Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Perdana Cicipi Masakan Rumi
Langkah kaki terdengar di lorong utama mansion yang mulai temaram oleh cahaya senja. Julian baru saja tiba lebih awal, padahal menurut kebiasaan, jam segini ia biasanya masih di luar menghadiri rapat atau makan malam bisnis. Jasnya ia lepaskan begitu masuk, lalu ia serahkan pada seorang maid yang menyambut di depan pintu.
“Selamat sore, Tuan,” sapa maid itu sopan.
Julian hanya mengangguk singkat. Sorot matanya menyapu sekeliling rumah yang hening. Biasanya, selepas sore, suara hanya datang dari ruang kerja atau ruang tamu. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda.
Ia menghentikan langkah ketika samar-samar terdengar suara tawa dari arah dapur kering. Tawa itu ringan, jujur, dan entah kenapa terdengar asing bagi telinganya, karena sudah lama ia tidak mendengar rumah ini diwarnai kehangatan seperti itu.
Julian mengerutkan kening. Perlahan ia melangkah ke arah sumber suara. Semakin dekat, aroma gurih yang menggoda ikut menyergap penciumannya—campuran harum ayam berbumbu dan kesegaran sayur bayam yang baru direbus.
Saat tiba di ambang pintu dapur, pemandangan di depannya membuat langkahnya otomatis terhenti.
Mama Liora duduk di kursi kecil dekat meja, wajahnya berseri-seri sambil tertawa pelan. Di hadapannya, Rumi, dengan lengan baju digulung, sedang menuang sayur bening ke panci kecil untuk dihangatkan kembali. Senyum sederhana itu terukir jelas di wajahnya, dan ada kelembutan dalam cara tangannya bergerak.
Julian berdiri beberapa detik tanpa bersuara. Ada rasa aneh yang menyelusup di dadanya, campuran heran dan sesuatu yang enggan ia akui. Rumah ini—yang selama ini baginya hanya tempat pulang tanpa kehangatan—tiba-tiba terasa berbeda.
Ia berdeham pelan.
Suara itu cukup untuk membuat dua wanita di dapur menoleh bersamaan.
“Julian?” Mama Liora yang pertama kali bereaksi. Ia tampak terkejut, lalu berdiri. “Kamu sudah pulang? Bukannya ada makan malam bisnis?”
“Aku reschedule,” jawab Julian singkat, menurunkan tas kerjanya di atas meja kecil dekat pintu. Pandangannya bergeser pada Rumi, lalu kembali ke ibunya. “Suasana rumah agak berbeda sore ini.”
Mama Liora tersenyum, menyembunyikan keharuan kecil di hatinya. “Itu karena Rumi. Dia masak sendiri untuk kita.”
Julian menaikkan alis tipis. “Masak?”
Rumi yang sedari tadi menunduk akhirnya bicara lirih, “Saya cuma masak sederhana, Pak. Ayam bumbu rujak sama sayur bening. Kebetulan lagi kangen masakan rumah.”
Julian hanya mengangguk datar, tanpa komentar lebih. Tapi Mama Liora tidak tinggal diam. Ia menepuk kursi kosong di sampingnya. “Ayo, coba dulu. Duduk sini. Kamu harus rasakan sendiri.”
“Mah .…” Julian sempat menghela napas, tapi melihat wajah antusias ibunya, ia mengalah. Ia melangkah mendekat dan duduk.
Rumi segera bergerak, menuang nasi hangat ke piring, lalu mengambil ayam bumbu rujak dan menatanya rapi. Sayur bening yang tadi ia hangatkan, kini ia tuangkan ke mangkuk kecil. Semua ia lakukan dengan cekatan, meski rasa gugup jelas terlihat di wajahnya.
“Silakan, Pak,” ucapnya pelan, menyodorkan piring itu.
Julian menatap sekilas, lalu meraih sendok. Ia mencicipi sesuap nasi dengan kuah sayur bening terlebih dahulu. Diam. Tanpa ekspresi. Hanya suara sendok yang bertemu piring terdengar di ruang itu.
