Tak pernah terpikirkan bagi Owen jika dirinya akan menikah dengan selebgram bar-bar semacam Tessa. Bahkan di sini dialah yang memaksa Tessa agar mau menikahinya. Semua ia lakukan hanya agar Tessa membatalkan niatnya untuk menggugurkan kandungannya.
Setelah keduanya menikah, Tessa akhirnya melahirkan seorang putri yang mereka beri nama Ayasya. Kehadiran Ayasya, perlahan-lahan menghilangkan percekcokan yang awalnya sering terjadi di antara Tessa dan Owen. Kemudian menumbuhkan benih-benih cinta di antara keduanya.
Empat tahun telah berlalu, satu rahasia besar akhirnya terungkap. Seorang pria tiba-tiba datang dan mengaku sebagai ayah biologis Ayasya.
Bagaimana kelanjutan rumah tangga Owen dan Tessa?
Apakah Ayasya akan lebih memilih pria yang mengaku sebagai ayah biologisnya dibanding Owen, ayah yang merawatnya selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ShasaVinta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Bercerai?!
Menceraikannya? berkali-kali Owen mengulang kata itu dalam benaknya. Meski tak sedang berada di Kutub Utara, namun rasanya kini tubuhnya tengah membeku.
“Apa yang kamu katakan, Tes? Jangan bercanda.” Owen tertawa setelahnya. Namun anehnya raut wajah pria itu tidak memperlihatkan kebahagiaan. Owen justru terlihat sedang berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Suara tawanya bergetar dan terkesan dipaksakan. Bukannya mencairkan situasi yang menegang, tawa Owen malah semakin membuat suasana semakin canggung.
“Aku sudah mengatakannya dengan sangat jelas, Bang,” jawab Tessa. “Sebaiknya kita akhiri rumah tangga ini. Kamu harus mencari kebahagiaanmu, Bang.”
Setiap kali selesai dengan ucapannya, Tessa selalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Tak sanggup untuk terus menatap wajah pria yang selama setahun ini berstatus menjadi suaminya. Air mata telah menggenangi pelupuk matanya, bersiap untuk segera ditumpahkan.
“Kebahagiaan apa lagi yang harus kucari. Lihat ke sana, Tess!” Owen mengarahkan pandangannya ke arah tempat tidur, di mana Ayasya sedang tidur dengan lelapnya.
“Kebahagiaanku ada di sana, Tes. Tak perlu aku mencari lagi,” ungkap Owen tulus dari lubuk hati terdalamnya.
Tessa menghela napasnya panjang. Dirinya pun bisa merasakan ketulusan Owen. Kejujuran suaminya terlihat jelas dari kedua sorot matanya. Tapi Tessa seperti tak mampu untuk bertahan lebih lama. Yang terpikirkan oleh Tessa saat ini hanya pergi untuk melanjutkan hidupnya atau bertahan di sana dan tak lama lagi ia akan menjadi gila.
“Tes, kumohon pikirkan lagi. Aku teramat menyayangi Ayasya. Ia sudah seperti darah dagingku sendiri.” Owen beranjak dari hadapan Tessa.
Owen memilih duduk di sisi tempat tidur, dengan lembut ia belai puncak kepala putrinya. “Saat ini, di setiap tujuan hidupku selalu terukir nama Ayasya. Dia sudah menjadi sumber semangatku,” akunya.
“Bisakah kau mengasihaniku,” pinta Owen dengan memelas.
Tak ingin goyah dengan keputusannya, Tessa memilih bungkam. Besarnya cinta Owen pada putrinya tak perlu diragukan lagi. Tapi bagaimana dengan cinta Owen padanya? Setahun hidup berumah tangga, Owen adalah ayah yang baik bagi Ayasya, tapi tidak sebagai suami.
“Bagaimana denganku? Apa kau tak kasihan padaku?” Akhirnya Tessa angkat bicara juga dan direspon dengan tatapan bingung dari suaminya.
