NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:511
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19 Dalam Pelarian Yang Tak Aman

Ruangan di bawah dek itu terasa seperti penjara yang bergetar, berbau kombinasi minyak diesel, ikan kering, dan garam laut yang pekat. Perahu nelayan itu membelah Selat Jawa menuju Lombok, dan setiap gerakan mesin seakan mengikis saraf Sasha. Ia duduk bersila di atas tumpukan jaring yang keras, ransel Zega menjadi bantal yang tidak nyaman. Zega duduk di seberangnya, matanya terpaku pada radio satelit mini yang terus memindai frekuensi.

“Kau yakin Kapten Guntur tidak akan mengkhianati kita?” Sasha berbisik, harus bersaing dengan raungan mesin.

Zega bahkan tidak menoleh. “Kapten Guntur tidak peduli siapa kita, selama dia mendapat koin digital yang cukup untuk memperbaiki mesinnya. Dia anti-pemerintah, anti-korporasi. Dia adalah tipe orang yang kita butuhkan sekarang—orang yang tidak terikat oleh hukum atau kesetiaan pada DigiRaya.”

“Sama sepertimu,” balas Sasha pelan.

Zega akhirnya menatapnya, sudut bibirnya sedikit terangkat. “Aku adalah orang yang kau bayar, Maya. Ingat itu.”

“Aku membayar Zega si ahli keamanan. Aku belum membayar Zega si buronan global yang menciumku di tengah pabrik gula.”

Keheningan sesaat melayang, meskipun ruangan itu penuh suara mesin. Jantung Sasha berdebar. Zega membiarkan ketegangan itu membeku, sebelum ia menghela napas, ekspresinya kembali dingin.

“Pembayaran itu belum jatuh tempo,” katanya, kembali fokus pada layar kecil di tangannya. “Mereka mengerahkan aset udara. Aku mendeteksi pola gelombang yang sangat spesifik, sinyal militer yang dimodifikasi. Hanya Express Teknologi yang punya uang untuk menyewa aset seperti itu di wilayah ini.”

Sasha merangkak mendekat, lututnya menyentuh paha Zega. Kehangatan yang ia rasakan bukanlah dari mesin, melainkan dari kulit Zega yang berjarak hanya beberapa sentimeter. “Apa yang mereka cari?”

“Apa pun yang tidak terlihat seperti perahu nelayan. Tapi mereka akan melakukan sapuan luas. Mereka tahu kita menuju Bali, tapi mereka berasumsi kita menggunakan kapal pesiar atau penerbangan swasta, bukan kapal penangkap ikan dengan bau amis.” Zega mencondongkan tubuhnya, berbisik lebih dekat. “Katakan padaku lagi, detail tentang konferensi itu. Apa inti presentasi yang harus kau berikan?”

“Konferensi Teknologi Global di Bali adalah acara terbesar Asia Tenggara. Aku seharusnya memperkenalkan ‘Project Integrity’—perombakan total sistem privasi DigiRaya, menjadikannya standar emas baru. Bara dan aku percaya, setelah skandal kebocoran data global, privasi adalah mata uang masa depan.”

“Dan Paman Hadi tidak menyukai itu.”

“Hadi tidak menyukai apa pun yang tidak menghasilkan uang cepat. Dia ingin menjual DigiRaya. Atau setidaknya, memonetisasi data pengguna kami sampai tetes terakhir. Bara menolak. Itulah mengapa dia dibunuh.” Sasha menggigit bibir, rasa pahit memenuhi mulutnya.

Zega mengulurkan tangan dan menyentuh punggung tangan Sasha. Sentuhan itu ringan, tetapi tegas. “Bara melakukan hal yang salah di awal, tapi dia mencoba memperbaikinya. Itu yang membuat dia berharga. Dan kau, kau yang harus melanjutkan warisannya, meski kau harus menelannya bersama rasa jijik atas pengkhianatannya.”

“Aku tidak tahu bagaimana aku harus mempercayai warisan itu, Zega. Bara… dia bukan hanya tunanganku, dia adalah pahlawanku. Sekarang aku tahu pahlawanku mendirikan kerajaannya di atas kebohongan.”

“Semua kerajaan berdiri di atas sesuatu yang kotor, Maya. Tugasmu bukan membersihkan masa lalu. Tugasmu adalah memastikan masa depan tidak kotor lagi. Itulah mengapa kita pergi ke pulauku.”

Sasha mengangkat alisnya. “Kenapa pulau itu? Kau bilang itu tempat terisolasi, tapi kenapa Express Teknologi tidak akan pernah mencarinya?”

Zega membuang pandangan ke arah dinding kapal, jeda panjang itu seolah dipenuhi kenangan yang menyakitkan. “Pulau itu kecil, di luar jalur pelayaran komersial. Tidak ada sinyal seluler, hanya satelit yang sangat mahal. Itu dulunya adalah tempat pengungsian para aktivis yang diburu karena menentang perusahaan pertambangan besar, perusahaan yang pada dasarnya dimiliki oleh salah satu pendukung Express Teknologi.”

