Arabella seorang anak perempuan yang menyimpan dendam terhadap sang Ayah, hal itu diawali sejak sang Ayah ketahuan selingkuh di tempat umum, Ara kecil berharap ayahnya akan memilih dirinya, namun ternyata sang ayah malah memilih wanita lain dan sempat memaki istrinya karena menjambak rambut selingkuhannya itu.
Kejadian pahit ini disaksikan langsung oleh anak berusia 8 tahun, sejak saat itu rasa sayang Ara terhadap ayahnya berubah menjadi dendam.
Mampukah Arabella membalaskan semua rasa sakit yang di derita oleh ibunya??
Nantikan kisah selanjutnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Setelah berbincang cukup lama Ara, kembali lagi ke kamar Naira, anak itu sudah terlihat lebih baikan dari pada kemarin, suaranya terdengar cukup jelas memanggil namanya, dan dari cahaya terselubung rasa rindu.
"Kak Ara, kenapa tadi malam tidak tungguin Nai," ucap anak itu.
Seketika Ara terkejut, ia tidak tahu harus menjelaskan seperti apa, hanya rasa bersalah lah yang saat ini bisa ia ungkapkan dihadapan anak kecil itu.
"Naira Sayang, maafkan Kak Ara ya, tadi malam ada tugas dari kampus, jadinya Kak Ara harus nginap di rumah teman," bohong Ara.
"Oh gitu ya, semoga tugas Kakak, cepat selesai, aku rindu sama Kakak," ungkap anak kecil itu.
Dari sini, entah kenapa anakan air mata Ara tiba-tiba menetes begitu saja, mana mungkin Ara bisa membenci Naira, meskipun anak itu terlahir dari rahim Ika, wanita jahat yang merenggut kebahagiaanya, sementara Naira harus hidup tersiksa di tangan Sita, seseorang yang menjadi orang tua angkat Naira.
'Sayang, Kak Ara tidak pernah membencimu, meskipun kau terlahir dari rahim wanita jahat itu,' ungkap Ara di dalam hati.
"Kak ...," panggil Naira.
"Iya Dek," sahut Ara.
"Kakak mau ke kampus lagi?" tanya anak itu.
"Iya, ini sambil antar Abang Arkan ke sekolah, Naira cepat sembuh ya, biar bisa bermain lagi sama Abang," jelas Ara.
Anak itu menunduk seperti menahan ketakutan. "Kak, kalau sudah sembuh, Ara gak mau sekolah lagi, takut di kejar-kejar sama Ibu lagi," ucapnya.
Semua orang yang berada di sini langsung terenyuh mendengar pengakuan dari Naira, yang mungkin mengalami ketakutan jika berangkat ke sekolah kembali.
"Untuk kali ini Tante Sena yang memastikan, kejadian itu tidak akan terulang lagi Nak," sahut Sena tiba-tiba.
Naira mengangguk, anak kecil itu perlahan meraih tangan Sena. "Makasih Tante, sudah baik sama Nai," ucap Anak itu.
"Iya Sayang," sahut Sena.
Semua orang yang ada di sini bisa melihat bagaimana tulusnya Sena terhadap anak yang di duga sedarah dengan kedua anaknya itu.
'Aku tidak tahu kau anak Mas Dirga dengan siapa Nak, tapi yang jelas Tante tidak bisa membencimu, nasibku dan kedua anak Tante sama," ungkap Sena, dalam hati.
☘️☘️☘️☘️
Setelah perbincangan panjang itu akhirnya Ara memutuskan untuk mengantar Arkan dulu ke sekolah dengan ikut menumpang di mobil Amel, beruntung hari ini dirinya tidak ada jadwal dengan Dirga.
Di dalam perjalanan, kedua anak Dirga itu hanya terdiam, namun tiba-tiba Arkan langsung nyeletuk tentang mobil yang saat ini tengah ia tumpangi. "Wiiih mobil Kak Amel kursinya empuk banget ya, suaranya terdengar halus tidak bising," puji anak itu.
Amel tersenyum kikuk, ada rasa canggung dan Iba, karena seharusnya anak lelaki itu yang menikmati fasilitas mewah dari ayahnya. "He iya Dek, semoga besar nanti kau bisa membeli mobil yang jauh lebih bagus dari ini ya," ujar Amel.
"Itu pasti," sahut Arkan dengan nada polosnya.
Sementara itu Ara hanya memandangi wajah sang adik dari sepion depan, ada rasa getir yang dibalut dengan senyuman masam. 'Ini mobil pemberian dari bapakmu Dek,' ungkapnya dalam hati.