“Pernahkah kau bertanya apakah aku bahagia selama ini? Pernahkah kau menyadari betapa tertekannya aku? Apa kau memang tak tahu atau kau pura-pura tak tahu jika kehadiranku dirumah ini tak pernah diharapkan?!”
Lega, sesak di dada Tessa sedikit berkurang ketika ia selesai mengutarakan sebagian kecil isi hatinya.
“Tessa … mengenai sikap Ibu dan Qanita, bukankah kita telah sepakat untuk lebih bersabar,” ucap Owen.
“Bersabar katamu? Maka hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Tak lama lagi aku akan mati atau aku akan berakhir gila,” ungkap Tessa.
“Tessa, tolong jaga bicaramu!” meski tak membentak Tessa, namun penekanan pada setiap kata yang terucap dari bibir Owen menyiratkan hal yang sama.
“Tidak, Bang! Aku tak akan menahannya lagi. Kau harus tahu bagaimana perlakuan ibu dan adikmu. Bukan hanya padaku, tapi juga pada Ayasya,” balas Tessa.
Owen kembali duduk di sofa, namun kali ini ia duduk tepat di sisi Tessa. Kedua tangannya meraih tangan istrinya untuk ia genggam. Tessa terperanjat saat Owen melakukan itu, sentuhan fisik yang jarang sekali pria itu lakukan.
“Apa yang tidak kuketahui, Tessa?” tanya Owen.
Hatinya sungguh gelisah saat ini, apakah penyebab Tessa meminta berpisah adalah karena ibu dan adiknya? batin Owen.
Luruhlah sudah air mata yang Tessa coba tahan sejak tadi. Bayangan masa-masa sulit saat kehamilannya kembali terbayang dalam benaknya. Bagaimana Tessa yang dulu sering mengalami kesulitan saat memasak, dan berakhir ia harus kelaparan. Belum lagi Ibu Damira tak pernah mengizinkan dirinya menggunakan peralatan elektronik. Hingga untuk mencuci, merebus air, atau menanak nasi harus ia lakukan sendiri tanpa bantuan alat-alat elektronik yang tersedia di rumah itu.
“Mungkin semua itu bukanlah masalah besar bagimu, Bang. Kau bisa saja mengatakan jika aku terlalu manja sebab mengeluhkan hal itu. Tapi, bagiku yang tak pernah melakukan hal itu sebelumnya … aku sungguh kesulitan melakukannya. Tak ada seorang pun yang membantuku atau mengajariku. Aku merasa sendiri, Bang.” Keluh Tessa, setelah panjang lebar menceritakan bagaimana dirinya yang bersusah payah menyesuaikan diri.
Owen bungkam melihat bagaimana terlukanya Tessa saat bercerita dengan berderai air mata. Dalam hati Owen menyalahkan dirinya, menyalahkan keputusannya telah membawa Tessa ke rumahnya. Tempat ternyaman baginya, rupanya bagai neraka bagi istrinya.
“Aku tak pernah mengeluhkan ini sebelumnya, Bang. Kupikir semua ada hikmahnya, waktu berlalu aku akhirnya bisa melakukannya dengan baik. Namun semua usahaku itu tak pernah berarti di mata Ibu, Bang. Baginya apa pun yang kukerjakan selalu saja salah. Aku tak tahu lagi harus bagaimana agar Ibu bisa menerima aku, Bang.” Tessa semakin terisak. Ibu muda itu menangis layaknya anak kecil yang sedang mengadukan perbuatan jahan temannya.
“Tes, maafkan aku. Aku tak pernah tahu begitu sulitnya kamu melalui itu semua. Terima kasih telah bersabar selama itu, Tes.” Owen membawa Tessa kedalam dekapannya.
Sentuhan fisik lainnya dari Owen yang baru ia rasakan. Dan dengan bodohnya, jantung Tessa berdegup dua kali lebih cepat saat berada dalam dekapan suaminya. Berlama-lama dalam dekapan Owen, maka sudah bisa dipastikan Tessa akan kembali jatuh. Jatuh kedalam lingkaran perasaan yang sejak dulu tak pernah terbalas.
