Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Tolong jaga sikap, Nyai!" Bi Sumi muncul berdiri di samping Wulan.
Jelas perubahan ekspresi di wajah Ratih terlihat. Wulan mengernyit, sedikit kesombongannya memudar dan Wulan bisa melihatnya dengan jelas.
"Kamu ... kenapa bisa ada di sini?" tanyanya tak senang.
Bi Sumi adalah pengasuh juragan sejak kecil, selalu berada di sisi juragan. Memastikan apapun untuk keselamatan juragan. Keberadaannya di kediaman Wulan sangatlah tidak biasa.
"Saya ditugaskan juragan untuk melayani Nyai Wulan. Harap Nyai Ratih jangan mempersulit," ucap Bi Sumi menggetarkan hati Ratih.
Dia sudah sepuluh tahun lebih menemani juragan Nata, tapi sehari pun tak membiarkan abdi tua itu melayaninya.
"Tidak mungkin! Juragan tidak pernah membiarkan Bi Sumi melayani orang lain. Kenapa bisa dengan Wulan?" protesnya semakin tidak terima.
Suasana hatinya panas bergejolak, terbakar rasa cemburu karena gadis muda yang menjadi madunya itu diperlakukan begitu istimewa.
"Juragan sudah dewasa, sudah tidak memerlukan pengasuh tua seperti saya. Sedangkan Nyai Wulan masih muda, masih membutuhkan bimbingan. Jadi, saya di sini untuk mengajarinya aturan-aturan di istana Nagari ini," jelas Bi Sumi dengan sikap yang tenang.
Ratih mendengus, menatap sinis pada Wulan yang masih mengenakan pakaian pengantinnya.
Kukira kamu diistimewakan, ternyata hanya untuk diajari aturan di istana ini. Jangan harap kami bisa merebut Nata dariku!
Batin Ratih bergumam, sedikit hatinya merasa lega karena apa yang diucapkan Bi Sumi.
Licik! Aura di tubuhnya penuh mistis. Aku harus berhati-hati padanya. Benar kata ibu, Ratih bukan perempuan biasa.
Wulan pun ikut menilai setelah menelisik lebih dalam siapa sosok Ratih itu.
"Bagus kalau begitu. Ajari dia sampai paham bagaimana hidup di istana Nagari ini." Ia menghela napas lega, merubah ekspresi wajahnya menjadi lembut.
Lalu, tersenyum kepada Wulan. Bahkan, menggapai tangan gadis itu dan menepuknya dua kali. Wulan mencibir, ada sesuatu yang mengalir di pembuluh darahnya setelah ditepuk Ratih.
Kamu pikir bisa melakukan hal buruk kepadaku? Jangan harap!
Ratih melepaskan tangan Wulan, kemudian memanggil dayangnya. Seorang abdi wanita masuk dengan membawa sebuah kotak kayu di tangan. Ia berikan kepada Ratih dengan sangat hati-hati.
"Ini hadiah dariku. Kamu jangan menolak, anggap saja aku sudah menerima kamu sebagai madu di sini. Ke depannya, perhatikan setiap aturan. Kenali siapa yang berkuasa di sini," ucap Ratih dengan raut wajah sinis di akhir kalimat.
Ia beranjak, dan pergi begitu saja bersama dua dayangnya. Wulan melirik kotak yang diletakkan Ratih di atas meja. Ada reaksi di tubuhnya, apa yang diberikan Ratih ke dalam pembuluh darah Wulan berkaitan dengan isi kotak tersebut.
"Apa perlu dibuka, Neng?" tanya Bi Sumi hati-hati.
"Tidak perlu, Bi. Bakar saja malam ini juga! Jangan pernah membukanya. Bakar di tempat yang tidak dilewati orang!" titah Wulan misterius.
Wajahnya serius, hal-hal mistis itu Bi Sumi tidak memahaminya. Apa isi di dalam kotak pun, ia tidak mengetahuinya sama sekali. Bi Sumi menatap bingung kotak kayu berukiran bunga mawar itu. Begitu indah sehingga orang yang tidak tahu akan mengira bahwa itu adalah hadiah yang istimewa.
"Saya sedikit lelah, Bi. Mau istirahat," ucap Wulan seraya berjalan mendekati ranjang.
Langkahnya gontai, terlihat lunglai. Bi Sumi mengernyit, keheranan dengan kondisi Wulan yang tak biasa. Dia baik-baik saja sebelumnya.
Apa sebenarnya yang terjadi? Mungkin isi di dalam kotak ini? Jika begitu, aku harus segera membakarnya sesuai perintah Wulan.
Bi Sumi mengambil sebuah kain, membungkus kotak tersebut dan membawanya keluar. Ia pergi ke tempat di mana tak pernah dilewati orang-orang. Membakar kotak tersebut dengan segera. Asap hitam berupa kepala keluar diiringi jeritan yang memilukan.
Bi Sumi terjerembab ke belakang, mengelus dada yang berdebar-debar kuat.
"A-apa itu tadi? Astaga! Apa itu teluh?" gumamnya seraya beranjak dan pergi dari tempat itu.
Bi Sumi akan kembali saat subuh nanti untuk menimbunnya dengan tanah. Ia berjalan tergesa meninggalkan tempat tersebut. Sesekali tangan tuanya mengusap keringat yang memenuhi wajah.
"Bi Sumi! Dari mana?"
Sekali lagi, tubuh wanita tua itu terhentak mendengar teguran seseorang.
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa