NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

GA,,, IRAH TAK TERDUGA

Drrtt... Drrtt...

Getar ponsel berbunyi. Tama yang ada di kamarnya langsung melirik ponselnya itu kemudian memalingkan wajahnya. Muak rasanya, ternyata yang menghubungi adalah Erina.

"Ngapain dia nelepon? Dasar ja-lang!" ucap Tama enggan mengangkat panggilan tersebut.

Ponsel terus bergetar, lama kelamaan membuat Tama penasaran. Ia pun akhirnya mengangkat panggilan dari wanita itu.

"Hallo, Sayang? Aku ganggu ya? Ehm, kamu lagi apa?

Masih di Bandung?" tanya Erina di ujung telepon sana dengan suara yang dibuat semanis mungkin.

Muak. Tentu saja. Ingin rasanya memaki wanita yang dulu dicintainya itu. Namun ia tahan, semua demi sandiwara sebelum saatnya tiba di mana ia akan membongkar semua kebusukan istrinya dan membalaskan rasa sakit hatinya.

"Iya, maaf ya tadi aku lagi di toilet. Aku masih di Bandung. Kemungkinan pulang besok," ucap Tama berbohong. Selain enggan melihat wajah istrinya untuk sementara waktu, ia juga ingin punya banyak waktu berdua dengan Kemala. Apalagi saat ini Kemala sedang sakit, Tama berniat untuk tidak berangkat ke cafe dan fokus merawat gadis itu.

"Ohh, gitu. Ya sudah. Semangat ya kerjanya, Sayang. Semoga cafe baru yang nanti akan segera launching bersama teman kamu itu diberikan kelancaran. Aku kangen banget sama kamu, Mas," ucap Erina kembali berbual.

"Aamiin. Kamu juga jaga diri baik-baik. Jangan terlalu ngoyo, kan lagi sakit," ucap Tama menyindir.

"Ngoyo apa sih, Mas? Aku di rumah full istirahat kok.

Kamu jangan khawatir, aku bakal cepat pulih demi kamu. See you, baby! I love you."

"See you, too," jawab Tama seraya mematikan sambungan telepon itu tanpa membalas ucapan sayang dari istrinya.

"Dasar wanita murahan! Ja-lang! Kenapa aku bisa mencintainya dulu? Kenapa aku bisa tertipu? Erina, wanita itu benar-benar biadab!" Pekik Tama penuh amarah.

Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba mengontrol emosi sebelum dirinya keluar kamar dan menemui Kemala untuk menemaninya. Ia tak mau Kemala sampai melihat wajah marahnya ini.

Siang itu, rumah terasa hening. Matahari menyusup

Dari celah tirai ruang tengah, menebarkan cahaya hangat ke dalam ruangan. Televisi menyala, menayangkan berita siang dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. Namun tak satu pun dari mereka memperhatikan layar kaca itu.

Kemala duduk berselonjor di sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan. Ia mengenakan kaus lengan panjang berwarna pastel dan celana pendek santai, rambutnya digulung seadanya. Di sampingnya, Tama bersandar diam, mengenakan kaus abu-abu dan celana training.

Kemala memang tidak berangkat ke kampus karena kakinya yang terluka itu. Sementara Tama, ia juga memutuskan untuk diam di rumah, khawatir Kemala butuh sesuatu nantinya. Ia juga tidak mau meninggalkan Kemala sendirian meskipun gadis itu sendiri yang sejak tadi memaksanya untuk pergi ke cafe.

"Om berangkat aja, aku gak apa-apa kok. Ini udah mulai baikan, Om. Gak terlalu sakit kayak pagi tadi."

"Nggak, Mala. Om tetap akan menemanimu di rumah.

Lagipula Om malas ke cafe, apalagi dengan pikiran mumet seperti ini," ujarnya.

Kemala mengangguk. Kemudian gadis itu pun kembali menonton televisi. Mencoba untuk tidak terbawa suasana kali ini.

