NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 6

Pagi datang tanpa sinar. Di tempat seperti ini, pagi hanyalah ilusi. hanya pergantian giliran penjaga, suara gemerincing rantai, dan aroma makanan basi yang menjadi penandanya.

Pintu sel Clara dan Matteo dibuka paksa. Sepiring nasi dingin dan sepotong roti dilemparkan begitu saja ke lantai. Matteo hendak memprotes, namun penjaga langsung menutup pintu dengan kasar sebelum sempat berkata apa-apa.

Clara menatap makanan itu dengan jijik. Tapi bukan soal makanan yang membuatnya ingin muntah. Itu karena seseorang belum kembali.

“Sudah pagi,” katanya pelan.

“Tapi Dewi belum juga dibawa kembali…”

Matteo menatap Clara, raut wajahnya mengeras. “Kalau Rafael melakukan sesuatu padanya…”

Clara menggeleng, memotong,

“Jangan. Jangan bayangkan yang terburuk dulu. Dia… dia harus kuat.”

Namun, di dalam hatinya, Clara juga takut. Takut bahwa Dewi telah menjadi pecahan jiwa berikutnya yang retak karena Rafael.

...

Dewi menggeliat pelan di atas ranjang empuk berlapis seprai satin. Udara di ruangan itu hangat, namun kulitnya terasa dingin. Selimut menutupi tubuhnya polosnya. Ia membuka mata perlahan, dan langit-langit kamar yang asing menyambut pandangannya. Aroma parfum maskulin dan alkohol masih tercium samar dari bantal di sampingnya.

Kepalanya berdenyut hebat. Perutnya mual.

Kilasan malam tadi kembali menghantamnya. tatapan Rafael yang dingin, genggaman tangannya yang memaksa, kata-kata penuh ancaman, dan tubuhnya yang tak mampu melawan.

Ia menegakkan tubuh, hanya untuk segera jatuh kembali dengan erangan pelan. Dadanya sesak. Tenggorokannya kering.

“Apa yang sudah dia lakukan…” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Air mata jatuh begitu saja dari sudut matanya. Tangannya meraih selimut, menariknya lebih erat, seolah itu bisa menghapus noda yang ia rasakan di seluruh dirinya.

Dewi tak tahu berapa lama ia menangis dalam diam. Tapi di antara isakan pelan itu, ada satu bisikan yang memenuhi kepalanya: Clara… Matteo… aku harus bertahan… demi mereka.

Dari balik pintu, terdengar suara sepatu menyentuh lantai marmer, makin mendekat.

Dewi langsung memejamkan mata, berpura-pura tidur. Napasnya ditahan, tubuhnya mengeras. Ia tahu, Rafael datang.

Langkah kaki itu berhenti tepat di tepi ranjang. Keheningan menyeruak, begitu mencekam hingga suara detak jam dinding terdengar seperti dentuman keras di kepala Dewi. Ia tetap memejamkan mata, berharap jika ia cukup diam, cukup tenang, maka keberadaannya akan menghilang dari pandangan pria itu.

“Berhenti pura-pura tidur,” suara Rafael akhirnya terdengar. Tenang. Dingin. Tajam seperti bilah pisau yang baru diasah.

Dewi tak bergerak.

Namun selimut di pundaknya ditarik pelan. “Aku bilang bangun.”

Ia terpaksa membuka mata, menatap pria yang berdiri di hadapannya dengan mata merah sembab dan penuh kebencian. Rafael berdiri dengan pakaian rapi, seolah malam tadi bukan apa-apa baginya. Seolah dia baru saja menghadiri rapat penting, bukan melakukan hal yang telah merenggut sisa harga diri seorang perempuan.

“Kau puas?” bisik Dewi parau. Sembari menutupi tubuhnya yang di penuhi bercak merah pada leher hingga kebagian dadanya, dengan menggunakan selimut.

Rafael menatapnya dalam diam. Lalu, ia justru duduk di tepi ranjang. Wajahnya tenang, tapi matanya menyorotkan sesuatu yang jauh lebih dalam. kekosongan.

“Puas?” Ia mengulang pertanyaannya.

“Aku hanya mengambil hakku.”

Dewi mencengkeram selimutnya erat. Tubuhnya gemetar bukan karena takut, melainkan karena marah, jijik, dan hancur. “Aku bukan milikmu…”

Rafael mendekatkan wajahnya.

“Setiap orang yang berada di dalam duniaku, adalah milikku. Termasuk kau.” Ia tersenyum miring, lalu berdiri kembali, menyambar jas yang tergantung di sandaran kursi.

