Jiang Shen, seorang remaja berusia tujuh belas tahun, hidup di tengah kemiskinan bersama keluarganya yang kecil. Meski berbakat dalam jalan kultivasi, ia tidak pernah memiliki sumber daya ataupun dukungan untuk berkembang. Kehidupannya penuh tekanan, dihina karena status rendah, dan selalu dipandang remeh oleh para bangsawan muda.
Namun takdir mulai berubah ketika ia secara tak sengaja menemukan sebuah permata hijau misterius di kedalaman hutan. Benda itu ternyata menyimpan rahasia besar, membuka pintu menuju kekuatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sejak saat itu, langkah Jiang Shen di jalan kultivasi dimulai—sebuah jalan yang terjal, berdarah, dan dipenuhi bahaya.
Di antara dendam, pertempuran, dan persaingan dengan para genius dari keluarga besar, Jiang Shen bertekad menapaki puncak kekuatan. Dari remaja miskin yang diremehkan, ia akan membuktikan bahwa dirinya mampu mengguncang dunia kultivasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 : Dua Pria Misterius
Setelah berhasil mengalahkan Gorila Ekor Emas, dan mengamankan inti jiwanya, Jiang Shen langsung bergegas pergi mencari tempat yang aman untuk menyerap inti jiwa Gorila Ekor Emas.
Langkah Jiang Shen gontai namun mantap ketika ia menemukan sebuah gua kecil, tersembunyi di balik semak lebat dan bebatuan berlumut.
Nafasnya masih terengah, darah masih mengalir tipis dari luka di lengan kirinya, namun sorot matanya tetap tajam dan penuh tekad. Tanpa ragu ia masuk ke dalam gua itu, memastikan tidak ada bahaya sebelum akhirnya meletakkan pedang pusaka tingkat Bumi miliknya ke samping.
Tangannya meraih kendi air dari cincin ruang, meneguknya perlahan. Rasa dingin air itu mengalir ke tenggorokan, sedikit menenangkan rasa panas dari pertarungan sengit barusan.
Namun, istirahat bukanlah tujuannya malam ini. Tubuhnya boleh lelah, luka boleh menganga, tapi hatinya terbakar oleh tekad yang tidak bisa diredam. Ini adalah kesempatan emas.
Ia duduk bersila di tengah gua, cahaya rembulan yang menyelinap masuk dari celah bebatuan seakan menjadi saksi bisu. Jiang Shen mengeluarkan sebuah benda bulat berkilau dari cincin ruangnya—inti jiwa gorila ekor emas. Energi di dalamnya berdenyut ganas, memancarkan aura yang hampir membuat gua kecil itu bergetar.
Jiang Shen menatapnya dalam-dalam.
"Empat bulan lalu … kau hampir merenggut hidupku. Tapi sekarang, kekuatanmu akan menjadi pijakan bagiku."
Ia menempelkan inti jiwa itu ke dantiannya, lalu mulai menyalurkan teknik kultivasi Melahap Matahari.
WUSSHHH!
Seketika, energi liar dari inti jiwa gorila itu mengalir deras, menabrak 12 meridian dalam tubuhnya bagaikan arus sungai banjir yang tak terbendung.
Tubuh Jiang Shen bergetar hebat, keringat dingin membasahi dahinya. Gua itu dipenuhi suara retakan halus dari meridian yang dipaksa melebar menahan energi buas tersebut. Setiap tarikan nafasnya terdengar berat, seolah paru-parunya pun terbakar. Namun sorot matanya tetap fokus—ia tidak boleh menyerah, tidak sekarang.
Perlahan, Jiang Shen mengarahkan energi itu agar terkumpul di dantian. Api miliknya menyala di dalam, berpadu dengan energi liar dari gorila, menciptakan pusaran yang semakin lama semakin pekat. Dantiannya bergetar keras, seakan akan pecah kapan saja.
Malam itu, waktu seolah berhenti. Sinar bulan yang masuk ke dalam gua semakin terang, seperti ikut menyelimuti tubuh Jiang Shen yang diselubungi oleh aura api menyala. Sesekali, percikan petir halus melintas di sekujur tubuhnya—elemen petirnya pun ikut tergerak, menyatu dengan energi api yang membara.
Rasa sakit mengguncang setiap urat nadinya. Rasanya seperti tubuhnya dihancurkan dari dalam lalu dipaksa terbentuk kembali. Tapi Jiang Shen menggertakkan giginya, menahan semuanya. “Aku tidak akan kalah! Aku tidak akan berhenti di sini!” teriak batinnya.
