NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Udara di lereng Gunung Rinjani tipis, dingin, dan basah. Setiap tarikan napas terasa menyakitkan di paru-paru Sasha. Kaki telanjangnya yang berlumuran lumpur kesulitan menemukan pijakan di tanah yang curam. Mereka telah mendaki selama lebih dari satu jam, mengandalkan naluri Zega dan bayangan rimbun hutan hujan yang semakin tebal seiring ketinggian.

Suara deru helikopter Express Teknologi telah mereda, menghilang, seolah-olah ditelan oleh kabut yang mulai menyelimuti punggung bukit. Namun, keheningan itu justru lebih mencekam, karena itu berarti pengejar telah berhenti mengejar secara acak dan kini mungkin sedang mengorganisir pengejaran darat yang lebih terstruktur.

“Kita tidak bisa berhenti,” bisik Zega, menoleh ke belakang untuk melihat Sasha. Ia membawa ransel yang berat dan bergerak dengan kegesitan yang mengejutkan, meski napasnya juga tersengal-sengal. “Pohon-pohon ini hanya memberi perlindungan visual. Mereka bisa melacak sinyal kita—jika kita memilikinya.”

Sasha mengangguk, lidahnya terasa kering dan kaku. “Laptop Bara. Itu yang mereka inginkan. Kita harus membuatnya benar-benar offline.”

“Sudah. Aku mencabut baterai dan membuang ponsel kita jauh di belakang. Tapi mereka akan tahu ke mana arah kita. Siapa pun yang menyewa tim itu tidak bodoh. Mereka tahu titik pelarian di pulau ini.”

Mereka mencapai punggung bukit yang dipenuhi semak berduri. Zega memimpin, menggunakan pisau lipat untuk membersihkan jalan. Tiba-tiba, Sasha terpeleset. Ia menjerit tertahan saat tubuhnya meluncur ke bawah. Sebelum ia sempat jatuh jauh, tangan kuat Zega menjulur, mencengkeram pergelangan tangannya.

“Jangan lepaskan aku!” perintah Zega, otot-otot lengannya menegang saat ia menarik Sasha ke atas. Kejatuhan itu membuat ransel berisi laptop Bara terlepas dari genggaman Sasha.

“Laptopnya!” Sasha panik, menunjuk ke bawah lereng yang gelap.

Zega menatap lereng itu, lalu menatap mata Sasha yang ketakutan. “Lupakan itu, Sasha. Itu bisa diambil lagi nanti. Prioritas kita adalah hidup.”

“Tidak!” Sasha melepaskan diri dari pegangan Zega, rasa takutnya digantikan oleh tekad yang keras kepala. “Bara mati demi ini, Zega. Ini bukti kita. Aku tidak akan membiarkannya jatuh ke tangan Hadi.”

Melihat ketegasan di mata Sasha, Zega mendesah. Ia tahu perdebatan itu sia-sia. Sasha, CEO yang baru saja menemukan fakta mengerikan tentang tunangannya, kini memegang bukti itu sebagai satu-satunya bentuk pertanggungjawaban. Zega menghela napas, mengangguk, lalu dengan cepat merangkak turun. Beberapa detik kemudian, ia kembali dengan ransel yang basah kuyup.

“Kau harus lebih hati-hati,” kata Zega, suaranya mengandung nada teguran dan kekhawatiran. “Kita bukan lagi di kantor yang ber-AC. Ini nyata.”

“Aku tahu,” balas Sasha, mengambil ransel itu dan memeluknya. “Maaf. Aku hanya… tidak percaya kita sudah sampai sejauh ini.”

Zega menatapnya lama, tatapan yang dalam dan menilai, sebelum ia melanjutkan pendakian. “Kau lebih kuat dari yang kau kira, CEO. Sekarang, terus ikuti aku. Kita akan sampai di tempat aman. Aku tahu jalur lama para pencari kayu di sini.”

Mereka melanjutkan perjalanan selama setengah jam lagi. Hutan di sekitar mereka berubah. Pohon-pohon besar dan kuno menjulang tinggi, dan udara semakin dingin. Akhirnya, Zega berhenti di depan formasi batu besar yang ditutupi lumut tebal.

“Kita bisa istirahat di sini,” katanya, suaranya serak. “Ada ceruk di balik batu itu. Cukup untuk kita berdua dan laptop itu.”

