Selma, pewaris utama keluarga konglomerat terpandang, dikhianati di malam pengantinnya. Dengan mata kepalanya sendiri, Selma menyaksikan suami yang dia cintai malah beradu kasih di atas ranjang bersama saudari tirinya.
Hati Selma semakin pedih mengetahui ibu tiri dan kedua mertuanya juga hanya memanfaatkannya selama ini. Semua aset keluarganya direnggut sepihak.
"Kalian semua jahat, kalian tega melakukan ini..."
Di tengah laut yang disertai badai dan hujan deras, Selma dibuang oleh suami dan adik tirinya, lalu tenggelam.
Namun, sebelum air menguasai penuh paru-parunya, seorang perempuan sekecil tinkerbell bercahaya biru muncul di hadapannya dengan suara mekanis yang bergema di kepala Selma.
[Ding! Sistem Waktu Eri Aktif. Apakah Anda ingin menerima kontrak kembali ke masa lalu dan membalas dendam?]
IYA!
Begitu Selma membuka mata, dia terbangun di tubuhnya saat berusia 16 tahun. Di kesempatan keduanya ini, Selma berjanji akan menghancurkan semua orang yang mengkhianatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Tombol Mute Alami
Selma membawa kursi rodanya perlahan-lahan memasuki nurse station, seperti biasa Eri mengambang di samping bahu gadis itu.
Selma menyapu sekitar, terlihat beberapa perawat sibuk mengetik laporan di layar komputer. Mata almond gadis itu kemudian tertuju pada papan digital yang menampilkan jadwal operasi. Sehingga dia menghentikan kursi roda di dekat meja utama.
"Nggak ada jadwal operasi malam ini, berarti pasien yang dimaksud itu butuh operasi darurat, tapi siapa?" gumam Selma.
Gadis itu kemudian memutar kursi rodanya dan mendekat ke sisi meja utama.
"Permisi, suster," sahut Selma pada seorang suster yang berdiri di depan sebuah meja.
"Halo, adek, ada apa? Butuh sesuatu? Mau melaporkan tombol nurse callnya yang tidak berfungsi?"
"Oh, itu… nggak ada masalah kok, Sus. Saya cuma mau nanya apa saya bisa akses data pasien bangsal umum?"
"Mohon maaf, yah, dek, kami tidak bisa memberikan informasi soal itu."
"Oh gitu, makasih, yah, Sus."
"Saya minta suster lain mengantar adek kembali ke kamar, yah."
"Nggak perlu, Sus, saya bisa sendiri, makasih." Gadis itu menggerakkan kursi rodanya pelan.
Selma kemudian menghela napas panjang dan menoleh pada Eri, menyipitkan mata. "Aku nggak dikasih hadiah skill hacking gitu? Skill kayak gitu works banget di situasi sekarang."
"Belum saatnya, Selma," jawab Eri santai.
"Jadi, gimana dong caranya aku bisa tahu pasien yang bakalan ditunda operasinya itu siapa?"
"Seperti yang Eri katakan sebelumnya, pakai kemampuan yang kamu punya Selma."
Sebuah lampu pijar tak kasat mata seola menyala di atas kepala Selma. "Oh iya! Aku kan punya tiga kemampuan hasil misi pertama dan hadiah awal."
Eri manggut-manggut.
Selma menghentikan kursi rodanya. "Eri, aktifkan fitur baca baca pikiran."
Si Eri kecil itu kemudian melayang mengitar wakah Selma. "Kamu tahu risiko penggunaannya, kan, Selma?"
Selma memutar bola matanya malas. "Iya, tahu."
[DING]
[Fitur baca pikiran diaktifkan]
[Durasi penggunaan harian tersisa 1 jam 48 menit]
Seketika Selma merasakan pening di kepalanya, apalagi ketika suara-suara di sekitarnya mulai penuh di kepala gadis itu. Suara suster, suara pasien, suara orang lalu-lalang terasa membanjiri otak Selma.
