Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
“Apa yang akan anda lakukan pada hidup anda kalau sepanjang hidup, anda disalahkan karena suatu kejadian?” pertanyaan itu terlontar dari Marvin setelah selama beberapa saat terdiam dan tidak menanggapi Bianca. Hari ini pria itu memutuskan untuk hadir pada sesinya yang sudah terjadwal.
Bianca tersenyum sebelum akhirnya merespon pertanyaan pria di hadapannya, “Itu merupakan pertanyaan yang sarat akan makna, apa yang membuat anda menanyakannya?”, Marvin terdiam memikirkan jawaban apa yang akan ia berikan, ia hanya membutuhkan jawaban atau pandangan dari orang lain. Bianca yang melihat Marvin hanya terdiam melanjutkan pertanyaannya, “Apa saat ini anda merasa sedang berada pada posisi itu, merasa terus disalahkan akan sesuatu?” Marvin menatap wajah terapis di hadapannya sesaat sebelum akhirnya memejamkan matanya menimbang apakah ia perlu menceritakan semuanya pada wanita di hadapannya itu.
“Entahlah.” Jawaban itulah yang akhirnya keluar dari mulut Marvin. “saya hanya merasa lelah.” Lanjutnya sambil menghembuskan nafas pelan. Bianca mengangguk pelan merespon pernyataan Marvin yang masih menyiratkan keengganan untuk bercerita. Bianca memahami tidak semua orang mau membuka masa lalunya terutama menceritakan luka kepada orang baru.
“lelah karena terus menanggung sesuatu yang tidak pernah selesai.” Bianca melontarkan kalimat tersebut membuat Marvin membuka matanya, kalimat itu tidak terdengar seperti pernyataan ataupun pertanyaan.
“lelah karena seolah tidak ada pengampunan disana.” Lagi helaan nafas terdengar ketika Marvin mengatakan hal tersebut.
“Pengampunan...” ucapan Bianca tergantung di udara, membuat klien di hadapannya menunggu apa kalimat Bianca selanjutnya. “menurut anda, dari siapa anda mengharapkan pengampunan itu?” Marvin kembali terdiam dan memejamkan mata, menghembuskan nafasnya kasar. Seketika keheningan kembali meliputi ruangan itu.
Marvin menyandarkan tubuhnya berusaha memberikan dirinya ruang untuk merasa rileks , di balik matanya yang terpejam ingatan lama kembali datang seperti kabut hitam yang tidak pernah benar-benar menghilang. Marvin menyadari dirinya belum siap menceritakan ini kepada wanita yang berstatus sebagai psikolog . Bayangan wajah ibunya yang menangis namun menatapnya dengan tajam dan penuh kebencian terlintas di pikirannya ditambah ayahnya yang tidak berusaha menengahi tapi seperti memberikan dukungan penuh kepada ibunya dan mengabaikan dirinya. Marvin mulai berpikir ia mengharapkan pengampunan dari siapa? Apakah adiknya atau mungkin ibunya atau bahkan dari ayahnya? Pria itu tetap tidak menemukan jawaban dari siapa ia mengharapkan pengampunan itu, ia tidak dapat memberikan jawaban yang ditunggu oleh Bianca.
Bianca memerhatikan kliennya yang terlihat bergulat dengan pikirannya, raut wajah pria itu menyiratkan sesuatu yang sedang ia pertimbangkan, dengan sabar Bianca menunggu dan memberikan Marvin waktu untuk menyelesaikan pergulatan dalam pikirannya dan memberikan ruang agar kliennya bisa merasa lebih tenang.
“tidak apa, Pak. Pertanyaan tadi bisa dijadikan sebagai refleksi dan bisa Bapak jawab sendiri dulu dan mungkin pada sesi yang lebih memungkinkan bisa di sharingkan kepada saya.” Ujar Bianca lembut ketika melihat raut frustrasi yang tergambar semakin jelas pada wajah tegas pria di hadapannya. “Mungkin pengampunan bisa dimulai dari diri sendiri kepada diri sendiri terlebih dahulu.” Saran Bianca sekaligus sebagai penutup dari sesi hari itu.