Mama Liora memperhatikan penuh harap. “Bagaimana?”
Julian tidak langsung menjawab. Ia mengambil potongan ayam, menyendok kuah kental berbumbu merah, lalu memasukkannya ke mulut. Lagi-lagi, hanya diam. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya sulit ditebak.
Rumi menunduk, berusaha menyembunyikan kegugupan. Ia tak berani menatap langsung.
Sampai akhirnya, Julian meletakkan sendok. “Tambahkan nasi lagi.”
Rumi sempat tertegun. “I-iya, Pak.” Ia buru-buru berdiri dan menambah nasi di piring Julian, lalu kembali menaruh lauk.
Mama Liora tersenyum lebar, menahan tawa kecil. “Itu artinya enak, Rumi. Jangan bingung kalau Julian tidak memuji. Tapi kalau sampai minta tambah, itu pujian paling tinggi darinya.”
Rumi ikut tersenyum tipis, lega. “Saya senang kalau cocok, Bu.”
Julian tidak berkata apa-apa, hanya melanjutkan makan dengan tenang. Namun diam-diam, setiap suapan membuatnya teringat sesuatu—masa kecilnya. Dulu, sebelum rumah ini dipenuhi kesibukan bisnis, ibunya sering masak sendiri. Rasa ayam bumbu rujak ini … mirip sekali.
Suasana makan malam sederhana itu terasa hangat. Tidak ada percakapan ramai, tapi ada kebersamaan yang jarang sekali hadir di mansion ini.
Mama Liora menatap kedua anak muda itu, hatinya penuh rasa syukur. "Seandainya suasana seperti ini bisa bertahan lama," batinnya.
***
Beberapa menit berlalu, piring Julian sudah hampir kosong. Ia meletakkan sendoknya, lalu meneguk segelas air putih.
“Masakannya … layak untuk dihidangkan,” ucapnya singkat.
Kalimat itu terdengar dingin bagi orang luar, tapi bagi Mama Liora, ia tahu itu adalah pengakuan tersirat. “Nah, kan? Apa Ibu bilang? Enak, kan?”
Rumi hanya tersenyum malu, menunduk. “Alhamdulillah kalau cocok, Pak.”
Julian berdiri, menepuk pelan bahu ibunya. “Istirahatlah, Mah. Jangan terlalu lama di dapur. Saya ke ruang kerja sebentar.”
Mama Liora mengangguk. “Baik. Tapi lain kali, kamu harus sering-sering makan masakan rumah seperti ini. Biar tidak lupa rasa sederhana.”
Julian tidak menjawab, hanya mengangguk tipis lalu keluar dari dapur.
Begitu ia pergi, Mama Liora menoleh pada Rumi dengan mata berbinar. “Rum, kamu lihat sendiri, kan? Jarang-jarang Julian mau makan dengan lahap begitu.”
Rumi tertawa kecil, masih menyimpan rasa haru. “Saya cuma masak seadanya, Bu. Nggak nyangka Pak Julian mau mencicipi.”
“Bukan cuma mencicipi, Nak. Dia bahkan minta tambah. Itu sudah luar biasa.”
Rumi mengangguk, hatinya menghangat. Untuk pertama kalinya sejak masuk rumah besar ini, ia merasa sedikit diterima—meski hanya lewat sepiring nasi dan lauk sederhana.
Sementara di lorong atas, Julian yang sudah berjalan menuju ruang kerjanya menoleh sekali lagi ke arah dapur. Dari jauh, ia masih bisa mendengar suara tawa kecil ibunya bersama Rumi. Entah kenapa, suara itu terus terngiang di telinganya. Ia tidak mengerti, tapi sore ini rumahnya terasa berbeda.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Julian membiarkan dirinya menikmati perasaan itu—meski hanya dalam diam.
Bersambung ... ✍️
Ooh derry dimana k engkau...