“Kau akan tetap di sini,” ucapnya sambil melangkah menuju pintu. Namun sebelum itu. Ia mengambil sebuah kemeja putih dari dalam lemari, dan melemparkannya ke arah Dewi.

“Jangan harap bisa kembali ke sel. Clara dan Matteo… tidak perlu tahu apa yang terjadi padamu.”

Dewi menatap punggung Rafael dengan tatapan membunuh. Tapi ia tahu, kekuatan fisik tak akan mengalahkan pria itu. Yang bisa ia lakukan kini, hanyalah bertahan.

Perlahan ia bangkit dari ranjang. menggigit bibir bawahnya saat merasakan nyeri pada bagian selangkangan nya. Ia meraih kemeja putih itu. Lalu memakainya.

Air matanya kembali menetes, saat melihat bercak darah pada sprei putih itu.

" Bajingan.." gumamnya lirih sembari terisak.

...

Langit di luar masih kelabu, entah karena pagi yang belum sempurna atau karena tempat itu memang tak mengenal cahaya. Dewi duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya yang telanjang, tubuhnya tersembunyi di balik kemeja kebesaran yang menjuntai hingga ke paha. Tangannya gemetar saat mencoba menyeka air mata yang tak kunjung berhenti mengalir.

Setiap detik terasa seperti jarum yang menancap dalam-dalam ke kulitnya. Setiap helaan napas membawa kembali rasa sakit dan ketidakberdayaan.

Namun, dari dalam kehancuran itu, perlahan muncul bara kecil di dalam dirinya. Bara yang menyala dari rasa sakit, dari penghinaan, dari tekad untuk tidak hancur.

“Aku bukan korban,” bisiknya lirih. “Aku… bukan milik siapa pun…”

Ia berdiri dengan susah payah, langkahnya tertatih menuju kamar mandi yang terletak di sudut ruangan. Cermin besar di atas wastafel menampilkan sosoknya yang pucat, lelah, dan terluka. Ada bekas merah di leher dan lengan, ada kehancuran di mata yang menatap balik dari balik bayangan.

Namun ia tak memalingkan muka. Ia menatap dirinya sendiri, mencoba mengingat siapa dirinya sebelum semua ini terjadi. Dewi.Orang yang selalu percaya bahwa manusia bisa memilih untuk tetap menjadi manusia… bahkan di neraka seperti ini.

Tangannya terulur, membuka kran air. Ia membasuh wajahnya, lalu menatap kembali cermin dengan nafas berat.

...

Sementara itu, di sel bawah tanah, Clara duduk menyandarkan punggung pada dinding dingin. Matteo masih mondar-mandir, resah.

“Sudah lebih dari delapan jam,” gumamnya.

Clara tak menjawab. Tatapannya kosong, namun matanya terus menatap pintu, seakan berharap keajaiban akan datang dan membuka lempeng besi itu.

“Aku bersumpah,” Matteo akhirnya berkata, suaranya gemetar menahan emosi,

“Kalau Rafael menyentuhnya, aku...”

“Kita harus keluar dari sini,” potong Clara pelan tapi tegas.

“Bukan hanya untuk kita. Tapi untuk Dewi.”

Matteo menghentikan langkahnya. Menatap Clara.

“Aku tahu tempat ini,” lanjut Clara. “Ada lorong rahasia di balik ruang interogasi. Aku pernah melihat salah satu penjaga menggunakannya malam-malam. Tapi kita butuh alat, atau setidaknya...”

Suara decitan kunci memotong ucapan Clara.

Pintu sel terbuka, dan dua penjaga muncul. Di belakang mereka… Rafael.

Clara langsung berdiri. Napasnya tercekat saat melihat pria itu berdiri dengan tenang, mengenakan setelan rapi. Senyum dinginnya menyiratkan sesuatu yang tak ingin ia tahu.

“Selamat pagi,” ucap Rafael.

“Kalian tampak… gelisah.”

“Di mana Dewi?” tanya Clara cepat, tanpa basa-basi.

Rafael mendekat, menatap Clara seolah pertanyaan itu tak layak dijawab.

“Dia baik-baik saja,” jawabnya datar.

“Dan untuk saat ini… dia akan tinggal di tempat yang lebih nyaman.”

Matteo melangkah maju, tapi langsung dihentikan oleh todongan senjata dari salah satu penjaga.

Rafael tertawa kecil. “Kalian harus belajar menurunkan ekspektasi di tempat ini.”