Setelah sesi berakhir dan Marvin meninggalkan ruangannya, Bianca menyandarkan dirinya pada sofa, menghela nafas seolah meluapkan rasa lelah dalam dirinya, hari ini memang hanya satu klien tapi Bianca bisa merasakan luka yang begitu dalam dan terlalu lama dibiarkan. Tanpa Bianca sadari saran pada penutup sesi tadi bukan hanya menjadi saran yang ditujukan kepada Marvin tapi juga kepada dirinya.
*
Pertanyaan dan saran dari Bianca masih terngiang di telinga Marvin dan terus mengganggu pikirannya. Ia sadar bahwa sampai hari ini ia tidak berhenti menyalahkan kejadian yang menimpa adiknya dan merasa terus bersalah dengan renggangnya hubungan keluarga yang tercipta karena peristiwa tersebut. Bayangan derasnya air sungai, tubuh adiknya yang sudah dingin dan kaku, tangisan dan tatapan menyalahkan dari ibunya, serta tekanan dari papanya yang tidak pernah hadir untuk membelanya.
Dua puluh satu tahun Marvin hidup dengan perasaan bersalah, menyesali keteledorannya saat itu, dan menyebabkan hidupnya penuh tekanan yang menyesakkan. Kejadian itu pula yang menyebabkan ia kehilangan pelukkan hangat dan perhatian dari ibunya. Dua puluh satu tahun juga Marvin berjuang hidup di tengah orangtua yang tidak pernah mendukungnya, kehangatan di rumah menghilang sejak peristiwa itu terjadi.
Permohonan maaf tidak pernah berhenti ia sampaikan tapi ia selalu merasa tidak ada penerimaan yang sama, permohonan maafnya hanya sebuah angin lalu seiring berjalannya waktu.
Marvin memarkirkan mobilnya di parkiran sebuah restoran yang menjadi tempat janjiannya dengan Saka. Dengan malas Marvin memasuki restoran yang tidak terlalu ramai tapi cukup penuh itu, menyampaikan kepada pelayan meja atas nama Saka, dan mengikuti pelayan mengantarnya menuju sepupunya itu.
Langkahnya terhenti dan ia hampir berbalik arah ketika mendapati sepupunya tidak sendirian, ada tante Intan , mamanya Saka disana. Duduk bersebrangan dengan anaknya.
Marvin mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang mengantarnya dan mengambil tempat duduk di sebelah Saka.
“Hai, tante.” Marvin menyapa tante Intan, lalu menyapa sepupunya itu, “udah lama, Ka?”
“Engga juga.” Jawab Saka singkat lalu kembali fokus dengan ponsel yang sedari tadi digenggamnya itu.
“Saka bilang hari ini kamu ada jadwal konsultasi dengan Psikolog, bagaimana konsultasinya?” Tante Intan tidak menyapa keponakannya balik, ia hanya tersenyum kemudian melontarkan pertanyaan yang membuat Marvin sedikit melirik sepupunya yang sibuk dengan ponselnya itu. Marvin tahu sekarang tujuan dari ajakan sepupunya untuk makan malam bersama adalah karena permintaan tante Intan yang mendapatkan informasi tentang konsultasi yang dijalani Marvin.
Marvin kembali menatap tantenya itu sebelum akhirnya menjawab, “tidak banyak membantu, tan.” Jawaban itu berhasil membuat dahi wanita dihadapannya berkerut.
“kenapa?” tanya tante Intan lagi, Marvin tidak langsung menjawab karena pelayan sudah datang mengantarkan pesanan Saka dan mamanya, Marvin pun memesan makanan sebelum pelayan itu melangkah pergi.
