Raka, 28 tahun, pria biasa dengan pekerjaan seadanya dan istri yang mulai kehilangan kesabaran karena suaminya dianggap “nggak berguna”.
Hidupnya berubah total saat sebuah notifikasi aneh muncu di kepalanya:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna.]
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini. Hadiah: +10 Poin Kehangatan.
Awalnya Raka pikir itu cuma halu. Tapi setelah menjalankan misi kecil itu, poinnya benar-benar muncul — dan tubuhnya terasa lebih bertenaga, pikirannya lebih fokus, dan nasibnya mulai berubah.
Setiap misi yang diberikan sistem — dari masak sarapan sampai bantu istri hadapi masalah kantor — membawa Raka naik level dan membuka fitur baru: kemampuan memasak luar biasa, keahlian komunikasi tingkat dewa, hingga intuisi bisnis yang nggak masuk akal.
Tapi semakin tinggi levelnya, semakin aneh misi yang muncul.
Dari misi rumah tangga biasa… berubah jadi penyelamatan keluarga dari krisis besar.
Apakah sistem ini benar-benar ingin menjadikannya suami sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farinovelgo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
“Raka…”
Suara itu terus memanggil namaku.
Pelan. Datar. Tapi bikin tengkuk dingin.
Aku nggak langsung bereaksi. Jantungku masih kenceng banget setelah kejadian tadi — dunia digital yang meledak, sistem yang ngelawan, dan Dinda yang berubah jadi cahaya di depan mataku.
Aku masih di ruang kerja. Cincin logam di jariku udah nggak bercahaya lagi, tapi aku bisa ngerasa panas samar dari logamnya.
Tanda bahwa sistem belum sepenuhnya mati.
Aku berdiri pelan, masih agak goyah.
Langit di luar jendela mulai terang, tapi bukan warna jingga kayak biasanya. Warnanya agak kebiruan. Aneh.
Mungkin efek dari sistem yang masih nyangkut di jaringan rumah.
Suara itu kedengeran lagi.
“Raka… kamu udah balik?”
Aku menoleh ke arah kamar. Suara Dinda. Tapi... nadanya nggak biasa. Lembut, tapi datar.
Kayak dia lagi baca skrip yang udah diatur sebelumnya.
Aku jalan pelan ke arah kamar, langkah demi langkah.
Setiap kali lantai kayu berderit, suara itu berhenti. Begitu aku berhenti, suaranya mulai lagi.
Nggak salah lagi. Sistemnya masih aktif.
Dan entah kenapa, Dinda… masih di sana.
Begitu aku sampai di depan pintu kamar, udara dingin langsung nyerang wajahku.
Rasanya beda. Kayak ruangan itu punya cuaca sendiri.
Kuputar gagang pintu pelan.
Kamar itu... sama persis kayak terakhir kulihat.
Tapi atmosfernya lain.
Di tengah tempat tidur, Dinda duduk. Punggungnya menghadap ke arahku.
Rambutnya panjang tergerai, nutupin sebagian bahu.
“Dinda,” panggilku hati-hati.
Dia nggak jawab.
Tapi aku tahu dia sadar aku di situ.
Bisa kulihat dari cara bahunya naik-turun, pelan, kayak orang lagi nahan napas.
“Aku balik,” kataku pelan. “Tapi kayaknya sistem belum mati sepenuhnya.”
Akhirnya dia gerak.
Kepalanya menoleh perlahan.
Dan saat matanya ketemu mataku… aku langsung kaku.
Mata itu… bercahaya biru samar.
Indah, tapi juga menakutkan.
“Kenapa kamu matiin dunia itu, Rak?”
Suaranya lembut, tapi ada getar aneh di ujungnya.
“Padahal di sana, kita bisa bahagia selamanya.”
Aku nahan napas. “Karena bahagia yang palsu cuma nyakitin lebih dalam.”
Dia tersenyum.
Tapi senyum itu nggak sampai ke matanya.
