NovelToon NovelToon
Hujan Di Istana Akira

Hujan Di Istana Akira

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi / Harem / Romansa / Dokter
Popularitas:387
Nilai: 5
Nama Author: latifa_ yadie

Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hujan Terakhir

Sudah enam bulan sejak waktu kembali berputar.

Musim berganti seperti seharusnya — bunga plum mekar lalu layu, matahari terbit lalu tenggelam lagi.

Kota di bawah istana kini penuh kehidupan, tapi kadang terasa terlalu sunyi buat hatiku.

Karena sejak hari itu, aku belum pernah lagi melihat Akira.

Namun, setiap kali hujan turun, aku bisa merasakannya.

Suara rintik air di atap rumah seperti membawa napasnya.

Lembut, tapi cukup untuk membuat dadaku sesak.

“Kau baik-baik saja, Mika?”

Aku tak tahu apakah itu hanya bisikan imajinasiku, atau waktu memang masih memberiku kesempatan mendengar suaranya.

Aku sekarang tinggal di tepi kota baru — Hayashida Baru, dunia gabungan antara masa lalu dan masa depan.

Di jalan yang sama, ada anak-anak berlari mengenakan kimono dan sepatu olahraga.

Lampion bergantungan di samping papan digital yang menampilkan ramalan cuaca.

Lucu, aneh, tapi indah.

Setiap pagi aku bekerja di klinik kecil di pasar timur.

Aku bukan lagi dokter modern, juga bukan tabib istana.

Aku hanya Mika — perempuan yang mencoba membantu dunia baru ini belajar sembuh.

Kadang aku merasa seolah semua ini hadiah dari waktu:

kesempatan untuk memulai lagi, tanpa kehilangan semuanya.

Tapi ada kalanya aku menatap langit dan bertanya dalam hati —

apa Akira masih ada di balik sana?

Hari itu hujan turun deras sekali.

Langit gelap, dan aroma tanah basah memenuhi udara.

Aku menyalakan lentera di ruang tamu, lalu duduk di dekat jendela dengan secangkir teh hangat.

Di luar, gemericik air membentuk irama yang tak asing: tempo yang sama seperti malam terakhir aku bersamanya.

Di meja, buku catatanku terbuka.

Aku menulis kalimat sederhana:

“Setiap hujan adalah pertemuan antara langit dan hati yang belum selesai.”

Tiba-tiba, ada ketukan di pintu.

Aku berdiri pelan — siapa yang datang di tengah badai begini?

Ketika kubuka, seorang gadis kecil berdiri di depan rumah.

Rambutnya hitam lembut, matanya abu-abu kebiruan.

Ia basah kuyup tapi tersenyum sopan.

“Sensei,” katanya lembut, “aku tersesat.”

Aku cepat menariknya masuk, membungkus tubuhnya dengan selimut.

“Kau dari mana?”

“Dari kota atas,” jawabnya sambil menggigil. “Tapi waktu hujan mulai, jalan berubah. Aku gak tahu kenapa.”

Aku tersenyum menenangkan. “Tak apa, kau aman di sini.”

Dia memandangi ruangan dengan mata besar, lalu berhenti di meja.

Di sana, liontin spiral milikku tergeletak.

Dia menunjuknya. “Itu sama kayak punyaku.”

Aku menatap lehernya — benar, ia juga mengenakan liontin berbentuk spiral kecil, identik.

“Siapa yang memberimu itu?”

Dia tersenyum. “Ayahku.”

Dadaku langsung bergetar.

Aku berjongkok di hadapannya. “Siapa nama ayahmu?”

Dia menjawab cepat, tanpa ragu.

“Akira.”

Dunia seolah berhenti sejenak.

Suara hujan, detak jam, semuanya memudar.

Aku menatap matanya — dan di sana, aku melihat sesuatu yang familier.

Tatapan yang dulu selalu menenangkanku di tengah badai.

“Dia bilang kalau aku tersesat,” lanjut si gadis, “aku harus cari orang yang punya cahaya yang sama.”

Aku menelan ludah, suaraku hampir hilang. “Dan kau menemukanku?”

Dia mengangguk. “Iya, Sensei. Karena cahayamu mirip ayah.”

