Mati tertabrak truk? Klise.
Tapi bangun di dunia penuh sihir, monster, dan wanita cantik berbahaya?
Shen Hao tidak menyangka, nasib sialnya baru dimulai.
Sebagai pria modern yang tengil dan sarkastik, ia terjebak di dunia fantasi tanpa tahu cara bertahan hidup. Tapi setelah menyelamatkan seorang gadis misterius, hidupnya berubah total—karena gadis itu ternyata adik dari Heavenly Demon, wanita paling ditakuti sekaligus pemimpin sekte iblis surgawi!
Dan lebih gila lagi, dalam sebuah turnamen besar, Heavenly Demon itu menatapnya dan berkata di depan semua orang:
“Kau… akan menjadi orang di sisiku.”
Kini Shen Hao, pria biasa yang bahkan belum bisa mengontrol Qi, harus menjalani hidup sebagai suami dari wanita paling kuat, dingin, tapi diam-diam genit dan berbahaya.
Antara cinta, kekacauan, dan tawa konyol—kisah absurd sang suami Heavenly Demon pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZhoRaX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH 16
Arena kembali bergemuruh.
Tanah yang diperkuat formasi pelindung mulai retak, dan hawa panas bercampur energi spiritual berputar hebat di udara.
Para peserta yang tadinya berfokus pada kemenangan kini kehilangan tujuan—amukan dan rasa iri telah menggantikan niat awal mereka.
Jiang Tian, dari Heavenly Sword Sect, melangkah maju. Aura pedangnya meledak seperti badai tajam.
“Hmph! Kalau wanita itu tertarik pada pria lemah itu, maka biar aku tunjukkan seperti apa pria sejati yang pantas berdiri di sisinya!”
Ia mengayunkan pedangnya ke depan—sebuah gelombang pedang berwarna biru muda membelah udara, panjangnya belasan meter, hingga menembus pelindung luar arena dan membuat udara bergetar.
Serangan itu diarahkan bukan kepada lawan di depannya, tapi ke formasi pelindung di sisi penonton—ke arah Shen Hao duduk!
Sorakan penonton berubah menjadi teriakan panik.
Namun sesaat sebelum serangan itu mencapai tempat Shen Hao, sebuah aura biru-ungu muncul, seperti kabut lembut yang bergetar di udara—formasi pelindung tambahan buatan Lan Xiuying aktif, memantulkan serangan itu hingga kembali menghantam tanah arena.
Ledakan besar terjadi, dan dari balik asap, Jiang Tian berdiri dengan senyum sombong.
“Ups, tanganku terpeleset.”
Di sisi lain, Luo Chen, pengembara berambut hitam dengan mata perak, mengibaskan tangannya dan mengeluarkan bilah spiritual yang melayang di udara.
“Kau sudah kehilangan akal, Jiang Tian. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu merusak pertunjukan ini. Kalau kau ingin menarik perhatian wanita itu—hadapi aku dulu!”
Keduanya pun saling bentrok, pedang melawan bilah spiritual, menimbulkan kilatan cahaya dan badai energi yang menembus langit.
Masing-masing ingin menunjukkan kekuatan mereka, seolah berusaha berkata, “Lihat aku, bukan dia.”
Di kursi tinggi, Mei Xian’er masih tenang, namun matanya berkilau samar.
“Mereka berperang bukan karena turnamen, tapi karena seorang pria.”
Suara lembutnya terdengar datar, tapi senyuman tipis muncul di ujung bibirnya.
Huo Lian mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya hangat namun tajam.
“Lucu, bukan? Biasanya mereka membunuh demi kehormatan atau sumber daya. Sekarang… mereka membunuh demi rasa iri.”
Bai Zhenya menimpali dengan nada dingin, matanya setajam bilah hitam.
“Itu sebabnya pria selalu berbahaya jika kehilangan akal.”
Sementara Mei Ling’er terlihat khawatir.
“Kakak, bukankah mereka berlebihan? Pria itu—dia bahkan belum berbuat apa-apa…”
Mei Xian’er menatap sekilas adiknya.
“Tenanglah. Jika mereka melampaui batas, aku yang akan menanganinya.”
Shen Hao sendiri masih duduk di tempatnya, mencoba memahami apa yang terjadi.
“Tunggu… apa mereka baru saja mencoba menyerang ke arahku?”
Ia menatap ke arena, lalu berbisik pelan dengan wajah kesal,
“Aku cuma penonton, tahu! Apa dunia ini tidak punya logika sedikit pun?”
Orang-orang di sekitarnya menatapnya dengan campuran ngeri dan kagum.
Seorang pria biasa berani mengeluh keras di tengah turnamen tingkat Heavenly Immortal—itu sudah gila.
Dan di atas sana, mata Mei Xian’er kembali menatapnya.
Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Senyumnya tidak hanya lembut—ada rasa ingin tahu… dan sedikit kegembiraan.
“Kau… benar-benar menarik.”
Langit di atas arena mulai bergetar oleh dentuman bertubi-tubi.
Serangan demi serangan terus menghujam formasi pelindung yang memisahkan penonton dari arena utama.
Api, petir, bilah spiritual, hingga kekuatan tekanan jiwa—semuanya melesat ke arah Shen Hao, yang duduk di deretan kursi bawah dengan wajah kebingungan dan sedikit pucat.
“Kau itu siapa, beraninya menarik perhatian Nona Mei!”