Tama menghela napas panjang. Berkali-kali ia mencuri pandang ke arah Kemala, namun cepat-cepat mengalihkan tatapannya. Ia tahu, ini bukan saat yang ideal. Tapi jika dibiarkan terlalu lama, semua ini hanya

Akan semakin rumit.

Dengan suara pelan namun penuh getaran, ia membuka suara.

"Mala..." panggilnya.

Kemala menoleh pelan. "Iya, Om?"

Tama menarik napas dalam, lalu menatap lurus ke arah Kemala. Matanya tajam, tapi penuh kebimbangan. "Mungkin ini terlalu cepat. Tapi semenjak kamu ada di sini... aku yang awalnya nggak suka ada orang ketiga di rumah, sekarang malah terus aja kepikiran sama kamu."

Kemala membeku. Dadanya terasa sesak.

"Om nggak mau kamu salah paham. Aku nggak ingin menjadikanmu pelampiasan karena Erina. Tapi Om jujur...

sepertinya aku menyukaimu, Mala."

Deg.

Pernyataan itu menggema dalam dada Kemala. Ia menatap Tama dengan sorot tak percaya, mulutnya terbuka sedikit, namun tak ada kata-kata yang keluar. Ia tahu, ini bukan hal yang mudah. Perasaannya sendiri pun masih simpang siur. Tapi mendengar kata-kata itu langsung dari Tama membuatnya seperti tertampar sekaligus tersentuh.

Bunga-bunga yang kuncup rasanya seperti bermekaran. Perasaan ini tidak bisa digambarkan oleh kata-kata.

Tama melanjutkan, "Tapi kamu tenang saja. Om nggak akan memaksa. Aku tetap ingin melindungimu sebagai orang dewasa. Tapi kalau kamu bersedia... aku ingin kamu bantu aku untuk membalas dendam."

Kemala mengerutkan dahi. "Balas dendam?"

"Iya," ujar Tama mantap. "Tidak memberikan Erina hak wali dari warisan yang kamu miliki sama sekali itu belum tentu membuat dia kapok. Tapi Om ingin dia tahu rasanya dihianati. Aku ingin melihat wajahnya saat tahu bahwa aku dan kamu... bersama."

Kemala menggigit bibir bawahnya. Hatinya campur aduk.

"Aku tahu kamu pasti kaget. Maaf kalau aku lancang, Mala. Tapi jujur saja... aku selalu merasa ada desir aneh setiap kali dekat sama kamu. Mungkin karena kamu sudah dewasa, dan aku... aku pria normal. Tapi sekali lagi, aku nggak akan memaksa. Kalau kamu nggak nyaman atau nggak mau membantu, nggak apa-apa."

Kemala terdiam lama. Kata-kata itu berputar-putar di dalam kepalanya. Ia menunduk, memainkan ujung kausnya, lalu mengangkat kepala dan menatap mata Tama.

"Aku bukannya nggak mau bantu, Om..." katanya pelan. "Tapi aku masih bingung dengan perasaanku. Aku juga ngerasa ada yang aneh setiap hari deket sama Om. Aku sering menghindar karena... aku nggak mau perasaanku yang aneh ini bertambah besar. Dan pada akhirnya aku bakal disebut pelakor."

Suaranya lirih, nyaris patah.

"Aku juga nggak nyangka Om akan bilang ini. Tapi aku juga nggak mau hubungan kita jadi terlalu serius... atau justru jadi permainan."

Tama tersenyum kecil, penuh pengertian. "Gimana kalau kita coba dulu? Nggak perlu terlalu jauh, kita jalin hubungan pendekatan, sambil lihat gimana ke depannya. Anggap saja... ini juga bagian dari cara kita balas dendam. Bukankah kamu juga kecewa dan sakit hati karena ternyata tantemu berniat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tuamu?"