Hingga akhirnya, menjelang fajar, saat cahaya pertama matahari menyusup masuk ke dalam gua—ledakan aura yang sangat kuat meletup dari tubuh Jiang Shen. Batu-batu kecil di sekitar gua terpental, udara bergetar, dan cahaya api bercampur petir menyelimuti tubuhnya dengan megah.
Matanya terbuka perlahan, cahaya keemasan berkilat di dalamnya. Nafasnya stabil, tubuhnya terasa lebih ringan, dan aliran Qi dalam tubuhnya jauh lebih deras dari sebelumnya.
Boom!
Dantian Jiang Shen bergetar lalu tenang, menandakan sebuah lompatan besar baru saja terjadi. Ia telah menembus ke Level 2 Ranah Inti Emas.
Wajahnya dipenuhi keringat, namun bibirnya perlahan membentuk senyuman tipis. Rasa puas, lega, dan juga haru bercampur jadi satu. Ia mengepalkan tangan, merasakan kekuatan baru yang mengalir di tubuhnya.
"Ini masih belum cukup … dari sini, aku akan melangkah lebih jauh lagi."
Di bawah cahaya mentari pagi yang menerobos masuk ke gua, Jiang Shen duduk dengan punggung tegak.
...
Pagi itu, setelah letupan aura kuatnya benar-benar tenang, Jiang Shen menghela napas panjang. Perutnya yang kosong ikut berteriak minta diisi. Ia pun mengeluarkan makanan sederhana dari cincin ruangnya—sepotong roti hangat dan daging dendeng kering buatan ibunya.
Meski sederhana, rasa asin gurih dari dendeng itu berpadu pas dengan roti, membuatnya tersenyum tipis. “Tak ada yang lebih nikmat dari makan setelah menembus ranah baru,” pikirnya sambil mengunyah perlahan.
Begitu selesai sarapan, pandangannya jatuh pada pakaian yang dikenakannya. Robek di beberapa bagian, penuh lumpur, dan noda darah kering yang menempel jelas membuatnya terlihat seperti pengembara lusuh, bukan kultivator yang baru saja menembus ranah Inti Emas. Ia menghela napas, lalu berdiri dan meraih pedang miliknya. “Tidak bisa begini. Aku harus membersihkan diri sebelum melanjutkan perburuan.”
Dengan langkah mantap, Jiang Shen keluar dari gua dan berjalan menelusuri hutan. Hanya butuh beberapa menit sebelum ia mendengar suara gemericik air. Dari balik pepohonan, tampaklah sebuah sungai kecil yang jernih, alirannya memantulkan cahaya matahari pagi.
Ia segera menanggalkan pakaian lusuhnya, lalu masuk ke sungai. Air dingin menyapu kulitnya, membersihkan kotoran, darah, dan peluh yang menempel sejak semalam.
Rasa segar langsung menyeruak ke seluruh tubuh, membuat otot-ototnya yang tegang terasa lebih rileks. Jiang Shen meraup air, membasuh wajahnya berulang kali hingga bayangan dirinya di permukaan sungai terlihat lebih bersih dan berwibawa.
Setelah puas, ia kembali ke tepi sungai dan mengeluarkan pakaian ganti dari cincin ruangnya. Sebuah jubah hitam bermotif emas terbuat dari sutra halus—jubah yang pernah ia beli dengan harga 5 koin emas.
Mewah, elegan, namun tetap kokoh. Motif emas yang berkilau di atas kain itu bukan sekadar hiasan, melainkan ukiran mantra pelindung yang membuat jubah ini tak mudah kotor atau robek.
Ia mengenakannya dengan hati-hati, merasakan bagaimana jubah itu menempel pas di tubuhnya, memberi aura berkelas pada sosok mudanya.
Dari seorang pemuda dengan pakaian compang-camping, kini Jiang Shen tampak seperti seorang kultivator sejati yang memancarkan wibawa.
Ia sempat menatap pantulan dirinya di air sungai—sosok dengan jubah hitam mewah, pedang pusaka di sisi pinggang, dan sorot mata tajam penuh tekad.
Senyum tipis menghiasi bibirnya. “Dengan ini … aku siap melangkah lebih jauh.”
Tanpa menunda lebih lama, Jiang Shen melangkah meninggalkan sungai itu. Langkahnya ringan, auranya mantap, dan tujuan berikutnya sudah jelas—mencari beast spiritual tingkat 3 lainnya.
...