Eri sedikit khawatir. "Selma, kamu tidak perlu memaksakan diri."
Tapi, Selma berusaha untuk mengendalikan kemampuannya. Dia mencoba menutup telinga tapi percuma, suara-suara itu masuk di pikirannya.
Eri kemudian terbang ke depan Selma. "Sudah, Selma, kalau kamu tidak mampu, lebih baik nonaktifkan dulu kemampuannya."
Selma menundukkan kepalanya lalu mencengkram kursi rodanya.
Suara-suara itu saling bertabrakan di kepala Selma. Rasanya pikiran Selma mau pecah. Napasnya terengah-engah karena debaran jantungnya yang sangat cepat.
Eri juga tidak bisa menghentikan hal itu kecuali Selma yang meminta untuk menonaktifkannya.
Lalu –
Sebuah suara di luar pikiran Selma masuk ke pendengaran gadis itu.
"Kamu nggak papa?"
Selma mendongak pelan dan menemukan sosok cowok berhoodie dan memakai masker hitam berdiri di hadapannya. Cowok yang dia tidak sengaja tabrak tadi.
Dan, tidak ada suara dari pikiran cowok itu. Hening. Tidak terbaca.
Degup jantung Selma melambat dan perlahan stabil. Suara-suara yang menghujani pikirannya juga menjauh.
"Selma, kamu tidak apa-apa?" tanya Eri.
"Iya, Eri, sekarang nggak papa," jawab Selma dalam hati. Dia masih menatap cowok itu. Kehadirannya seperti tombol mute alami di pikiran Selma.
"Aku nggak papa, kok," jawab Selma pelan pada sosok tinggi tersebut.
"Wait here," kata cowok itu singkat dan berlari sekencang mungkin dan beberapa saat kembali dengan membawa sebuah botol air minum.
Selma terpaku beberapa saat sebelum menerima botol air yang sudah dibuka tutupnya. "Makasih."
"Hm," sahut cowok itu singkat. Suaranya dalam dan seksi. Selma jadi penasaran dengan wajah di balik masker itu.
Misterius.
Dan sialnya Selma tidak bisa membaca pikiran cowok itu. Kali aja kan dia punya first impression yang sama dengan Selma. Terpukau.
Gadis itu menyesap air dalam botol dan netranya masih tertuju pada cowok itu.
Eri kemudian melayang di dekat wajah Selma. "Waktu misinya terus berjalan, Selma. Apa kamu mau membuang-buang waktu dengan mengagumi stranger?"
"Oh iya! Aku sampe lupa kalau punya misi karena stranger ganteng ini."
"Mau aku anterin ke ruangan kamu?" tanya cowok itu.
Selma menggeleng. "Nggak usah, aku masih ngurusin sesuatu."
"Oke, aku duluan," kata cowok itu, segera berlalu.
"Gosh! Dia pergi gitu aja tanpa ngajakin kenalan?" ketus Selma.
"Tapi yaudah sih, aku di sini juga buat ngelesain misi."
"Jadi, bagaimana, Selma, apa kamu bisa mengendalikan kemampuan membaca pikiran sekarang?"
"Iya, udah bisa, EZ kok." Gadis itu lanjut menjalankan kursi rodanya mendekat ke bangsal umum dan mulai membaca pikiran-pikiran para pasien ataupun keluarga mereka.
Dan, Selma menangkap suara rintihan.
"Ini dia, ini pasti pasien yang butuh dioperasi segera."
Selma lalu membawa kursi rodanya masuk ke bangsal umum tapi seorang suster menahannya.
"Permisi adek, ini sudah jam istirahat malam, harusnya adek kembali ke kamar. Adek juga dari ruangan VIP kan? Harusnya adek tidak di sini."
"Tapi, Sus, ada yang butuh bantuan di sana," kata Selma.