Dan tanpa mereka sadari mobil Amel sudah berhenti di depan sekolah Arkan, anak itu mulai keluar, tapi sebelum itu ia sempatkan terlebih dahulu untuk bersalaman dengan kedua gadis yang duduk di jok depan itu.
☘️☘️☘️☘️
Sesampainya di kontrakan, dua gadis itu sedang menyelami pikirannya masing-masing, Ara dari tadi hanya diam sambil memikirkan dua akta yang membuat pergulatan hatinya semakin membara.
Sementara Amel, gadis itu sibuk di dapur membuat menu siang ini, suara wajan yang beradu dengan spatula terdengar begitu nyaring, aroma telur dadar dan juga tumis kangkung menyeruak memenuhi ruangan kecil ini.
Amel datang membawa dua piring beserta lauknya diatas nampan.
“Makan dulu. Kamu dari tadi cuma diem aja, Ra,” katanya pelan.
Ara menatap piring itu sebentar, lalu menghela napas panjang. “Mel… aku nggak bisa diem. Dua akta kelahiran itu nyata, dan salah satunya palsu. Aku cuma belum tahu siapa yang buat, dan kenapa harus sampai sejauh itu.”
Amel duduk di depannya, mencondongkan tubuh. “Kita harus tahu dari mana semuanya dimulai. Dari rumah sakit? Atau dari catatan sipil?”
Ara menggeleng pelan. “Aku udah mikir. Kalau langsung ke rumah sakit, pasti mereka nggak bakal kasih data, apalagi kalau Ika punya kenalan di sana. Kita mulai dari catatan sipil aja. Aku butuh tahu siapa yang tanda tanganin surat lahir itu. Kalau benar itu nama bidan yang udah pindah, berarti… ini manipulasi dari awal.”
Amel terdiam sejenak. “Berarti kita bakal nyusup ke sana?”
Ara menatapnya tajam tapi juga sedikit ragu. “Iya. Tapi pelan-pelan aja dulu. Aku mau pura-pura magang bantu data administrasi. Kamu bisa bantu aku buat surat keterangan magang palsu?”
Amel terkekeh kecil, “Kamu yakin? Ini bisa bahaya, Ra.”
“Aku tahu. Tapi kalau aku diem, nggak akan ada yang tahu siapa Naira sebenarnya.”
Keheningan turun di antara mereka. Suara motor tetangga yang lewat seakan jadi tanda kalau hari sudah berjalan, tapi waktu bagi Ara terasa beku. Ada rasa takut, ada juga perasaan sayang aneh yang terus menekan dadanya setiap kali ia ingat Naira, wajah kecil itu muncul di pikirannya dengan senyum lembut yang membuat semua amarahnya lenyap.
“Aku cuma takut,” ucap Ara lirih.
Amel menatapnya lembut. “Takut apa?”
“Aku takut kebenaran ini malah nyakitin Naira. Dia nggak salah, Mel. Tapi kalau aku terus diem… semuanya tetap salah.”
Amel mengangguk pelan. “Oke. Tapi aku tidak setuju dengan jalan yang kau ambil itu terlalu beresiko tinggi, jika kau nekad," ucap Amel.
Ara kemudian terdiam, memang apa yang diucap sahabatnya itu ada benarnya juga, tapi kaku ini otaknya benar-benar terkuras, dan tidak tahu harus memulai dengan cara apa lagi.
"Nah terus dengan cara apa kita memulainya, masak iya aku harus diam saja Mel," sahut Ara.
"Iya gak harus diam, masih ada cara lain," ungkap Amel.
Seketika ide muncul disaat Amel mulai menyendok makanannya itu ke dalam mulutnya. "Oh ya Ra, aku punya kenalan di Disdukcapil, ia bagian adminitrasi, semoga saja ini bisa membantu."
"Apa benar itu?" tanya Ara dengan keterkejutannya.
"Benar Ra, selama ini apa aku pernah bohong sama kamu," ujar Amel.
Ara menatap sahabatnya dengan mata yang berair, seolah tidak percaya akan diberi jalan secepat ini. Ia pun mengangguk mantap. “Iya. Kita mulai sekarang saja, kau hubungi dia, karena aku sudah tidak bisa berpura-pura lagi," sahut Ara dengan nada yang menggebu-gebu, bukan karena amarah namun penuh semangat baru untuk menguak kasus ini.
Bersambung ....
Pagi Kakak ... Semoga suka ya? Dan jangan lupa untuk selalu meninggalkan jejak.