Hutan Yulong siang itu begitu sunyi, hanya suara langkah Jiang Shen yang terdengar lirih di antara semak dan pepohonan tinggi. Ia berjalan perlahan, penuh kewaspadaan, matanya menyapu setiap bayangan yang mungkin menyembunyikan beast spiritual tingkat 3.
Namun satu jam penuh berlalu, dan yang ia temui hanyalah beast spiritual tingkat 1—lemah, tak berarti, bahkan tak mampu memicu sedikit pun gairah bertarung dalam dirinya.
Ia menghela napas, sedikit kecewa. “Apakah aku harus lebih masuk ke dalam hutan?” gumamnya dalam hati.
Namun tiba-tiba ...
Suara keras menyeruak dari kejauhan. Dentuman logam beradu, teriakan teredam, dan suara tanah terbelah akibat benturan kuat.
Jiang Shen langsung menegang. Insting bertarungnya menyala, tubuhnya spontan menyalurkan sedikit elemen petir ke kakinya. Sekejap kemudian, ia melesat bagai anak panah, meninggalkan jejak kilatan cahaya di antara pepohonan.
Semakin dekat, suara pertempuran semakin jelas. Dan ketika ia menerobos celah pepohonan terakhir—pandangannya membeku.
Di depan sana, terbentang sebuah pemandangan yang membuat dadanya bergemuruh. Dua pria berpakaian seragam hitam dengan lambang naga hitam melingkar di dada kiri mereka, wajah dingin dan mata penuh niat membunuh, sedang mengepung seorang gadis muda. Dan gadis itu—Jiang Shen tak salah lihat—adalah Lin Xueyin.
Wajah dingin gadis itu terlihat pucat, rambut hitam panjangnya berantakan, pedang pusaka tingkat awan di tangannya bergetar menahan gempuran. Keringat bercucuran di pelipisnya, napasnya terengah. Ia jelas sudah kelelahan, tapi tetap berdiri dengan mata yang tak mengenal kata menyerah.
Jiang Shen tercekat. Kenapa Xueyin ada di sini? Kenapa ia dikepung oleh orang-orang misterius itu? Pertanyaan demi pertanyaan menyerbu kepalanya, namun nalurinya hanya menjerit satu hal: “Lindungi dia!”
Dua pria berseragam naga hitam itu melancarkan serangan bersamaan. Satu pedang menyambar dari kiri, satunya lagi menusuk dari kanan. Lin Xueyin menggertakkan gigi, hanya mampu menangkis serangan dari kiri. Saat itu, kilatan maut dari kanan nyaris menembus dadanya.
Mata Xueyin melebar. Dalam hatinya ia sadar, ia tak sempat menghindar. “Apakah aku akan mati di sini…?”
Namun ...
Di detik itulah, sebuah kilatan ungu gelap menembus pandangan.
CLANG!!
Suara dentingan pedang yang menggelegar mengguncang udara. Serangan mematikan itu berhenti, tertahan oleh bilah pedang ungu gelap yang tegak bagaikan tembok baja.
Dari balik cahaya senjata itu, muncul sosok yang begitu familiar bagi Xueyin. Rambut hitamnya berkibar, jubah hitam bermotif emasnya berkilau gagah, aura kuat mengalir deras dari tubuhnya. Tatapannya tajam, penuh keberanian yang tak tergoyahkan.
Itu adalah Jiang Shen.
Ia berdiri tepat di depan Lin Xueyin, melindunginya dari serangan maut. Dengan satu tangan menahan pedang lawan, dan tangan lainnya mencengkeram gagang pedangnya dengan mantap, Jiang Shen menoleh sedikit ke belakang, menatap Xueyin yang terpaku.
“Selama aku di sini,” ucap Jiang Shen dengan suara rendah namun penuh kekuatan, “tidak seorang pun boleh menyentuhmu.”
Udara seakan bergetar oleh tekadnya.
Lin Xueyin yang tadinya sudah siap menerima kematian, kini hanya bisa terdiam. Matanya membesar, hatinya bergetar hebat. Sosok Jiang Shen yang berdiri di hadapannya, gagah berani melindunginya dari serangan maut, menancapkan sebuah kesan yang tak mungkin ia lupakan seumur hidupnya.
MC nya belom mengenal luas nya dunia karena belom berpetualang keluar tempat asal nya,hanya tinggal dikota itu saja
Jangan buat cerita MC nya mudah tergoda pada setiap wanita yg di temui seperti kebanyakan novel2 pada umum nya,cukup 1 wanita.