Ben Wang hidup kembali setelah kematian tragis yang membuka matanya pada kebenaran pahit—kekasihnya adalah pengkhianat, sementara Moon Lee, gadis sederhana yang selalu ia abaikan, ternyata cinta sejati yang tulus mendukungnya.
Diberi kesempatan kedua, Ben bertekad melindungi Moon dari takdir kelam, membalas dendam pada sang pengkhianat, dan kali ini… mencintai Moon dengan sepenuh hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Moon yang duduk di dalam kamar pasien tempat neneknya dirawat, tidak menyadari bahwa Ben sedang berdiri di luar jendela kaca, menatapnya dalam diam. Lampu rumah sakit yang temaram membuat wajah pucat Moon semakin terlihat jelas. Gadis itu menggenggam tangan neneknya erat-erat, seakan takut jika kehangatan itu akan pergi selamanya.
Mata Ben bergetar, ada luka yang tidak bisa ia sembunyikan. Hatinya tercekat melihat betapa rapuhnya gadis itu.
"Apakah setiap malam dia di sini?" suara Ben terdengar serak, penuh rasa bersalah.
"Benar, Tuan. Kadang Moon tertidur di sini, hingga pagi-pagi dia baru pulang dan langsung berangkat kerja," jawab Justin dengan nada pelan, ikut terhanyut dalam suasana.
Ben menahan napas, lalu bertanya lagi dengan tatapan tajam, "Laporan medisnya apakah sudah dapat?"
"Sudah, Tuan," Justin membuka berkas di tangannya. "Moon Lee telah mengalami sakit lambung sejak empat tahun lalu, sebelum dia bergabung dengan kita. Saat itu dia bekerja di banyak tempat sekaligus sehingga tidak pernah makan teratur. Semua uangnya habis untuk biaya rumah sakit neneknya dan sewa rumahnya. Kondisinya makin memburuk, sering sakit-sakitan dan pucat. Kadang juga pingsan tiba-tiba. Kata dokter, kalau sampai dia muntah darah, nyawanya bisa terancam. Semua ini karena dia dipaksa minum alkohol."
Wajah Ben mengeras, matanya berkilat penuh amarah yang ditahan. Tangannya mengepal di sisi tubuh. "Viona Lu sengaja membawanya pergi melayani klien. Moon dipaksa minum. Demi menghindari pemecatan. Moon hanya bisa patuh. Perusahaanku… sejak kapan harus mengorbankan seorang gadis demi mendapatkan proyek? Semua ini jelas-jelas rencana Viona!" ucap Ben dengan suara rendah tapi penuh tekanan.
"Tuan, menurut Anda… nona Viona sengaja?" tanya Justin hati-hati, meski ia sudah tahu jawabannya.
Ben menoleh dengan tatapan dingin, suaranya tegas. "Mulai detik ini, awasi Viona. Kalau sampai dia membawa Moon pergi ke suatu tempat, langsung hentikan. Ini perintahku!"
"Baik, Tuan." Justin menunduk, mencatat perintah itu.
Ben menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya. "Lakukan pembayaran biaya rumah sakit nenek Moon. Sampaikan kepada mereka, kalau butuh sesuatu, hubungi kita. Selain itu, sampaikan juga pada dokter… berikan obat dan vitamin terbaik untuk Moon. Semua tagihan aku yang akan membayarnya. Dan ingat, jangan sampai Moon tahu kalau aku membantunya!"
Justin sedikit terkejut, tapi segera menjawab, "Baik, Tuan."
Ben belum selesai. Matanya masih menatap Moon dari balik kaca, seakan ingin melindungi gadis itu tapi tak mampu mendekat. "Ada lagi, bagaimana situasi rumahnya?"
"Saya sudah dapat informasi, Tuan," jawab Justin. "Rumahnya cukup jauh. Jalan menuju ke sana sepi dan gelap. Setiap pulang Moon turun di terminal bus dan jalan kaki hampir satu jam untuk sampai rumah. Warganya pun jarang terlihat, rumah-rumah berjauhan. Untuk seorang gadis seperti Moon, memang sangat berbahaya. Namun sewanya murah, jadi dia bertahan."
Ben memejamkan mata sebentar, lalu berkata tegas, "Cari apartemen dekat kota, lokasi yang aman untuknya. Segera lakukan. Aku ingin dia tinggal di sana. Sampaikan padanya kalau ini perintahku karena dia akan diberi tugas lain!"
"Baik, Tuan!" jawab Justin mantap.
Justin melirik atasannya, melihat bagaimana Ben berdiri kaku dengan rahang mengeras. "Kelihatan sekali Tuan ingin melindungi Moon… tapi kenapa harus diam-diam, dan tidak ingin Moon tahu? Kenapa juga beliau tiba-tiba berubah seperti orang lain. Dulu, Tuan bahkan tidak peduli dengan Moon. Tapi sekarang… terlalu berlebihan," batin Justin, penuh tanda tanya.
Keesokan harinya.
Di rumah sederhana Moon, aroma teh hangat mengisi ruangan kecil itu. Moon duduk berhadapan dengan seorang wanita paruh baya yang dipanggilnya Bibi Lin. Wajah Bibi Lin penuh kasih sayang, sementara sorot mata Moon tampak letih dan kusam, tanda beban hidup yang terus menekannya.