“Kau tumbuh di sana?”

“Tidak persis. Ibuku mengirimku ke sana ketika aku berusia sepuluh tahun, setelah ayahku—seorang jurnalis yang terlalu vokal—menghilang. Komunitas di sana mengajarkanku tentang kode, tentang bertahan hidup di bawah radar, dan yang terpenting, tentang kebencian terhadap korporasi yang merenggut segalanya. Mereka tidak akan mencari di sana karena bagi mereka, pulau itu adalah simbol kekalahan dan kemiskinan yang tidak relevan dengan data raksasa seperti DigiRaya.”

Sasha menyadari bahwa di balik sikap Zega yang sinis, ada idealisme yang dibentuk oleh trauma masa kecil. Perasaan campur aduk ini, bahaya yang mereka hadapi, pengkhianatan Bara, dan keterbukaan emosional Zega, mengikat mereka lebih erat daripada semua kabel data di dunia.

“Terima kasih sudah memberitahuku,” kata Sasha, suaranya sangat rendah. Ia menggerakkan tangannya, mengikuti garis jaket kulit Zega, sebelum kembali menariknya.

Zega menangkap pergelangan tangannya, menghentikan gerakan itu. Matanya yang cokelat gelap menatap Sasha, intensitasnya membakar. “Jangan berterima kasih. Di tempat ini, kita adalah tim. Tidak ada CEO, tidak ada konsultan. Hanya Zega dan Maya. Dan di tempat ini, aku tidak punya aturan tentang jarak profesional.”

Ia menarik tangan Sasha lebih dekat, lalu membawanya ke bibirnya, mencium punggung tangannya dengan lembut. Ruangan sempit, getaran kapal, dan bau solar yang tajam entah bagaimana membuat momen itu terasa lebih intim dan mendesak. Sasha merasakan gelombang panas menjalari tubuhnya.

“Kau sangat berbahaya, Zega,” Sasha berbisik, memejamkan mata.

“Hanya demi kelangsungan hidup,” balas Zega. Ia melepaskan tangan Sasha, tetapi ia memastikan bahwa lutut mereka tetap bersentuhan, memberi janji kehangatan di tengah pelarian yang dingin.

Tiba-tiba, bunyi bip alarm rendah memecah ketenangan. Zega dengan cepat menekan tombol pada radio satelitnya, wajahnya kembali tegang.

“Sial. Aku baru saja menangkap sinyal transponder. Mereka mengaktifkan drone mata-mata jarak jauh. Jangkauan mereka hanya sekitar 50 mil dari Pulau Lombok. Mereka akan melakukan sapuan visual dalam dua jam.”

“Dua jam? Apa Kapten Guntur bisa lebih cepat?”

“Tidak, kita sudah mendorong mesinnya hingga batas maksimal. Tapi kita sudah dekat dengan titik persimpangan Selat Lombok. Kita harus berbelok ke selatan. Pulauku ada di timur laut Lombok, di balik bayangan Gunung Rinjani. Itu adalah satu-satunya celah buta di radar mereka.”

Zega bergegas keluar dari bawah dek. Sasha mendengar suara Zega yang mendesak, berteriak pada Kapten Guntur untuk mengubah arah. Beberapa menit kemudian, perahu itu miring tajam ke kanan, ombak menghantam lambung kapal dengan keras.

Sasha merangkak ke pintu, melihat pemandangan. Matahari sudah tinggi. Di kejauhan, terlihat garis pantai yang hijau dan pegunungan tinggi. Namun, ada sesuatu yang lain di cakrawala.

“Zega!” Sasha memanggil.

Zega masuk kembali, napasnya tersengal. “Apa?”

“Aku melihat sesuatu. Di langit. Bukan burung. Terlalu cepat.”

Zega menyambar teropong yang tersangkut di dinding dan mengarahkannya ke timur. Wajahnya memucat. “Itu bukan drone. Itu pesawat patroli maritim berkecepatan tinggi, milik pemerintah yang disewa oleh Express Teknologi. Mereka telah mempersempit area pencarian. Mereka pasti menangkap anomali kecil di perairan Paciran.”

“Mereka akan melihat kita!”

“Kapten Guntur tahu apa yang harus dilakukan. Dia akan mengaktifkan jaring asap. Kita harus siap melompat. Kapal patroli itu tidak bisa mendekati perairan dangkal pulauku.”

Kapten Guntur berteriak dari atas. Mesin kapal tiba-tiba berderu semakin keras, lalu meredup. Asap tebal, hitam, dan berbau ikan muncul dari knalpot, menciptakan kabut tipis di atas air.