Kemala terdiam. Jantungnya berdebar kencang, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa lega sekaligus senang. Ia menatap Tama dengan sorot dalam, lalu perlahan

mengangguk.

"Oke," katanya akhirnya. "Kita coba."

Tama mengulurkan tangannya, seperti menawarkan kesepakatan yang tak biasa. Kemala tersenyum kecil, lalu menyambut uluran tangan itu. Namun tanpa diduga, Tama langsung mendekatkan wajahnya, menempelkan bibirnya pada gadis itu. Dan kali ini, kecupan itu tanpa ragu-ragu. Seolah menegaskan kepemilikannya.

Kemala memejamkan mata, merasakan setiap sentuhan lembut bibir pria itu.

Setelah ciu-man itu, ruangan terasa sunyi. Bukan karena televisi dimatikan, tapi karena hati mereka tak lagi bisa fokus pada hal lain. Kemala duduk dengan tangan

Bertaut di atas pangkuannya, sesekali melirik ke arah Tama yang juga tak banyak bicara sejak tadi.

Tama berdiri, menatap keluar jendela ruang tengah, mencoba meredam segala yang menggelegak di dadanya.

Kemala berdiri pelan, menghampirinya dengan langkah sedikit tertatih.

"Om...," ucapnya hati-hati.

Tama menoleh. Kemudian tersenyum. Tangannya terulur, kemudian tanpa ragu melingkar di pinggang gadis itu.

"Kamu gak nyesel?" tanya Tama perlahan.

Kemala menggeleng. "Enggak. Tapi aku takut... kita makin masuk terlalu dalam. Dan nanti kita sama-sama sakit. Bagaimana jika nanti pada akhirnya, hubungan kalian bisa diperbaiki? Bukan kamu nanti aku yang akan dicampakkan?" tanya gadis itu.

Tama menarik napas dalam-dalam. "Kamu tahu nggak, Mala? Selama ini aku hidup dalam topeng. Menjadi suami yang setia, pria yang bertanggung jawab. Tapi ternyata... aku hanya sedang mempertahankan sesuatu yang palsu. Jadi, apa menurutmu aku akan memaafkannya begitu saja? Keputusanku sudah bulat, aku akan menceraikannya setelah misi balas dendam kita selesai."

Kemala menunduk, lalu menjawab pelan, "Aku gak nyangka Tante Erina sejahat itu ingin memanfaatkanku setelah ibu dan bapak tiada. Dan Tante Erina mempermainkan Om seperti ini, aku gak bisa diam aja. Aku tahu ini salah, tapi aku juga ngerasa... ini adil."

Tama memandangi wajah gadis itu. "Kamu berbeda, Mala. Kamu punya hati. Tapi juga keberanian. Dan jujur aja, aku kagum."

Kemala menunduk, pipinya merona. "Om jangan muji-muji, nanti aku beneran jatuh cinta."

Tama tertawa kecil. Gadis ini polos, lucu tapi juga memiliki keberanian yang kuat.

"Jalan-jalan, yuk!"

"Memangnya kakinya nggak sakit?" tanya Tama cemas.

Kemala menggelengkan kepalanya. "Nggak. Kan ada, Om," godanya lagi yang membuat Tama semakin gemas.

"Kamu benar-benar nakal ya! Baiklah, kita nonton aja ya, biar gak jalan-jalan dan bikin kaki kamu sakit."

Kemala langsung hormat. "Oke siap, Jendral!"

Tama tersenyum, memperhatikan gadis itu dari belakang, menyadari betapa banyak hal yang berubah dalam hitungan hari. Kemala bukan lagi sekadar 'keponakan istri'. Ia adalah seseorang yang kini mendominasi pikirannya.

Dan hubungan pendekatan ini, akan menjadi awal dari titik kisah baru mereka yang sama-sama terluka. Kemala yang hatinya rapuh karena ditinggal oleh kedua orang tuanya dalam kecelakaan tragis 2 bulan yang lalu,

sementara Tama yang juga patah hati karena pengkhianatan istrinya.