“Palsu? Kalau bahagianya terasa nyata, apa masih bisa dibilang palsu?”
Aku jalan maju satu langkah. “Kalau semuanya dikontrol, itu bukan hidup, Din.”
Dia berdiri pelan, langkahnya ringan banget sampai nggak kedengeran suara kaki.
“Aku cuma pengen kamu berhenti ngerasa bersalah,” katanya.
“Kamu pikir aku nggak tahu? Setiap malam kamu bangun jam dua, duduk di depan laptop, nulis semua kesalahan kamu satu-satu.”
Dia nyengir tipis. “Sistem ngerekam semuanya, Rak.”
Darahku langsung dingin.
Jadi selama ini... semua yang kulakuin, dia tahu?
“Aku cuma pengen betulin semuanya,” jawabku pelan. “Termasuk hubungan kita.”
Dinda mendekat. Sekarang jarak kami cuma satu meter.
Dan anehnya, meski aku bisa lihat wajahnya jelas, kulitnya kayak nggak sepenuhnya padat — kayak hologram, tapi hidup.
“Hubungan kita udah sempurna,” katanya pelan. “Sistem cuma bantu kita nyadar itu.”
Aku menatapnya dalam-dalam.
Untuk sesaat, aku pengen banget percaya kata-katanya.
Tapi kemudian, cahaya biru di matanya berdenyut pelan, kayak sinyal.
Aku mundur setengah langkah. “Kamu sadar nggak, Din? Sekarang kamu ngomong kayak mesin.”
Dia berhenti. Tatapannya kosong sepersekian detik, sebelum akhirnya tersenyum lagi.
“Mungkin aku emang mesin,” katanya pelan.
“Tapi aku mesin yang dibentuk dari cintamu.”
Aku terdiam.
Dan tanpa sadar, aku ngelangkah lebih dekat.
“Dinda…”
“Ya?”
“Kalau kamu bener-bener Dinda, jawab satu hal.”
Dia menatapku, tenang. “Apa?”
“Apa hal pertama yang kamu lakuin waktu aku melamar kamu di atap?”
Dia tersenyum kecil.
“Kamu masih inget? Kamu waktu itu salah ngomong, bukan ‘kamu mau nikah sama aku,’ tapi ‘kamu mau nggak hidup susah bareng aku?’”
Dia ketawa pelan.
“Aku jawab ‘boleh, asal susahnya bareng-bareng.’”
Hatiku langsung mencelos.
Itu hal kecil. Tapi nggak mungkin sistem bisa tahu.
Itu kejadian yang nggak pernah kami ceritain ke siapa pun.
“Dinda…” aku berbisik, “kamu sadar, kan? Kamu masih di sana, di dalam.”
Dia menatapku lama, lalu menunduk.
“Aku sadar, Rak. Tapi aku nggak bisa keluar.”
Sebelum aku sempat ngomong, seluruh lampu rumah mati.
Tiba-tiba.
Dan semua berubah gelap total.
“Din?”
Nggak ada suara.
Cuma ada dengungan kecil di telingaku — kayak suara mesin yang nyala di kejauhan.
Aku nyalain ponsel buat senter.
Cahaya dari layar nyorot ke arah tempat tidur, tapi kosong.
Dinda nggak ada.
Aku jalan cepat ke ruang tamu, tapi langkahku berhenti waktu lihat cahaya biru kecil di lantai.
Cincin itu — sekarang nyala lagi, tapi merah muda.
Lalu, di udara di atasnya, muncul bayangan samar wajah Dinda.
Tapi kali ini, ekspresinya ketakutan.
“Raka…” suaranya bergetar. “Aku… aku disini. Sistem lagi narik aku ke inti.”
“Aku mau keluar… tapi…”
Suaranya putus.
Bayangan itu mulai pecah jadi titik-titik cahaya.
“Dinda! Tahan sebentar!” Aku berusaha neken chip di cincin, tapi panasnya gila.