"Moon, selama ini bebanmu sangat berat. Kau butuh sandaran. Bibi ingin mengenalkanmu pada pria itu, demi meringankan bebanmu," ucap Bibi Lin dengan suara lembut, seolah sedang menenangkan seorang anak kecil. "Dia sudah tahu kondisimu, dan dia tidak keberatan. Kalian sangat cocok. Dia adalah pria yang baik."
Moon menggenggam cangkir tehnya erat-erat. Hatinya terasa hangat mendengar niat tulus dari tetangganya itu. "Bibi Lin, terima kasih karena selama ini selalu mendukungku. Bibi selalu membantuku, bahkan saat aku sakit bibi yang merawatku dan mengantarkan makanan untukku," ucap Moon, matanya sedikit berkaca-kaca.
Bibi Lin tersenyum, meski ada rasa prihatin. Ia menepuk tangan Moon pelan. "Moon, kita adalah tetangga. Bibi hanya bisa membantu semampunya. Bibi tidak tega melihatmu selalu sibuk dengan pekerjaanmu sampai melupakan kesehatanmu. Lihatlah dirimu sekarang, semakin kurus dan pucat. Bibi tidak punya anak, kau sudah seperti anak bibi sendiri. Pria itu namanya Wilson Fang, usianya tiga puluh tahun, pekerjaannya sebagai manager di sebuah perusahaan. Dia bisa merawat dan membantumu. Temuilah dia, siang ini di kafe."
Moon menunduk. Kata-kata itu menusuk hatinya, sekaligus memberi harapan samar di tengah keputusasaannya. Ia menelan ludah, lalu tersenyum lemah. "Bibi, terima kasih..."
"Jangan sungkan," jawab Bibi Lin sambil tersenyum tulus, mencoba menutupi kekhawatiran yang menggelayut di hatinya."Kalau ada apa-apa jangan ragu menghubungi nomor Bibi. Walau rumah kita agak berjauhan, Bibi tetap akan berusaha untuk datang. Kita tinggal di wilayah yang sama!"
Perusahaan Ben.
"Di mana Moon?" tanya Ben sambil berdiri di depan jendela kantornya, tatapannya kosong ke arah meja kerja Moon yang kini terlihat kosong.
"Tuan, tadi saya melihatnya bertemu dengan seorang pria di kafe tak jauh dari sini," jawab Justin hati-hati.
Ben memutar tubuhnya, alisnya berkerut. "Pria? Siapa dia?"
"Saya tidak tahu, Tuan," sahut Justin singkat.
Sementara itu, di kafe.
Moon duduk berhadapan dengan seorang pria muda tampan yang mengenakan kemeja rapi. Tatapannya tenang, sikapnya sopan.
"Moon, Bibi Lin sudah banyak bercerita tentangmu. Kalau kau tidak keberatan, bisakah aku menemuimu lagi lain kali? Bahkan, jika diperbolehkan, aku ingin menjenguk nenekmu," ujar pria itu ramah.
Moon tersenyum tipis, meski hatinya masih diliputi keraguan. "Tuan Fang, terima kasih atas niat baikmu."
"Jangan terlalu sungkan denganku," balas pria itu, suaranya hangat. "Kita bisa berteman dulu, saling memahami. Aku tahu ini mendadak bagimu. Kalau kau masih ragu, kita bisa mulai dari kencan sederhana."
Moon terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. "Baiklah..."
Dalam hatinya, gadis itu bergumam, "Wilson adalah pria yang baik. Kenapa aku tidak mencoba? Selama ini aku mencintai orang yang tidak pernah mencintaiku. Rasanya begitu sakit... dan dia bahkan sudah bertunangan dengan orang lain. Untuk apa lagi aku berharap?"
Moon meneguk sedikit minumannya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada sedikit senyum tipis di wajahnya.
Tak lama kemudian, pintu kafe terbuka. Ben melangkah masuk bersama Justin. Tatapannya langsung tertuju pada meja di pojok, di mana Moon duduk bersama pria asing itu. Senyum tipis Moon menusuk hatinya lebih dalam dari yang ia kira.
Ben melangkah cepat, suaranya tegas, "Moon Lee!"
Moon terkejut, segera bangkit berdiri. "Direktur!" sahutnya gugup. Wilson pun ikut berdiri, sopan.
Ben menatap tajam pria di depannya. "Siapa dia?" tanyanya dengan nada rendah namun sarat tekanan.
"Wilson Fang, temanku!" jawab Moon cepat, meski suaranya bergetar.
"Teman?" Ben mengulang dengan nada penuh tanya, namun jelas ada bara api cemburu dalam suaranya.
Wilson yang merasa suasana tegang, mencoba tersenyum dan mengulurkan tangan. "Moon, pria ini...?"
"Atasanku. Tuan Wang," jelas Moon.
"Tuan Wang, senang bertemu. Saya Wilson Fang," sapa Wilson sopan, tangannya tetap terulur.
Ben, walau dadanya terasa sesak, terpaksa membalas jabat tangan itu. Dingin.
"Kalian sudah lama saling mengenal?" tanya Ben, matanya menyipit curiga.
"Baru hari ini," jawab Wilson tenang. "Bibi Lin yang mempertemukan kami. Beliau mengatur... perjodohan ini."
"Perjodohan?" Ben tersentak. Kata itu bagai petir menyambar dadanya.