Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan
Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.
Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.
“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.
Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Yang Pertama Selalu Gagal.
***
Setelah semua orang pergi dari ruang rawat, Lanang tidak dapat menahan rasa penasarannya lagi. Ia duduk tegak di atas tempat tidur, pandangannya tertuju pada dinding dekat pintu. Tangannya bergerak perlahan di udara, mirip orang yang sedang bermeditasi, tetapi matanya tetap terbuka.
Seorang suster yang lewat hanya dapat menggelengkan kepala heran. Baginya, anak baptis Dokter Elibrech itu memang sudah "unik" sejak dulu.
Yang tidak mereka ketahui, Adam (atau lebih tepatnya jiwa Lanang yang ada dalam tubuhnya) sedang melakukan meditasi darurat. Ia sengaja membiarkan matanya terbuka lebar agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Begitu tidak ada lagi orang di sekitar, matanya langsung terpejam.
Dunia di sekitarnya lenyap.
Sukma yang dikuasai Lanang meluncur menembus lapisan gelap, masuk ke dalam ruang tanpa batas yang disebut Alam Meditasi. Ia berharap dapat menghubungi Adam dari sana.
Udara di tempat itu terasa pekat dan dingin, bergetar oleh gema suara-suara samar. Seperti bisikan dari ribuan mulut tak terlihat yang terus berulang. Cahaya redup berkedip di kejauhan, menyerupai nyala lilin yang tertiup angin. Itulah inti dari Cakra Alam Meditasi milik Lanang, dan sangat mirip dengan alam koma yang ia datangi sebelumnya.
Di tempat itu, Lanang menyusuri lorong-lorong kabut, mencari sisa-sisa kesadaran Adam. Namun, lima belas menit terasa seperti lima jam. Tidak ada jawaban. Tidak ada tanda-tanda keberadaan jiwa Adam.
"Ke mana kau, wahai anak muda? Tadi sempat berteriak di telingaku, sekarang malah bersembunyi? Jangan bilang kau takut aku musnahkan?" serunya. Suaranya menggema di antara kabut dimensi meditasi.
Hening!
"Huh!" Lanang mendengus kesal sambil menunduk. "Apakah karena meditasiku kurang sempurna? Atau karena tempat ini penuh dengan aura gelap jiwa lain? Tetapi mau bagaimana lagi. Kalau terlalu lama, mereka bisa curiga."
Setelah menatap kegelapan sekali lagi, ia menarik napas dalam. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar dari alam meditasi tersebut.
Cahaya terang dari dunia nyata menerpa matanya, mengusir sisa-sisa kabut dan bayangan. Alam meditasinya pun runtuh, meninggalkan rasa jengkel yang mengendap di dadanya.
"Mungkin aku harus menggunakan barang-barang milik anak itu sebagai media penghubung. Siapa tahu dia mau muncul," gumamnya sambil meregangkan tubuh dan mengakhiri sesi meditasinya.
Tiba-tiba, pintu terbuka.
"Kau sedang apa?" tanya Bryan yang muncul dengan nada curiga.
"Menurutmu, aku sedang apa?" jawab Lanang dengan datar.
Bryan hanya mengangkat bahu. "Kau sedang yoga?" tanyanya tanpa yakin.
"Iya, betul. Terima kasih sudah mengingatkanku. Gerakan yoga itu ada di salah satu buku yang kau bawa." Ia melirik tumpukan buku di tepi ranjang.
Itu jelas hanya alasan untuk menutupi kemampuannya dalam bermeditasi yang telah dikuasainya selama tiga setengah abad.
"Sejak kapan kau tertarik yoga dan pilates? Dulu setiap kali kuajak ke klub yoga, kau selalu menolak," ucap Bryan sambil membolak-balik halaman buku yang sebelumnya ia sisipkan di antara buku-buku lain.
Jujur saja, ia tidak menyangka temannya akan memilih buku itu. Bukan kalkulus, bukan teori kejahatan, apalagi Mind Rich yang merupakan bacaan favorit Adam selama ini.
"Untuk mengusir rasa jenuh. Bukannya kau yang bilang begitu tadi?" jawab Lanang singkat.
"Ya, hidupmu memang terlalu membosankan. Isinya hanya kriminal, tangkap, dan ringkus. Seolah semua beban dunia untuk menangkap penjahat hanya ada di pundakmu sendiri," omel Bryan.
"Di mana baju yang kupakai tadi malam?" potong Lanang tiba-tiba, jelas tidak menyambung omongan Bryan.
"Hah? Buat apa kau mencari bajumu?" alis Bryan terangkat.