“Keluarlah, bocah! Kalau memang punya kemampuan, lawan aku di arena!”
“Aku akan pastikan tubuhmu hancur jadi abu!”
Teriakan-teriakan itu datang dari berbagai arah.
Para peserta yang tadinya bertarung satu sama lain kini seperti memiliki musuh bersama—Shen Hao.
Gelombang energi spiritual menghantam dinding pelindung transparan di hadapannya, menimbulkan suara boom! berulang kali.
Cahaya ungu dari formasi pelindung karya Lan Xiuying bergetar setiap kali menerima serangan.
Shen Hao, yang awalnya berjongkok panik dengan kedua tangan di kepala, akhirnya bersandar di kursinya dengan wajah kelelahan.
“Astaga… apa orang-orang ini gila semua? Aku bahkan tidak tahu salahku apa…”
Ia mendesah panjang, lalu menatap langit.
“Kalau terus begini, aku bisa jantungan sebelum mati tertimpa serangan.”
Satu lagi ledakan besar mengguncang dinding pelindung, debu beterbangan ke arah penonton.
Namun anehnya, Shen Hao hanya menepuk-nepuk bajunya, lalu duduk kembali dengan santai, seolah sudah kebal terhadap kehebohan itu.
“Yah… kalau mereka memang ingin unjuk gigi, silakan saja. Aku cuma penonton tidak berdosa.”
Nada suaranya datar tapi penuh sarkasme khas dirinya.
Di atas tribun utama, Mei Xian’er menatap ke bawah dengan mata crimson yang berkilau halus.
Senyum kecil muncul di bibirnya, kali ini benar-benar tulus.
“Menarik…”
Bisiknya pelan, nyaris tidak terdengar oleh siapa pun.
“Dia takut, tapi tidak melarikan diri. Dia lemah, tapi tidak tunduk. Dan entah kenapa, bahkan badai serangan sebesar itu tidak membuatnya kehilangan ketenangan.”
Huo Lian menatap ke arahnya dengan alis terangkat.
“Kau serius mengamati bocah itu? Ia bahkan belum masuk ranah Nascent Soul.”
Lan Xiuying, yang masih menjaga formasi pelindung dari tribun penonton, berkata pelan tanpa mengalihkan pandangan,
“Aneh… serangan sebesar itu seharusnya sedikit menembus perisai, tapi di sekitar dirinya justru stabil. Seolah… pelindung itu menyesuaikan diri untuk melindungi dia secara khusus.”
Bai Zhenya berkomentar dengan nada rendah,
“Atau mungkin ada sesuatu dalam tubuhnya yang menolak kehancuran.”
Mei Ling’er menatap kakaknya dengan cemas.
“Kak, apakah dia yang…?”
Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Mei Xian’er mengangkat tangan pelan,
“Jangan berasumsi terlalu cepat. Tapi satu hal pasti…”
Matanya menyipit, senyumnya melebar samar.
“Aku ingin tahu lebih banyak tentang pria itu.”
Sementara itu, di bawah, Shen Hao kembali duduk bersila—bukan karena ingin berkultivasi, tapi karena kelelahan batin.
Suara ledakan, teriakan, dan getaran energi masih menggema, tapi ia hanya menghela napas panjang.
“Huh… dunia ini benar-benar gila. Kalau ini yang disebut ‘hidup tenang’, aku lebih baik kembali ke hutan saja.”
Ia menatap sisa makanan ringan di tangannya yang entah bagaimana masih utuh, lalu menggigitnya pelan.
“Tapi kalau ini ujian hidup, ya sudahlah. Setidaknya aku dapat tontonan gratis.”
Dan di kejauhan, Mei Xian’er menatapnya terus, matanya berisi campuran rasa ingin tahu dan sesuatu yang bahkan ia sendiri sulit pahami—ketertarikan.
Suasana yang semula hiruk-pikuk mendadak hening.
Udara bergetar seolah berhenti berhembus, bahkan suara gemuruh spiritual yang memenuhi arena lenyap dalam sekejap—semua mata tertuju pada satu titik.
Di tengah arena, Jiang Tian, kultivator Heavenly Immortal tahap awal dari Heavenly Sword Sect, berdiri dengan pedang terhunus. Aura pedangnya menari di udara, berkilau bagai ribuan bintang tajam. Ia yakin kemenangan sudah di genggam tangannya.
Namun saat hendak mengayunkan pedang terakhirnya, alisnya menegang.
Matanya menoleh cepat ke arah tribun utama—dan saat itu pula, kursi ketua sekte kosong.
“Apa…?” gumamnya tertahan.
Dalam sekejap, seolah melawan logika, Mei Xian’er sudah berdiri di barisan penonton umum—tepat di depan seorang pria berambut hitam acak-acakan, bermata ungu, yang baru saja menjatuhkan potongan daging dari mulutnya karena kaget.
Shen Hao.
Ia menatap wanita di depannya dengan mata membulat, wajahnya menunjukkan campuran panik dan kebingungan.
“Tunggu… tunggu dulu, apa-apaan ini lagi? Mengapa kau bisa muncul lagi di sini dan tiba-tiba?”
Tapi Mei Xian’er tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dalam diam—mata crimson-nya memantulkan wajah Shen Hao seperti cermin yang menelanjangi isi jiwanya.
Lalu, di tengah keheningan yang mencekam, dengan suara lembut namun jelas terdengar ke seluruh arena,
ia berkata pelan:
“Kau…”