Mereka merangkak masuk ke dalam ceruk sempit. Tempat itu kering, terlindung dari angin. Di luar, kabut tebal Rinjani sudah turun sepenuhnya, menciptakan selimut putih yang mematikan pandangan sejauh beberapa meter. Mereka telah menjadi hantu, persis seperti yang Zega rencanakan.

Sasha menyandarkan punggungnya ke batu, tubuhnya sakit di setiap persendian. Ia menatap Zega, yang sedang mengeluarkan botol air usang dari tasnya.

“Bagaimana kau tahu tempat ini?” tanya Sasha, menerima botol air itu dan meminumnya dengan rakus.

Zega memalingkan muka, mengamati kabut. “Aku sering ke sini. Saat aku masih di Mataram. Mencari kedamaian. Atau menghindari masalah. Dulu aku sering mendaki tanpa alasan yang jelas.”

Sasha tersenyum kecil. “Anti-korporasi sejati. Melarikan diri ke gunung saat dunia digital terlalu sesak.”

“Ya,” jawab Zega, nada suaranya berubah muram. “Ironisnya, aku kembali ke sini, tapi kali ini untuk menyelamatkan korporasi yang aku benci.”

“Bukan korporasinya,” kata Sasha lembut. “Kau menyelamatkan prinsip. Dan kebenaran.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya diselingi suara angin yang mendesis di antara pepohonan. Sasha mengeluarkan laptop Bara. Cahaya redup dari layar itu menerangi wajah mereka yang kotor.

“Kita harus membicarakan ini,” kata Sasha, menunjuk layar di mana video pengakuan Paman Hadi baru saja berakhir. “Bara… dia berbohong padaku. Dia bilang modal awal kami datang dari investasi malaikat yang etis. Dia bilang dia menjual saham, bukan data.”

Zega mengambil napas dalam-dalam. “Sasha, semua startup besar punya rahasia kotor di awal. Mereka menyebutnya ‘menghalalkan segala cara’ untuk bertahan hidup. Bara mungkin melakukan itu karena dia terdesak, dan dia menanggung beban itu sendirian. Itu tidak membenarkan perbuatannya, tapi itu menjelaskan mengapa dia sangat melindungi kode etik perusahaan setelahnya.”

“Kode etik yang dia langgar untuk mendapatkan dana awal,” Sasha berbisik, matanya berkaca-kaca. Rasa kecewa yang mendalam mulai menggantikan kesedihan. “Aku merasa seperti tidak pernah benar-benar mengenalnya.”

“Dia adalah manusia, Sasha. Manusia yang membuat kesalahan fatal. Tapi ingat apa yang dia lakukan di akhir: dia menolak menjual DigiRaya kepada Express Teknologi dan menolak untuk mengulang kejahatannya. Dia merekam video itu karena dia tahu Hadi akan mencoba mengambil alih. Dia tahu dia mungkin akan mati.” Zega mencondongkan tubuh, tatapannya tulus. “Pesan itu bukan untuk menipu, itu adalah pengakuan dosa terakhirnya, diarahkan kepadamu, agar kau tahu kebenaran dan bisa melawannya.”

Sasha mengusap air mata. Zega benar. Video itu adalah pengakuan, bukan penghinaan. Itu adalah warisan yang pahit.

“Oke,” kata Sasha, menguatkan dirinya. “Hadi mengatakan Bara menolak untuk ‘membersihkan’ jejak data ilegal. Apa maksudnya? Apakah data itu masih ada?”

“Mungkin. Dan itulah yang dicari Express Teknologi. Jika mereka bisa mendapatkan data itu, mereka bisa menguasai pasar regional dan memeras pemerintah kita dengan ancaman kebocoran data massal. Mereka tidak hanya menginginkan perusahaan, mereka ingin kekuasaan absolut.” Zega mengambil alih laptop. “Mari kita lihat berkas-berkas lain di folder AKSES_TERLARANG_UNTUK_HADI.”

Zega mulai menelusuri ratusan surel terenkripsi. Sebagian besar adalah komunikasi yang membuktikan suap Hadi kepada pejabat pemerintah untuk memuluskan audit terhadap Sasha, namun ada satu berkas yang menarik perhatian Zega. Itu bukan dokumen, melainkan sebuah script kode yang panjang, ditandai dengan tanggal tiga hari sebelum kematian Bara.