"Iya, kami yang akan mengurus semuanya yah, dek."
Selanjutnya, Selma melirik seorang dokter yang berjalan melewatinya.
Bukannya kembali ke kamar, Selma masih setia di posisinya. Dia harus mendengarkan pikiran si dokter itu. Sementara, Eri duduk di pundak Selma sambil menggosok kuku kecilnya. Dan, beruntungnya dia, Selma dengan cepat menguasai kemampuannya itu. Jadi dia sudah bisa memfilter suara pikiran siapa dan kapan mau mendengarnya.
"Anak ini menyusahkan saja, lebih baik saya mendahulukan anak pejabat tadi. Lumayan saya bisa mendapatkan uang lebih."
Selma mendengus kesal. "Dasar dokter korup."
Begitu dokter bernama dokter Jordi itu keluar dari bangsal umum, Selma langsung menghadangnya.
"Siapa lagi anak ini?" kata Dokter Jordi dalam hati.
"Kenapa dokter tidak mengoperasi pasien di bangsal umum itu segera?"
"Dia hanya mengalami nyeri biasa, dia tidak butuh operasi dan saya harus menangani pasien yang lebih darurat."
"Oh ya? Darurat atau karena punya uang lebih?"
Rahang dokter Jordi mengetat, dia menoleh kanan kiri, khawatir ada yang mendengar percakapan itu. Tapi, dia kemudian tersenyum pada Selma dan menoleh lalu memanggil seorang suster.
"Sus, bawa adik ini kembali ke kamarnya," perintah dokter Jordi.
Selma mendelik ketika suster memutar kursi rodanya. Tapi, dia dengan cepat menekan panel yang otomatis membuat kursi rodanya bergerak sendiri.
Selma menyusul dokter Jordi itu.
"Tunggu!"
Dokter Jordi berbalik frustasi. "Ada apa lagi, adik kecil? Saya harus segera melakukan operasi pada pasien penting."
"Anda harus segera mengoperasi pasien di bangsal umum tadi, dok."
"Saya sudah memberi dia obat pereda nyeri, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, saya dokter, saya lebih tahu kondisi pasien saya."
Dokter Jordi berjalan cepat meninggalkan Selma. Sementara gadis itu menghela napas kesal. "Apa semua laki-laki inisial J emang brengsek semua yah."
[DING]
[Waktu misi terisa 1 jam 25 menit]
"Kalau pasiennya tidak segera dioperasi dalam jangka waktu itu, maka misi kamu gagal, Selma," kata Eri, sosok mungil itu berdiri di paha Selma.
"Iya, Eri, aku tau, sekarang aku lagi mikirin caranya."
Dan, sia-sia, Selma coba memberitahu suster mengenai pasien itu dan meminta dokter lain saja yang bertindak tapi berakhir Selma diantar paksa ke kamarnya.
[DING]
[Waktu misi tersisa 1 jam 2 menit]
Selma bersender di ranjang sambil memejamkan mata rapat-rapat. Sesaat berikutnya, dia menaikkan kelopak matanya, menoleh pada Eri yang santai tidur di kasur hologramnya.
"Eri, kamu nggak bisa bantuin aku mikir gitu atau pakai kekuatan kamu kek untuk hack atau apa gitu?"
"Hoaammm, Eri belum bisa melakukan itu, Selma, kamu masih level 1."
"Lagipula, kamu bisa membiarkan misinya gagal dan menerima hukuman Eri."
"NGGAK!"
"Aku nggak masalah kena hukuman kamu, tapi ini soal nyelametin pasien itu, this is about someone’s life."
"Kalau begitu berusaha untuk pikirkan solusinya Selma."
Selma menggigit bibirnya. Mungkin dengan pengaruh papanya dia bisa melakukan sesuatu. Selma meraih hapenya di nakas lalu melakukan panggilan. Tapi, nomor yang dituju sedang tidak aktif.