Langit sore itu mendung menggantung. Seolah ikut menyimpan rahasia yang tak ingin diketahui siapa pun. Namun bagi Tama dan Kemala, langit itu seperti latar sempurna untuk sebuah pelarian kecil dari kenyataan yang memenjarakan.

Keduanya kini berada di mall, Tama menggenggam tangan Kemala tanpa ragu. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih. Keduanya menaiki lift, menuju lantai atas untuk menonton di bioskop dalam mall itu.

"Om yakin mau nonton film ini?" tanya Kemala sambil memeluk tas kecil di dadanya, matanya membulat melihat poster film horor di depan bioskop.

"Yakin dong. Kamu kan bilang mau yang seru," sahut Tama, menggoda.

"Aku bilang 'seru', bukan 'serem', Om!"

Tama tertawa pelan. Ia menarik tangan Kemala, menuntunnya masuk ke antrean. Sentuhan tangan mereka masih terasa canggung, tapi hangat. Sehangat perasaan yang mulai tumbuh diam-diam, meski dibungkus dengan dalih balas dendam.

Mereka memilih kursi paling pojok di studio. Ruangan gelap itu hanya diterangi cahaya dari layar yang menampilkan iklan dan trailer film. Kemala duduk di

Samping Tama, tubuhnya sedikit menegang. Paha nya masih sedikit perih jika tersentuh atau terkena gesekan kain. Ini pertama kalinya dia memakai rok pendek keluar rumah, supaya luka memerah itu tidak terkena gesekan.

Dan ini pula pertama kalinya ia duduk begitu dekat dengan seorang pria, bahkan ini pertama kalinya Kemala pergi ke bioskop dengan laki-laki. Bahkan saat tinggal di kampung, Kemala jarang sekali nonton di bioskop. Hanya sesekali saja bersama teman-temannya ketika jalan ke mall. Itu pun harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk menuju mall di kota.

"Deg-degan?" bisik Tama.

"Banget," jawab Kemala lirih, tak berani menoleh.

"Bukan karena filmnya... tapi karena Om," ucap Kemala menggoda.

Tama meliriknya tajam, tapi lembut. "Kamu terus sana memancingku, Mala," ucapnya seraya terkekeh gemas.

Lampu studio perlahan padam, menandakan film dimulai. Detik itu pula suasana menjadi sunyi. Kemala menggigit bibirnya, mencoba fokus ke layar. Film horor yang mereka tonton segera memperlihatkan atmosfer mencekam - rumah tua, anak kecil, dan bisikan-bisikan misterius yang menelusup sampai ke tulang.

Dan ketika satu jumpscare tiba-tiba muncul, BRAK!

"ΑΑΑΚΚΗΗ!!" Kemala spontan menjerit, tubuhnya melompat dan refleks menyandarkan kepala ke bahu

Tama.

Tama langsung memeluknya, satu lengannya melingkari bahu Kemala, tangan satunya mengelus rambut gadis itu dengan lembut.

"Tenang... Om di sini. Gak apa-apa..." bisiknya menenangkan, suaranya begitu rendah dan penuh perlindungan.

Kemala memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam pelukan itu. Entah karena takut atau karena nyaman, tubuhnya tidak ingin menjauh. Dadanya berdebar kencang, bukan karena film, tapi karena kehadiran pria itu. Pria yang usianya jauh di atasnya, namun justru memberikan rasa aman yang tak pernah ia rasakan pada siapapun.

Beberapa menit kemudian, ketika suasana di layar kembali tenang, Kemala melonggarkan pelukan dan menoleh pelan ke arah Tama. Dalam gelap, hanya cahaya dari layar yang menyorot sebagian wajah mereka. Tapi itu cukup untuk memperlihatkan mata Tama yang menatapnya dalam-dalam.

