"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."
Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MELAMAR
Luna tiba di rumah dengan langkah cepat. Udara di dalam rumah terasa hangat dan tenang, jauh berbeda dari hiruk-pikuk jalanan yang baru saja ia lewati. Ia menutup pintu perlahan, menaruh tas lusuhnya di atas meja, lalu menghela napas panjang.
Tanpa banyak bicara, Luna segera menuju kamarnya—ruangan kecil yang hanya dipisahkan tirai tipis dari ruang tengah. Ia membuka lemari kayu yang sudah mulai lapuk, mengeluarkan pakaian yang paling rapi yang ia punya—kemeja putih dan rok hitam polos.
Tangannya bergerak cepat mengganti pakaian, sementara pikirannya terus berputar pada satu hal—wawancara kerja yang akan ia datangi sore ini. Di cermin retak di dinding, ia menatap dirinya sejenak. Wajah letih itu berusaha tersenyum, memberi semangat pada diri sendiri—menepis prasangka buruk tentang dirinya di sekolah sebagai seorang pencuri yang mematahkan mentalnya, ia tidak ingin tenggelam dalam luka itu.
Ia menarik napas dalam, mencoba menata perasaannya yang masih berantakan. “Aku bukan seperti yang mereka bilang,” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
“Lunaaa!” Panggil sang ayah dengan suara serak namun hangat.
“Iya, Yah!” sahut Luna sembari merapikan helai rambutnya yanG sedikit keluar dari jilbab. Suaranya terdengar berusaha ceria, menutupi gemetar halus yang masih tertinggal di dadanya.
Ia menatap cermin sekali lagi—memandang sosok gadis sederhana dengan mata yang menyimpan banyak luka, tapi juga keberanian untuk terus melangkah. Satu senyum kecil ia paksakan, cukup untuk memberi semangat pada dirinya sendiri.
Dari ruang tengah, suara langkah kaki sang ayah terdengar pelan, disusul batuk ringan yang sudah akrab di telinga Luna.
“Kamu mau ke mana, Nak?” Tanya sang ayah lirih.
Luna mendekat dan menatap Herman lekat. "Ayah, saat kemarin aku membeli makanan buat kita... aku gak sengaja lihat lowongan pekerjaan sebagai pengantar bunga." Jelasnya. "Dan aku ingin coba melamar kesana."
"Tapi, Nak. Kamu kan..."
"Ayah," Potong Luna pelan. "Urusan pelajaran, aku bisa atur waktu buat belajar. Ayah gak perlu khawatir soal itu."
"Kamu yakin?"
Luna mengangguk, Meski hatinya masih setengah ragu. Ada getar halus di dada yang sulit ia redam, antara takut gagal dan takut mengecewakan. Namun, di balik semua itu, ia tahu—tidak ada pilihan lain selain melangkah.
“Aku nggak mau kita terus dikasihani, Yah,” Ucap Luna lirih namun tegas. “Aku nggak mau terus hidup dari belas kasihan tetangga. Aku akan berusaha keras mulai sekarang… demi kita.” Jelasnya dengan nada bergetar. "Kalau aku dapat uang, kita bisa makan enak dan beli obat buat Ayah. Dan..."
"Dan?"
Aku bisa melunasi tunggakan sekolah. Luna menggeleng dengan senyuman tegarnya. "Ayah, aku mohon percaya sama aku. Aku bisa jaga diri dan aku bisa atur waktu belajar ku di sekolah."
Herman mengangguk, kelopak matanya berkaca-kaca. "Seharusnya kamu tidak melakukan ini, Nak."
Luna menelan saliva. Ia tertunduk, lalu kembali memandang wajah teduh ayahnya lagi. "Ayah do'ain Luna, ya. Luna pergi dulu."
Herman mengangguk tanpa suara. Ia mencium ubun-ubun anaknya. "Hati-hati, Nak." Lirihnya.
Luna mengangguk, detik berikutnya ia bergegas pergi meninggalkan rumah.