“Mereka pasti melihat asap ini!” seru Sasha.

“Mereka juga akan melihat perahu nelayan lain, Maya! Ini adalah strategi nelayan lama. Tapi kita tidak bisa berlama-lama.” Zega membuka ranselnya, memastikan laptop Bara terbungkus rapat. “Kita akan berenang ke pantai. Lima menit lagi, kita akan berada di perairan dangkal. Begitu Kapten Guntur memberi sinyal, kita melompat. Jangan tinggalkan aku.”

Sasha mengangguk, adrenalin membanjiri rasa takutnya. Mereka berdua bersiap, berdiri di pintu masuk dek. Di kejauhan, suara mesin pesawat patroli semakin memekakkan telinga, mendekat seperti predator yang mencium mangsa.

“Sekarang!” teriak Kapten Guntur dari atas.

Zega meraih tangan Sasha. Mereka melompat bersamaan ke air laut yang asin dan dingin. Perahu nelayan itu segera tenggelam dalam asap hitam tebal, meninggalkan mereka berdua di tengah lautan Selat Lombok, berenang menuju daratan tersembunyi yang menjadi harapan terakhir mereka.

Saat mereka berjuang melawan ombak kecil, Sasha melihat ke atas. Pesawat patroli itu terbang rendah, suara baling-balingnya memecah udara di atas kepulan asap. Mereka pasti tahu ada sesuatu di bawah sana, tetapi asap tebal itu memberi mereka perlindungan beberapa detik yang krusial.

“Terus berenang, Maya!” Zega berteriak, menarik Sasha melalui air. “Kita harus mencapai garis karang itu! Begitu kita di sana, kita aman!”

Mereka berenang mati-matian, paru-paru Sasha terasa seperti terbakar. Mereka semakin dekat ke pulau itu. Garis pantai yang ditutupi oleh hutan bakau terlihat samar di balik kabut. Namun, tepat sebelum mereka mencapai perairan dangkal, sebuah titik kecil jatuh dari perut pesawat patroli itu, menghantam permukaan air dengan bunyi ‘plop’ yang pelan. Sebuah pelampung suar GPS.

Zega segera mengutuk. “Sial! Mereka menjatuhkan pelacak! Mereka akan tahu area pendaratan kita!”

“Apa yang harus kita lakukan?” Sasha terengah-engah.

“Lari! Cepat! Kita harus mencapai hutan bakau sebelum mereka mengirim tim darat!”

Mereka bergegas keluar dari air, tubuh mereka basah kuyup dan dipenuhi pasir. Mereka melompat ke daratan berbatu yang dipenuhi vegetasi liar. Mereka berada di Pulau Tuan, tempat perlindungan Zega. Namun, mereka tahu bahwa perlindungan itu hanya bersifat sementara. Perburuan baru saja dimulai.

Zega menarik Sasha masuk ke dalam hutan bakau yang gelap dan berlumpur, menyembunyikan mereka dari pandangan udara. Saat mereka berdiri, tersembunyi di balik akar-akar tebal, Zega mengeluarkan pisau kecil dan memotong tali di ranselnya. “Dengarkan aku, Maya. Mereka akan tiba dalam satu jam. Kita harus menemukan komunitas itu. Jika mereka masih ada, mereka akan melindungi kita. Tapi mereka sangat anti-orang luar.”

“Bagaimana kau akan meyakinkan mereka?”

Zega menatapnya, matanya tajam dan dipenuhi tekad. “Aku akan memberitahu mereka bahwa aku membawa musuh yang sama. Dan kau akan menjadi jaminan. Aku harus meninggalkanmu sebentar. Kau harus bersembunyi di sini. Aku akan kembali sebelum matahari terbenam.”

Sasha menggenggam tangan Zega, cengkeramannya kuat. “Jangan tinggalkan aku sendiri, Zega. Aku tidak akan bisa menghadapi mereka tanpa kau.”

Zega menghela napas, menahan Sasha dekat dengannya di tengah lumpur. “Aku tidak akan. Tapi ini adalah tempatku. Dan aku harus masuk sendirian. Tunggu di sini. Dan jika kau mendengar apa pun yang bukan aku, lari ke arah gunung. Jangan pernah melihat ke belakang.”

Ia menempatkan laptop Bara di antara dua akar bakau besar. Lalu, Zega berbalik, menghilang dalam kegelapan hutan bakau, meninggalkan Sasha sendirian di tempat yang seharusnya menjadi surga pelarian mereka.

Lima menit kemudian, Sasha mendengar suara yang sangat jelas dari pantai: suara bot motor kecil yang membelah ombak. Mereka tiba lebih cepat dari yang diperkirakan Zega.

Sasha sendirian. Dan mereka sudah menemukan lokasinya.

"Mereka lebih cepat datang, aku harus bagaimana?" sasha putus asa....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!