"Om..." gumam Kemala pelan.

Dan tanpa aba-aba, Tama memiringkan wajahnya, mendekat. Bibir mereka bertemu lagi - bukan dalam rasa bersalah atau sekadar pelampiasan. Tapi dalam perasaan yang makin lama makin sulit mereka ingkari. Kecupan itu terasa lebih dalam, lebih dalam dari sebelumnya. Seolah keduanya saling mencurahkan luka dan harapan dalam satu tarikan napas yang sama.

Saat bibir mereka berpisah, Kemala menarik napas cepat. Matanya masih terpejam, dan wajahnya merona meskipun hanya diterangi cahaya redup layar bioskop.

"Om... kita nggak boleh terlalu jauh," bisiknya.

Tama mengangguk. "Aku tahu. Tapi kita juga gak bisa terus berpura-pura seolah gak ada apa-apa di antara kita.

Kamu lupa, sekarang kita pacaran?"

Kemala tersenyum malu-malu. "Ya, tapi backstreet."

"Mau gak backstreet? aku sih oke aja. Asal kamu sudah siap melihat ke bar-baran tantemu nanti. Bayangkan saja bagaimana wajahnya, dia pasti ngamuk seperti orang kesurupan," bisik Tama yang membuat gadis itu menahan tawa.

Kemala bersandar kembali, kali ini tetap dalam dekapan Tama. "Om... kenapa semua ini bisa terjadi, ya? Dulu aku pikir hidupku sudah berakhir waktu orang tuaku meninggal. Tapi sekarang... aku malah berada di dunia yang sama sekali berbeda. Dipeluk oleh pria yang awalnya aku panggil Om..."

Tama tersenyum tipis. "Mungkin karena Tuhan tahu, dua orang yang hancur bisa saling memperbaiki... dengan cara yang tidak biasa."

Film terus berputar, namun keduanya hanya sesekali melirik ke layar. Hati mereka terlalu sibuk menafsirkan rasa yang mulai tumbuh, terlalu asyik dalam dunia mereka sendiri. Dunia di mana luka tak lagi hanya menjadi beban, tapi juga jembatan.

Ketika film selesai dan lampu studio menyala, Kemala enggan bangkit dari kursinya. Ia merasa... terlalu nyaman.

"Ayo," ajak Tama sambil membantunya berdiri, tangannya tetap menggenggam tangan Kemala dengan erat.

Dalam perjalanan keluar dari studio, mereka berjalan berdampingan. Tak ada kata-kata, tapi setiap langkah terasa selaras. Di luar, malam sudah turun sepenuhnya. Angin berembus lembut, dan lampu-lampu jalan menyinari jalan pulang mereka.

Di dalam mobil, Kemala bersandar di jendela. "Om... kalau nanti semuanya selesai... kalau Tante Erina sudah tahu rasanya dibohongi dan kita berhasil balas dendam, hubungan kita bakal gimana?"

Tama melirik sekilas, kemudian menggenggam tangan gadis itu yang ada di pangkuannya. "Om ini pria dewasa. Aku siap berkomitmen dengan wanita yang serius. Setelah semua ini selesai, aku akan berjuang membesarkan usahaku. Aku gak mau kalau nanti dibilang memanfaatkanmu, Mala."

Mala tersenyum. Bangga dan terharu. Selain dewasa, perhatian, Tama juga sangat bertanggung jawab. Bagaimana bisa ia tidak jatuh cinta pada Om tampan ini?

Dan malam itu, di antara keheningan jalan raya dan gemuruh takdir yang belum selesai, mereka tahu

Hubungan ini bukan lagi hanya tentang balas dendam. Ini tentang dua jiwa yang terluka, yang saling menemukan tempat pulang.

Erina mungkin sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya, tapi Tama dan Kemala juga tahu caranya bersenang-senang dengan cara mereka.

Selingkuh dibayar selingkuh. Inpas bukan?

***

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!