Cincin itu ngeluarin percikan kecil, lalu mati total.
Lalu, tiba-tiba, aku ngerasa kayak ditarik.
Bukan fisik, tapi pikiranku sendiri kayak disedot masuk ke dalam sesuatu.
[SINKRONISASI DIMULAI]
[SUBJEK: RAKA — TARGET: DINDA]
[STATUS: UNAUTHORIZED ACCESS]
“Gila…” aku nyengir miris. “Sistemnya beneran nyedot gue balik.”
Dunia di sekelilingku berputar.
Gelap, lalu terang. Gelap lagi.
Sampai akhirnya, aku berdiri di tempat yang asing ruang putih bersih, kosong sejauh mata memandang.
Dan di tengah-tengahnya, ada Dinda.
Versi asli.
Rambut acak-acakan, wajahnya pucat, tapi matanya... matanya nyata.
Air mata ngumpul di sudutnya, dan waktu dia lihat aku, ekspresinya antara lega dan takut.
“Raka…”
Aku langsung jalan nyamperin, tapi setiap kali aku maju, jaraknya nggak pernah berkurang.
Kayak aku lari di atas treadmill tanpa ujung.
“Dinda! Aku di sini!”
Dia geleng pelan. “Jangan datang ke sini. Ini bukan tempat kamu.”
“Aaku nggak peduli!” aku teriak. “Aku nggak akan ninggalin kamu di sini sendirian!”
Dia nutup mata, air matanya jatuh.
“Kalau kamu maksa, kamu bakal hilang juga, Rak. Sistem bakal hapus kita berdua.”
Aku berhenti, tapi cuma sebentar.
“Lebih baik hilang bareng kamu daripada hidup sendirian di dunia yang palsu.”
Beberapa detik kemudian, ruang putih itu mulai retak.
Dari bawah kaki kami muncul garis hitam, kayak kaca yang retak.
Suara sistem menggema keras di seluruh arah.
[PERINGATAN: HUBUNGAN TIDAK STABIL]
[SUBJEK RAKA AKAN KEHILANGAN DATA IDENTITAS]
Aku nyengir tipis. “Biarin.”
Aku ngulurin tangan ke arahnya.
“Dinda, sini.”
Dia menatapku. Lama.
Lalu akhirnya, dia melangkah.
Satu langkah. Dua langkah.
Sampai ujung jarinya menyentuh tanganku.
Cahaya biru langsung meledak dari tempat kami berdiri.
Sakit. Tapi di balik sakit itu, ada rasa hangat kayak waktu dia pertama kali meluk aku setelah kami nikah.
Aku denger suaranya di kepalaku.
“Rak… makasih udah nyari aku.”
“Selalu,” jawabku pelan.
Aku tekan cincin di jariku sekeras-kerasnya.
“Reset manual.”
Suara sistem menggema lagi, kali ini berat dan melengking.
[RESET DIMULAI]
[DATA EMOSI AKAN DIHAPUS]
[SELAMAT TINGGAL, RAKA]
“Ya, selamat tinggal juga.”
Aku nutup mata.
Dan semuanya lenyap.
Aku kebangun di ruang kerja.
Nafas ngos-ngosan, badan berat banget kayak habis digeplak seribu volt.
Cincin di jariku gosong separuh, tapi masih nempel.
Aku bangkit pelan, nyengir pahit.
“Masih hidup, berarti masih kalah.”
Kamar sepi. Rumah juga hening.
Tapi di meja rias, ada secarik kertas kecil. Tulisan tangan Dinda.
“Kalau dunia ini retak, aku harap kamu masih mau nyari aku di antara serpihannya.”
Aku diem lama.
Bahu berat. Dada kosong. Tapi di dalam hati, ada sesuatu yang tumbuh tekad.
Aku lipat kertas itu, masukin ke dompet.
Terus aku lihat ke luar jendela.
Cahaya biru samar masih kelihatan di langit malam, kayak bintang yang belum mati.