NovelToon NovelToon
Cinta Suci Aerra

Cinta Suci Aerra

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:817
Nilai: 5
Nama Author: manda80

Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Hanya Ingin Mengambil Hakku

Ucapan terakhir Aldo bukan lagi sekadar bisikan, melainkan sebuah kutukan yang membekukan setiap sel di tubuhku. ‘Hantu’ dari masa laluku. Ia tahu. Ia mengucapkan kata itu dengan begitu enteng, seolah sedang membahas cuaca, padahal ia baru saja meledakkan sesuatu di tengah ruang tamuku yang sunyi.

Mataku terpaku padanya, mencari jejak kebohongan atau gertakan semata. Namun yang kutemukan hanyalah kepastian yang dingin dan mengerikan. Pria di hadapanku ini bukan lagi Aldo yang kukenal. Topeng suami sabar dan penyayang itu telah retak, memperlihatkan sosok asing yang tatapannya mampu menguliti jiwaku lapis demi lapis.

“Mas… Mas ngomong apa?” suaraku bergetar hebat, nyaris tidak keluar. Aku mencoba menyangkal.

Aldo tersenyum miring, senyum yang membuat perutku melilit. “Jangan pura-pura, Aerra. Kamu tahu persis apa yang aku bicarakan. ‘Hantu’ yang membuatmu melamun di meja makan. ‘Hantu’ yang membuat matamu kosong saat aku memelukmu. ‘Hantu’ yang membuatmu menolak darah dagingku tumbuh di rahimmu.”

Setiap tuduhannya adalah paku yang menancap semakin dalam. “Itu nggak benar! Aku nggak pernah…”

“Jangan berbohong padaku!” bentaknya, suaranya menggelegar memecah keheningan. Aku tersentak mundur, tanganku refleks terangkat untuk melindungi diri. “Cukup! Aku muak dengan semua kebohonganmu! Lima tahun, Aerra! Lima tahun aku hidup dengan seorang wanita yang tubuhnya ada di sini, tapi hatinya berkelana di tempat lain!”

Ia melangkah maju. Auranya begitu dominan, membuatku merasa kecil dan tak berdaya. “Kamu pikir aku tidak lihat? Caramu menatap ponselmu seolah itu adalah satu-satunya penyambung hidupmu? Senyum kecil yang muncul di bibirmu saat membaca pesan yang langsung kamu hapus? Kamu anggap aku sebodoh itu?”

Jantungku serasa berhenti berdetak. Pesan? Pesan apa? Aku memang sering mengenang percakapanku dengan Windu dulu, tapi aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengannya. Apa yang Aldo bicarakan?

“Aku… aku tidak pernah berkirim pesan dengan siapa pun, Mas,” cicitku, mencoba membela diri.

“Oh, ya?” Ia tertawa, sebuah tawa serak tanpa kebahagiaan. “Tidak penting lagi siapa dia atau di mana dia sekarang. Yang penting adalah dia ada di kepalamu. Dia adalah parasit yang menggerogoti pernikahan kita. Dan aku akan membasminya.”

Rasa takut yang dingin menjalari tulang punggungku. Ini bukan lagi sekadar perdebatan tentang anak.Aldo sedang berusaha perang terhadap hatiku, terhadap satu-satunya bagian dari diriku yang belum berhasil ia miliki.

“Mas, tolong… jangan seperti ini,” aku memohon, air mata akhirnya mengalir tanpa bisa kutahan. “Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Aku… aku akan coba. Aku akan ikut program itu. Tapi tolong, jangan paksa aku seperti ini.”

“Sudah terlambat untuk bicara baik-baik, Aerra. Waktu untuk negosiasi sudah habis,” jawabnya tegas, seolah menutup sebuah kesepakatan bisnis. “Program itu akan tetap berjalan sesuai jadwalku. Tanggal lima bulan depan. Tidak ada penolakan, tidak ada alasan lagi.”

“Tapi kenapa? Kenapa tiba-tiba Mas jadi seperti ini?” tanyaku lirih, masih berharap menemukan sisa-sisa suamiku yang dulu.