****
Udara sore itu terasa lembut, menyentuh kulit Luna dengan hembusan yang membawa aroma dedaunan dan wangi bunga liar dari pinggir jalan. Langit mulai berubah warna—biru pucat beralih menjadi jingga keemasan, seolah matahari sedang berpamitan perlahan di balik atap-atap rumah.
Luna menggenggam ujung tas kecilnya sambil berjalan menyusuri trotoar. Angin sore membuat rambutnya menari pelan, beberapa helai menempel di pipinya yang hangat oleh sinar senja. Setiap langkah terasa tenang, seperti dunia melambat untuk memberinya waktu bernapas sejenak.
Di kejauhan, papan bertuliskan “Mawar Indah Florist” mulai terlihat. Cahaya oranye senja menimpa kaca etalase toko itu, membuat bunga-bunga di dalamnya tampak berkilau lembut. Luna berhenti sejenak di depan pintu, menarik napas panjang. Wangi mawar yang samar tercium bahkan sebelum ia melangkah masuk.
Begitu pintu kayu itu terbuka, lonceng kecil di atasnya berdenting manis—kring!—menyambut kedatangannya. Udara di dalam toko terasa hangat, dipenuhi aroma segar dari mawar, melati, dan bunga lili. Cahaya sore yang menembus kaca membuat kelopak-kelopak itu tampak hidup, memantulkan warna yang menenangkan hati.
"Mawar Indah Florist disini, ada yang bisa di bantu?" Sapa seorang pramuniaga, perempuan. Usianya mungkin terpaut lima tahun lebih tua darinya. Indah. Begitu nama yang tertera di nametag yang tertempel di dada sebelah kiri.
"Saya..." Luna menelan saliva. "Saya kemari membaca spanduk lowongan pekerjaan sebagai pengantar bunga. Saya berminat untuk melamar sebagai karyawan di toko ini."
Wanita itu menatap Luna ragu. "Usia kamu berapa?"
"Tu-tujuh belas tahun."
"Masih sekolah?"
Luna mengangguk tanpa suara.
"Gimana dengan sekolah kamu nanti?"
Luna bergerak selangkah lebih maju, lalu menepuk kedua tangannya pelan, "Saya mohon, Kak. Saya butuh pekerjaan ini untuk bayar tunggakan SPP dan biaya berobat Ayah saya."
Perempuan itu menelan saliva, menatap Luna dengan pandangan iba. Ada keraguan yang bergetar di matanya, seolah ingin menolak tapi tak tega. "Ini bukan hal yang mudah, lho."
Luna tertunduk, matanya menghangat. Ada sesuatu yang bergenang dan nyaris tumpah.
"Mengantarkan bunga itu memang terlihat gampang. Tapi..."
Luna menelan saliva. "Baik, Kak." Lirihnya bergetar. "Kalau saya tidak termasuk kualifikasi... saya—"
“Oke. Kamu diterima!” Potong perempuan itu cepat, tanpa banyak pikir.
Luna tertegun, matanya membulat menatap serius perempuan di hadapannya.
“Tapi … apakah saya tidak bertemu dengan atasan toko ini?” Tanyanya ragu, suaranya hampir bergetar.
Perempuan itu tersenyum kecil. “Atasan kamu itu aku.” Ia menepuk dadanya ringan, lalu melanjutkan, “Aku memang masih kekurangan pegawai, jadi untuk sementara aku harus turun tangan langsung. Kebetulan juga, toko ini baru tiga minggu dibuka.”
Luna menatapnya tak percaya, rasa lega perlahan menggantikan gugup di wajahnya.
“Kebetulan besok hari Sabtu,” Ujar perempuan itu sambil menatap Luna. “Kamu bisa datang kemari di jam seperti ini, bisa? Soalnya, besok ada pelanggan online yang pesan buket bunga di jam-jam seperti ini, jadi aku butuh bantuan tambahan.”
Luna mengangguk cepat, senyum kecil terbit di wajahnya. “Bisa, Bu.”
“Bagus,” Jawab perempuan itu dengan nada lega. “Kita mulai dari situ dulu, ya. Biar kamu sekalian belajar.”
"Baik! Terima kasih kesempatannya."
****