Tessa segera melerai pelukan Owen. “Ya, dan sudah cukup aku bersabar, Bang.”
“Sudah cukup aku merasakan dihina oleh seluruh warga desa. Cap wanita murahan yang hamil di luar nikah sudah melekat padaku, Bang. Cemooh juga tatapan sinis dan meremehkan, sudah menjadi makanan sehari-hariku, Bang. Semua itu bagai bayangan bagiku,” ungkap Tessa seraya mengusap bulir air matanya yang mengalir di pipi.
Membayangkan semua sikap dan perlakuan warga desa padanya selama ini, sungguh menyayat-nyayat hati Tessa. Rasanya semakin perih, saat Ibu Damira dan Qanita bukannya membela atau melindunginya, keduanya justru semakin menyalahkan Tessa.
“Maafkan aku, Bang. Ini sudah menjadi keputusanku. Kita sebaiknya berpisah, aku dan putriku akan pergi jauh meninggalkan tempat ini. Aku tak bisa lagi bertahan lebih lama, Bang.”
“Lihat aku, Bang. Lihat betapa hancurnya aku saat ini karena tekanan batin yang kurasakan. Cukup aku yang merasakan semua ini, karena aku memang bersalah. Tapi tidak dengan putriku, dia tak salah sedikit pun. Aku tak ingin orang lain menghakiminya atas pebuatan burukku di masa lalu.”
Tessa menarik napas panjang lebih dulu. Keputusan ini juga begitu berat untuknya. “Sebelum Ayasya mampu memahami semua situasi buruk ini, aku akan membawanya pergi, Bang,” ungkap Tessa.
Owen menggeleng, tak terima dengan keputusan sepihak Tessa. “Tidak, Tessa. Tidak!”
“Kamu dan Ayasya tak akan ke mana pun. Aku akan memikirkan jalan keluar lain,” tawar Owen.
“Memintaku bersabar dan lebih mengerti lagi. Begitu?!” tantang Tessa.
Sabar? Sudah cukup, batin Tessa. Jika ia menumpuknya maka tumpukan kesabarannya itu entah sudah setinggi apa, pikirnya. Mengerti? Jika ia yang terus mengerti, lantas kapan dirinya dimengerti, keluhnya dalam hati.
“Jika kau pergi, maka aku yang akan mati. Ini sama saja kau ingin membunuhku secara perlahan, jika kau memisahkan aku dengan putriku,” aku Owen. “Kukatakan padamu, Tes. Separuh kehidupanku, adalah Ayasya.” Tegas Owen.
“Jangan pernah meminta aku untuk menceraikanmu, karena itu tak akan mungkin kulakukan. Bahkan di dalam mimpi, jangan pernah berpikir untuk pergi dariku,” ungkap Owen.
“Jika memang harus meninggalkan tempat ini, maka kita akan pergi bersama,” imbuhnya.
“Maksudmu? Kau akan ikut pergi dengan kami?” tanya Tessa. “Tidak, Bang. Aku tak ingin merusak hubungan ibu dan anak,” tolak Tessa.
Owen lagi-lagi menggeleng. “Tak akan. Sebab kalian berdua yang akan ikut denganku. Tapi kumohon beri aku sedikit waktu untuk menyiapkan segalanya,” pinta Owen.
“Sudah waktunya, kalian berdua akan ikut denganku ke Kota. Kita akan tinggal di sana, membangun rumah kita sendiri. Aku yakin tak akan mudah, tapi aku, kamu, dan Ayasya akan melaluinya bersama.”
“Kamu, mau kan?”
...————————...
nawra wanita licik, ben..
wah alfio serius kamu suka ama qanita aunty dari putri mu, takdir cinta seseorang ga ada yang tau sih ya.
kak shasa setelah ini kasih bonchap kak pengen tau momen tessa melahirkan anak kedua nya, pengen tau raut bahagia dari owen, aya dan semua menyambut kelahiran adik nya aya...