Clara menatapnya tajam. “Apa yang kau lakukan padanya?”

Rafael menunduk, berpura-pura berpikir. “Mendidiknya. Memberinya pelajaran… tentang siapa yang berkuasa di sini.”

Clara tak bisa menahan diri lagi. Ia melangkah maju, tangannya mengepal, tapi penjaga lain sudah menariknya mundur.

Rafael hanya mengangkat alis. “Hati-hati, Clara. Kau punya wajah yang terlalu berharga untuk dirusak.”

Lalu ia berbalik, melangkah pergi. Tapi sebelum melewati ambang pintu, ia menoleh dan berkata,

“Oh, dan satu hal lagi. Jangan coba-coba kabur. Kalau kalian melanggar, aku tidak akan segan mengirim potongan tubuh seseorang sebagai peringatan.”

Pintu ditutup kembali. Kunci diputar.

Clara jatuh berlutut. Napasnya terengah.

“Dewi…” bisiknya. “Maafkan aku…”

...

Di kamar atas, Dewi masih berdiri di depan cermin. Air mata telah kering, digantikan oleh tatapan kosong dan keras. Ia membuka laci di bawah wastafel. Hanya ada pisau cukur kecil. Ia menggenggamnya, mengamati pantulan bilah tipis itu dalam diam.

Namun, bukan untuk menyakiti diri.

Dia menyelipkannya ke balik kemeja. Dan untuk pertama kalinya sejak semalam, ia mengangkat dagunya tinggi.

“Kalau aku harus jadi tawanan,” gumamnya, “maka aku akan jadi tawanan yang bisa menggigit balik.”

Pintu kamar terbuka kembali tanpa ketukan.

Rafael melangkah masuk dengan langkah tenang, namun hawa keberadaannya membuat udara di ruangan seolah menebal. Dewi yang sedang berdiri dengan tubuh gemetar di dekat meja, seketika menegang. Tangan kecilnya mencengkeram ujung kemeja putih yang menutupi tubuhnya dengan malu-malu dan marah yang bercampur jadi satu.

Rafael menghampirinya perlahan, lalu berhenti hanya sejengkal di depan Dewi. Tubuh tinggi tegapnya menjulang seperti bayangan kematian.

Tangan besarnya tiba-tiba terulur cepat dan kasar, meraih kerah kemeja yang Dewi kenakan.

“Dingin, ya?” bisiknya, sambil menarik kerah itu dengan paksa, membuat Dewi terhuyung ke depan. Tapi bukan kelembutan yang ia cari. ia mencari sesuatu.

Dan ia menemukannya.

Dari balik lipatan kemeja, sebuah bilah pisau cukur kecil terjatuh, mengayun ringan sebelum terpantul di lantai marmer, memantulkan cahaya dingin. Bunyi denting logamnya terdengar begitu nyaring dalam keheningan yang mencekam.

Mata Dewi membelalak. Wajahnya pucat. Ia tak sempat menyembunyikan keterkejutannya.

“Kau pikir aku tidak tahu?” ucap Rafael pelan, tapi suara itu seperti jerat besi yang menjerat lehernya.

“Mataku ada di mana-mana, Dewi. Setiap gerakanmu, setiap nafasmu… aku tahu.”

Ia menunduk, memungut pisau kecil itu dengan dua jarinya, lalu menatapnya sejenak sebelum menancapkan pandangannya ke mata Dewi.

“Kau tidak secerdas itu,” lanjutnya, senyuman tipis muncul di sudut bibirnya. dingin dan menghina.

“Dan kau terlalu berharga untuk dibiarkan mati dengan cara murah seperti ini.”

Dewi menatap Rafael dengan rasa bercampur. takut, marah, dan benci. Tapi ia tak bisa bicara. Tenggorokannya seperti terkunci oleh luka-luka yang belum sempat sembuh. Ia hanya berdiri di sana, menggigil, sementara Rafael menyelipkan pisau itu ke dalam saku jasnya.

Ia mendekat lagi, hingga napas hangatnya menyentuh wajah Dewi.

“Cobalah sekali lagi,” bisiknya,

“dan aku pastikan, Clara akan menjadi gantinya.”

Ancaman itu menusuk seperti sembilu.

Rafael menarik kerah kemeja Dewi untuk terakhir kalinya, kemudian melepasnya dengan kasar.

“Berpakaian lah yang rapi. Kau punya tamu sebentar lagi.”

Lalu ia melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Dewi yang terduduk lemas di lantai, menahan tangis yang kini mengalir tanpa bisa dicegah.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!