“Ini bukan berkas biasa,” gumam Zega, matanya bergerak cepat melintasi baris-baris kode. “Ini adalah script penahanan data. Bara menciptakan sistem keamanan ganda yang tersembunyi jauh di dalam inti server DigiRaya. Jika seseorang mencoba mengakses data ilegal lama itu—data yang dijualnya di masa lalu—sistem ini akan mengunci akses dan mengirimkan peringatan ke lokasi yang spesifik.”

“Peringatan ke mana?” tanya Sasha, bersemangat.

“Ke lokasi ini,” Zega menunjuk sebuah alamat IP yang sangat spesifik, tersembunyi di dalam kode itu. “Ini bukan IP kantor atau rumah. Ini adalah alamat IP yang sangat terpencil. Sepertinya… server off-grid. Server yang tidak terhubung ke jaringan umum.”

Sasha mengerutkan kening. “Apakah Bara punya server rahasia?”

“Semua founder paranoid punya, Sasha. Ini adalah ‘tombol kematian’ digitalnya. Dia menciptakan script ini untuk memastikan bahwa jika dia mati atau dikhianati, Hadi dan Express Teknologi tidak akan pernah bisa mengakses data itu tanpa memicu alarm.” Zega menelusuri lebih lanjut. “Dan alarm itu terhubung ke satu hal, sebuah berkas terakhir yang dinamai FINAL_CODE.txt.”

Sasha merasa merinding. “Final Code. Itu yang kau sebutkan di sinopsis. Apa isinya?”

“Itu belum aktif,” kata Zega. “Itu adalah kode pemicu yang dirancang untuk dieksekusi setelah alarm dipicu, tapi tidak hanya itu. Di dalam berkas ini, ada satu baris instruksi yang sangat pribadi. Ini bukan untuk Paman Hadi atau Express Teknologi. Ini ditujukan padamu, Sasha.”

Zega membuka berkas FINAL_CODE.txt. Selain barisan kode yang rumit, ada sebuah pesan singkat di bagian paling bawah, dienkripsi dengan sandi yang sama dengan laptop.

Zega mengetik sandi itu lagi: 12032018TheArchiveKepercayaan

Pesan itu terbuka, hanya terdiri dari dua kalimat:

“Sasha, aku mencintaimu. Gunakan Kode Warisan untuk membebaskan jiwa DigiRaya. Itu ada di tempat kita berjanji untuk tidak pernah kembali.”

Sasha menahan napas. “Kode Warisan? Tempat kita berjanji untuk tidak pernah kembali?”

Zega memandang Sasha, matanya yang lelah namun cerdas menyiratkan kegelisahan. “Ini terlalu kabur. Ini bisa berarti apa saja. Apa tempat yang kau dan Bara janjikan untuk tidak pernah kembali?”

Sasha menggelengkan kepalanya, mencoba mencari petunjuk. Mereka berjanji untuk tidak kembali ke banyak hal—kemiskinan, kebiasaan buruk, kesepian.

Tiba-tiba, mata Sasha melebar, kengerian perlahan menjalar di wajahnya. “Aku tahu. Aku tahu persis di mana itu.”

“Di mana?” desak Zega.

“Bara dan aku memulai DigiRaya dari sebuah apartemen studio kumuh di Jakarta Utara. Kami berjanji, begitu kami sukses, kami tidak akan pernah kembali ke sana. Tempat itu penuh kenangan buruk tentang kegagalan dan janji kosong. Kami bahkan tidak menyimpan kunci cadangan.” Sasha menelan ludah. “Jika ‘Kode Warisan’ ada di sana, itu berarti kami harus kembali ke Jakarta.”

Zega melihat ke luar, ke arah kabut yang kini semakin pekat dan mematikan. Mereka berada di puncak perlindungan, ratusan kilometer dari ibu kota, dan tim pembunuh Express Teknologi mungkin masih berpatroli di kaki gunung.

“Kembali ke Jakarta? Itu bunuh diri,” Zega mendesis. “Mereka menguasai seluruh kota. Kita buronan nasional.”