“Aku tidak bisa dengan mudah menceritakan hal ini kepada orang baru, tan.” pengakuan yang terlontar dari mulut Marvin dapat dipahami tantenya, Intan menyaksikan bagaimana Marvin menyimpan luka dan berjuang sendirian selama ini, merasa tidak memiliki dan dimiliki siapapun jadi ia tahu jelas susah sekali terbuka dengan orang lain terutama orang yang baru dikenalnya.
“tapi kamu harus mencoba, Vin.” Kali ini suara Saka terdengar mengikuti pembicaraan ibu dan sepupunya. Marvin hanya mengangguk tanda setuju.
“Boleh Marvin tanya sesuatu, tan?” tanya Marvin ketika pelayan yang mengantarkan makanannya telah pergi. Intan mengangguk dan menunggu keponakannya mengajukan pertanyaan, “menurut tante, dari kejadian yang aku alami darimana aku mengharapkan pengampunan?”
“tante tidak tahu jawaban seperti apa yang tepat untuk pertanyaanmu, nak. Peristiwa itu sudah lama terjadi, ayah dan ibumu sudah menerima kematian adikmu dan pengampunan seharusnya sudah ada.” Jawab Intan ragu, ia juga tidak tahu dari siapa seharusnya Marvin mengharapkan pengampunan. Intan sering mengatakan berulang kali bahwa kedua orang tuanya sudah menerima kejadian itu dan Marvin tidak perlu terus berada di lingkaran rasa bersalahnya. Tapi mungkin keluarga itu sudah sulit merasakan kehangatan yang telah lama hilang.
Marvin tidak merespon tantenya karena ia tahu tidak ada jawaban disana, tantenya selalu berusaha mengajaknya untuk menemui orang tuanya tapi bersikeras Marvin menolak kembali ke tempat dimana ia tidak diterima.
“temui ayahmu, nak.” Suara Intan kembali terdengar, Marvin hanya menggeleng lemah sebagai jawaban ia tidak akan datang. Bukan karena tidak ingin melihat ayahnya tapi karena takut akhirnya hanya penolakan yang ia dapatkan.
“Biar aku mendapatkan kabar secara berkala saja tan dari Saka.” Jawab Marvin sambil menyuapkan makanan ke mulutnya. Ia menyayangi ayah dan ibunya tapi ia takut ayah dan ibunya justru tidak mengharapkan kedatangannya.
“Ayahmu merindukanmu, ia juga semakin tua dan terus menunggu kamu datang.” Tutur Intan lembut berusaha melunakkan hati keponakannya.
“Kenapa tante tidak pernah menyalahkanku atas kejadian itu?” tanya Marvin menolak merespon bujukkan tantenya.
“Itu semua takdir, Marvin. Kenapa tante harus menyalahkan kamu?” Jawab tante Intan dengan sabar, jawaban yang sudah Marvin ketahui karena ini bukan pertama kalinya ia menanyakan hal serupa kepada tantenya. Marvin terdiam, memerhatikan wajah tante Intan yang mulai menua, tante yang memberinya perhatian dan rasa sayang selama ini, menggantikan kehangatan yang seharusnya ia dapatkan dari ibunya.
“Terima kasih, tante.” Akhirnya hanya ucapan lirih itu yang terlontar dari mulut Marvin, tante Intan hanya tersenyum lembut menyalurkan kehangatan yang Marvin butuhkan.
“tante sudah selesai, tante pamit pulang dulu ya, Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri.” Ucap Intan ketika ia sudah menyelesaikan makannya dan memutuskan untuk pulang. “Mama pulang dulu ya, Saka. Kamu temanilah Marvin.” Ucap Intan kepada putranya sebelum berdiri dari kursinya.
“pertimbangkan untuk menjenguk ayahmu, nak.” Pinta Intan kepada Marvin sebelum akhirnya beranjak meninggalkan anak dan keponakannya.