Air mata langsung jatuh tanpa sempat kutahan.

Aku memeluknya pelan, mencoba menyembunyikan tangis di rambutnya yang masih basah.

“Dia benar,” bisikku. “Kau sudah menemukan rumahmu.”

Hujan makin deras, tapi terasa hangat.

Gadis kecil itu tertidur di kursi, wajahnya tenang seperti malaikat kecil.

Aku duduk di sampingnya, menatap wajah mungil yang seolah memancarkan kehadiran seseorang yang dulu kucintai.

Petir menyambar jauh di langit.

Dan di luar jendela, di balik tirai hujan, aku melihat siluet seorang pria berdiri.

Tinggi, tegap, dengan rambut basah yang menutupi sebagian wajah.

Hatiku langsung tahu.

“Akira…”

Dia menatapku dari kejauhan, matanya penuh kehangatan.

“Terima kasih sudah menjaganya,” suaranya samar tapi jelas.

Aku menutup mulut, menahan tangis. “Dia… dia anak kita?”

“Dia adalah waktu yang kau hidupkan kembali, Mika.”

Tubuhnya berpendar lembut, cahaya biru keemasan yang sama seperti dulu.

“Aku tidak bisa tinggal lama. Tapi aku akan selalu jadi bagian dari hujan yang menenangkanmu.”

Aku melangkah mendekat ke jendela.

“Jangan pergi lagi, Akira!”

Dia tersenyum, dan untuk sesaat, dunia terasa tenang sekali.

“Aku tidak pergi, Mika. Aku cuma berubah jadi langit yang menjagamu.”

Lalu tubuhnya larut dalam hujan, seperti bayangan yang kembali ke tempat asalnya.

Hanya cahaya kecil yang tertinggal di udara, melayang lalu masuk ke liontin di meja.

Cahaya itu menyatu, dan untuk sesaat, aku mendengar detak lembut di dalamnya — seperti jantung yang masih hidup.

Pagi berikutnya, hujan berhenti.

Langit biru muda, bersih tanpa awan.

Gadis kecil itu bangun dengan senyum polos.

“Sensei… hujannya berhenti ya?”

Aku mengangguk. “Iya, sayang. Hujan terakhir musim ini.”

Dia memejamkan mata sebentar. “Tapi suaranya masih ada.”

Aku terdiam.

Di antara bunyi tetesan air dari atap, aku mendengar bisikan yang nyaris tak terdengar:

“Aku di sini, Mika. Setiap kali hujan datang, aku kembali.”

Aku tersenyum, mengelus rambut gadis kecil itu.

“Ya. Aku tahu.”

Dia menatapku penasaran. “Tahu apa?”

Aku menatap langit yang mulai cerah.

“Tahu bahwa cinta tidak pernah benar-benar pergi. Kadang ia hanya pulang lewat hujan.”

Kami keluar ke halaman.

Tanah masih basah, aroma segar memenuhi udara.

Aku menggandeng tangannya, berjalan pelan menuju jalan kecil yang mengarah ke lembah.

Di langit, garis cahaya samar terlihat melengkung, berkilau lembut — sisa dari retakan waktu yang dulu pernah memisahkan kami.

Aku membuka buku catatanku, menulis satu kalimat terakhir untuk hari itu:

“Ketika hujan terakhir turun, aku tidak kehilangan siapa pun.

Aku hanya belajar bahwa cinta abadi bukan tentang waktu, tapi keberanian untuk terus hidup setelahnya.”

Aku menutup buku itu, menatap gadis kecil di sampingku.

“Sudah waktunya kita hidup, bukan menunggu.”

Dia mengangguk ceria. “Ya, Sensei!”

Kami tertawa kecil, berjalan di jalan berbatu yang berkilau oleh sisa air hujan.

Dan di atas sana, di langit yang perlahan biru sempurna, aku melihat dua sosok cahaya bergandengan tangan, tersenyum.

Aku tahu siapa mereka.

Dan kali ini, aku tidak menangis.

Karena hujan terakhir bukan akhir.

Ia adalah janji — yang akhirnya ditepati oleh waktu.

1
Luke fon Fabre
Waw, nggak bisa berhenti baca!
Aixaming
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!