“Tapi kita tidak punya pilihan. Jika ‘Kode Warisan’ itu adalah kunci untuk mengakses server rahasia atau melumpuhkan Hadi secara permanen, kita harus mengambilnya. Kita tidak bisa hanya bersembunyi di sini, Zega. Kita punya bukti kejahatan yang lebih besar daripada sekadar pembunuhan Bara.” Sasha meraih tangan Zega, tekadnya membara. “Kita harus menghadapi mereka, di markas mereka sendiri.”

Zega merenung. Perjalanan kembali ke Jakarta akan menjadi pelarian paling berbahaya dalam hidup mereka. Mereka harus menyeberangi pulau, menghindari pelabuhan, dan menyelinap melalui pengepungan ketat di Jawa.

Saat Zega membuka mulut untuk merespons, suara statis tajam memecah keheningan di dalam ceruk. Zega langsung meraih laptop Bara. Sinyal itu berasal dari skrip keamanan yang baru saja ia periksa—skrip yang Bara tanamkan untuk mendeteksi ancaman.

“Sinyal apa itu?” tanya Sasha.

“Peringatan,” kata Zega, wajahnya pucat. “Seseorang baru saja mencoba mengakses data ilegal yang disimpan di server inti DigiRaya. Mereka telah memicu skrip penahanan Bara.”

“Itu berarti Paman Hadi tahu kita punya laptop ini, dan dia sedang mencoba mendapatkan data itu dari jarak jauh!” seru Sasha.

“Bukan hanya itu,” Zega mengetik cepat, mematikan sinyal eksternal laptop. “Peringatan ini menunjukkan lokasi upaya akses itu. Bukan dari kantor pusat di Jakarta.”

Zega menunjuk koordinat yang muncul di layar, disertai dengan nama jaringan satelit asing. Koordinat itu menunjuk ke arah Tenggara, tepat di sebuah pulau kecil yang kini menjadi tuan rumah acara teknologi terbesar di Asia.

“Mereka tidak ada di Jakarta,” kata Zega, menatap Sasha dengan mata terbelalak. “Paman Hadi dan Express Teknologi ada di Bali. Mereka sedang menghadiri Konferensi Teknologi Global. Dan mereka berencana mengakses data itu di sana, tepat di bawah hidung pers internasional.”

Sasha terdiam. Bali. Konferensi. Tempat yang penuh dengan media, pesaing, dan potensi pengkhianatan terbesar.

“Kita tidak akan kembali ke Jakarta,” Sasha bergumam, pandangannya beralih dari koordinat itu ke wajah Zega. “Kita harus pergi ke Bali. Sekarang. Kita harus menghentikan mereka di panggung global, sebelum mereka berhasil mengakses data itu dan menjual jiwa DigiRaya selamanya.”

Zega mengangguk, mengencangkan ranselnya. “Kalau begitu, kita tidak akan menjadi hantu lagi. Kita akan menjadi tamu tak diundang yang paling mematikan di Konferensi Teknologi Global. Bagaimana cara kita meninggalkan Lombok tanpa diketahui siapa pun, Sasha?”

Sasha tersenyum, senyum pertama yang tulus sejak kematian Bara, meski itu adalah senyum seorang buronan yang putus asa. “Kita akan mencuri perahu, Zega. Kau mengurus rute digital. Aku akan mengurus rute air.”

Saat mereka bersiap untuk turun gunung, suara dengungan pelan, yang jauh lebih dekat dari helikopter sebelumnya, terdengar. Suara itu berasal dari bawah, dari jalan yang baru saja mereka tinggalkan. Zega menyadari dengan ngeri bahwa itu bukan suara mobil, melainkan drone pengintai militer. Mereka ditemukan.

“Mereka ada di kaki gunung,” desis Zega. “Mereka menyisir daerah itu. Kita tidak bisa turun.”

Sasha menunjuk ke atas, ke puncak Rinjani yang diselimuti kabut tebal dan badai yang mulai mendekat. “Kalau begitu, kita harus naik lebih tinggi, Zega. Sampai badai itu menyambut kita. Kita harus memenangkan waktu di tengah badai sebelum kita bisa melarikan diri ke Bali.”

Zega dan Sasha saling pandang. Di satu sisi, puncak berbahaya Rinjani. Di sisi lain, pembunuh dan teknologi pengintai yang canggih. Mereka memilih badai baru....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!