"Aku ingin memastikan sesuatu," jawab Lanang dengan terbata-bata seolah sedang merangkai alasan dadakan. "Sepertinya aku ingat membawa sesuatu di kantongnya."
Padahal, yang ia maksud adalah rencana menggunakan barang-barang Adam untuk melacak jejak entitas asli pemilik tubuh ini.
"Oh, itu? Sudah dibawa Dokter Elibrech ke laboratorium. Mereka ingin memeriksa serat dan kandungan zat di bajumu. Siapa tahu ada sisa residu dari tempat-tempat tempat kau disekap selama ini."
'Wah, sial!' Lanang mengumpat dalam hati.
"Di mana akuariumnya? Dan apa itu residu?" tanyanya dengan polos.
Bryan langsung memutar mata. "Laboratorium! Bukan akuarium. Akuarium itu tempat ikan di penjara."
"Memangnya buat apa kau menanyakan bajumu? Apa benda yang kau maksud itu penting? Tenang saja, kalau memang penting dan ada hubungannya dengan mereka, pasti diamankan. Fokuslah untuk sembuh dulu. Baru setelah itu kau bisa mengejar mereka lagi."
"Mereka" yang dimaksud Bryan di sini jelas para penculik Adam, orang-orang yang telah menyandera partnernya selama seminggu penuh dan baru berhasil digempur tadi malam dengan taruhan nyawa.
Tetapi Lanang tidak tahu apa pun tentang itu. Setidaknya begitulah menurut Bryan.
"Huh… barang-barang Adam tidak dapat, dan Gandarwa ini jelas tidak akan mau membawaku masuk ke… akuarium," keluh Lanang dalam hati sambil melempar tatapan tajam ke arah Brian.
"Sekarang aku harus bagaimana?" pikirnya lagi.
"Tidak mungkin aku hanya diam tanpa tahu alasan mengapa bisa terseret masuk ke tubuh ini. Di dunia ini tidak ada yang gratis. Jika aku hidup kembali, pasti ada sebab… dan ada harga yang harus dibayar. Benar, bukan?"
...
Setelah penantian panjang penuh kesabaran, akhirnya Lanang diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Tujuan pertamanya sudah pasti: pulang ke rumah Adam.
Ia tampak begitu antusias mendatangi tempat di mana barang-barang milik pemuda itu tersimpan. Begitu pintu terbuka, setelah di bantu satpam, ia langsung disambut pemandangan sebuah ruangan yang penuh dengan sketsa dan lukisan. Sebagian besar karya itu… cukup membuat bulu kuduknya berdiri. Rasanya seperti melangkah masuk ke galeri horor pribadi. Mengabaikan lukisan-lukisan itu, yang tidak memberikan kesan pribadi sama sekali untuknya.
“Raga muda ini memang membawa banyak keberuntungan. Luka cepat pulih… tidak seperti dulu, saat dilawan orang sekampung saja aku malah mati. Hmph.” Ia mendecih sambil menjatuhkan tubuh ke sofa besar.
Lanang menutup mata, mencoba bermeditasi. Barangkali jejak sukma Adam masih tertinggal di sofa ini. Namun, hasilnya nihil.
Ketika membuka mata, tatapannya langsung bertemu dengan sebuah lukisan di seberang sofa. Mata pada lukisan itu menatapnya tajam, seolah-olah menelusup hingga ke sumsum. Orang biasa mungkin sudah lari terbirit-birit jika dipandang begitu. Tapi bagi Lanang, benda mati tetaplah benda mati. Tidak ada aura, tidak ada entitas, hanya cat di atas kanvas.
“Sebetulnya sudah berapa lama bocah ini tidak pulang? Mengapa begitu sulit mencari benda yang pernah ia sentuh lama?” gumamnya sambil bangkit.
"Jancuk!" makinya lantang karena kecewa.
Ia berkeliling, menyentuh satu per satu benda di ruangan itu dengan harapan bisa menemukan sedikit saja jejak entitas Adam. Tetapi hasilnya tetap kosong.
“Di sini juga tidak ada?” Bahkan pada pegangan pintu depan, ia hanya merasakan jejak samar—nyaris tidak berguna. Wajar saja. Mana ada orang betah berlama-lama memegang pintu? Adam pasti hanya menyentuhnya sebentar ketika membuka atau menutupnya.
Padahal yang ia butuhkan adalah benda yang pernah digenggam Adam setidaknya selama tiga puluh menit, dan tidak lebih dari setengah purnama yang lalu... tepatnya empat belas hari.
***
seru dan menyeramkan.
tapi suka
semakin seru ceritanya