreng berjalan menjauh tanpa suara.
"Terima kasih..." gumamnya lirih, meski ia tahu orang itu tak lagi mendengar.
Ia terus berkeliling hingga akhirnya berniat kembali ke tenda istirahat. Tapi saat menapak ke sudut tenda belakang, kakinya tiba-tiba terperosok ke dalam lumpur hingga sebatas betis.
"Inalillahi...," desisnya, mencoba menarik kaki.
Namun sebelum ia bisa bergerak, seekor ular hitam kecokelatan muncul dari balik genangan air, mendesis tepat di hadapannya. Sashi membeku. Matanya membelalak. Keringat dingin mengucur deras.
"Ayah .... Ayah ada ular!"
"Jangan bergerak!" suara bariton itu datang dari belakang Sashi.
Tapi Sashi justru menangis. Tubuhnya gemetar, napasnya tak beraturan.
"Aku gak bisa... aku takut! Aku fobia ular! Aku... aku gak bisa!" jeritnya.
"Bidan Sashi, dengar saya. Tutup matamu, jangan dilihat."
"Dia natap aku!"
"Makannya merem!"
Rio dan rekannya yang lain tersenyum mendengar komandan mereka kesal.
"Gimana kalau dia patuk aku, hah?! Kalau aku mati di sini?! Aku bahkan baru dikhianati tunangan dan keluargaku! Aku bahkan... bahkan belum sempat bertemu suamiku, aku ke sini dengan niat baik, tapi kenapa aku enggak beruntung." Ia mulai terisak.
Dirga memberi kode cepat ke arah Rio dan satu rekannya. Dengan gesit mereka menyiapkan karung dan tongkat penjepit. Sementara itu, Dirga tetap berada di tempatnya, menjaga agar Sashi terus berbicara.
Beberapa detik kemudian, ular berhasil diamankan. Dirga mendekat dan mengulurkan tangan.
"Sekarang, tarik napas. Ulurkan tanganmu."
Sashi, yang matanya masih terpejam dan air matanya bercucuran, menurut.
Begitu tangannya ditarik, ia terlalu cepat melonjak—hingga tubuhnya menabrak tubuh Dirga dan mereka jatuh bersama. Sashi menindih Dirga, matanya masih tertutup rapat, wajahnya masih basah oleh air mata yang jatuh ke wajah Dirga.
Pria itu terpaku. Wajah Sashi berada begitu dekat... aroma samar antiseptik dan lumpur bercampur dalam detak yang pelan-pelan mulai menggila.
.
.
Hai semuanya .... Salam kenal, bantu klik favorite, like dan komen, ya. Ulasannya juga, ramaikan biar author semangat update. Terima kasih 🙏🥰🫶
❤❤❤❤❤
apa fpto ibu mbak ika dan bapaknya dirga???
penasarannnn...
❤❤❤❤❤
foto siapa ya itu?
❤❤❤❤❤❤
apa yg dibawa mbak eka..
moga2 dirga segera naik..
❤❤❤❤❤
😀😀😀❤❤❤❤
mending pulang ke rumah mertua yg sayang banget ama sashi..
❤❤❤❤❤