“Kenapa?” Ia menatapku tajam. “Karena kesabaranku ada batasnya. Aku memberimu segalanya. Kemewahan, keamanan untuk keluargamu, masa depan untuk adikmu. Aku pikir, sebagai gantinya, aku akan mendapatkan seorang istri. Istri seutuhnya. Ternyata aku salah. Aku hanya mendapatkan sebuah cangkang kosong.”

Kata-katanya begitu brutal, begitu jujur, hingga aku tidak tahu harus menjawab apa. Semua yang ia katakan adalah kebenaran yang menyakitkan. Pernikahan ini memang sebuah transaksi, dan selama ini aku telah gagal memenuhi bagianku.

“Aku lelah, Aerra,” lanjutnya, nadanya sedikit melunak, tetapi justru terdengar lebih berbahaya. “Aku lelah bersaing dengan bayangan. Aku lelah memeluk tubuh yang dingin. Aku ingin istriku kembali. Dan jika cara satu-satunya adalah dengan mengikatmu padaku melalui seorang anak, maka itulah yang akan aku lakukan.”

“Anak bukan alat, Mas!” seruku putus asa.

“Bagimu mungkin bukan. Tapi bagiku, saat ini, anak adalah solusi,” sahutnya dingin. “Anakku. Darah dagingku. Sesuatu yang nyata, yang bisa mengisi kekosongan di rumah ini. Sesuatu yang akan membuatmu sadar di mana posisimu sebenarnya.”

Ia mengulurkan tangan, bukan untuk membelai, melainkan untuk menyentuh perutku. Aku refleks menghindar, melangkah mundur hingga punggungku membentur dinding yang dingin.

Mata Aldo terlihat marah. Kesabaran terakhirnya yang setipis benang kini benar-benar putus.

“Bahkan sentuhanku pun kamu tolak?” desisnya. Tanpa peringatan, ia menyambar lenganku. Cengkeramannya begitu kuat, membuatku meringis kesakitan. Ini bukan genggaman tangan seorang suami, melainkan cengkeraman seorang pemilik terhadap propertinya.

“Mas, sakit! Lepaskan!” Aku mencoba menarik tanganku, tetapi usahaku sia-sia.

Ia tidak menggubris rintihanku. Sebaliknya, ia mulai menarikku, menyeretku menjauh dari ruang tamu, menuju koridor yang mengarah ke kamar tidur kami. Kepanikan memenuhi diriku.

“Mas mau apa? Tolong, Aldo, lepaskan aku!” Aku memanggil namanya tanpa embel-embel ‘Mas’, berharap itu bisa menyadarkannya.

Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar kami, menoleh ke arahku dengan tatapan yang akan menghantui mimpi burukku selamanya. Tatapan dingin, penuh kekuasaan, dan sedikit… kepuasan melihatku ketakutan.

“Aku hanya akan melakukan apa yang seharusnya sudah kulakukan sejak lama,” ujarnya dengan suara rendah yang mengancam. “Aku akan mengambil apa yang menjadi hakku.”

Ia mendorong pintu kamar hingga terbuka, lalu menarikku masuk dengan kasar. Aku tersandung kakiku sendiri dan nyaris jatuh jika ia tidak menahan lenganku dengan kuat. Aku gemetar hebat, air mata membasahi seluruh wajahku.

“Tidak… jangan…” bisikku parau.

Aldo mengabaikanku. Ia melepaskan cengkeramannya hanya untuk mengunci pintu kamar dari dalam. Suara ‘ceklek’ dari kunci itu. Ia berbalik, melonggarkan dasinya dengan satu gerakan cepat, matanya tidak pernah lepas dariku.

“Kamu bilang anak bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku setuju,” katanya dengan tenang yang mengerikan. “Tapi usaha untuk membuatnya… itu cerita yang berbeda.”

Ia mulai berjalan mendekat, setiap langkahnya terasa seperti dentuman genderang perang yang menggema di dadaku yang sesak. Aku terus mundur hingga punggungku menyentuh lemari pakaian, tidak ada lagi tempat untuk lari.

“Dokter Adrian bisa kita temui bulan depan,” bisiknya saat ia sudah berdiri tepat di hadapanku, menjebakku di antara tubuhnya dan lemari. “Tapi aku tidak sesabar itu. Anggap saja malam ini… kita sedang memulai sesi pemanasan.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!