Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke kongo, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggilan MONUSCO dan lima menit di meja Pangdam
Pelatihan pra-penugasan di Sentul telah selesai. Dua bulan pertempuran internal, memaksakan logika protokol PBB untuk menggantikan insting tempur yang selama ini menjadi nafas. Sekarang, di Mabes TNI Cilangkap, proses pemurnian itu dikukuhkan. Hari ini adalah pelepasan resmi Pasukan Garuda, sebuah ritual di mana kehormatan nasional didudukkan di atas kepala perwira terbaik yang terpilih.
Lapang utama Markas Besar TNI terasa kaku dan agung. Barisan Pasukan Garuda berdiri tegap di bawah terik Jakarta, tetapi aura disiplin mereka memancarkan dinginnya baja.
Lettu Kalea Aswangga, yang berdiri di barisan nomor dari depan, merasakan Baret Biru yang disematkan adalah beban berat dan kehormatan yang ia pilih. Ia telah memilih jalan ini, menanggalkan sisa-sisa luka lama, menggantinya dengan tanggung jawab global yang dingin.
"Kalea, " bisik Lettu Satria di sebelahnya, suaranya teredam di balik kolar. "Kau terlalu sempurna, Kal. Di kamusmu, musuh hanya datang dari depan. Sementara di Kongo, musuh bisa berupa keadilan yang kau temui di jalan buntu. Kau harus ingat, Protokol PBB bukan izin untuk berperang. Itu adalah garis pertahanan terakhirmu."
Kalea hanya membalas dalam hati. Perang sejati selalu ada di dalam, Bang Satria. Dan malam terakhir di Sentul, aku sudah menang.
Amanat Panglima selesai. Suara denting sepatu lars memecah keheningan saat barisan dibubarkan. Setiap perwira bergerak menuju garis demarkasi emosi, Area penjemputan keluarga.
Di sudut lapangan, Letnan Kolonel (Purn.) Aswangga mencengkeram lengan istrinya. Ia memejamkan mata, merasakan aroma aftershave yang dikenalnya. Ia menahan napas untuk tidak berkata apa-apa.
"Lima belas bulan, Pa. Negara yang kita dengar di berita karena konflik dan wabah," bisik Bu Aswangga, suaranya parau. "Kenapa harus seberat ini kehormatan yang ia cari?"
"Ini adalah harga dari pilihan hidup yang besar, Ma," jawab Pak Aswangga. Dia melihat putrinya berjalan mendekat. Sorot matanya menunjukkan dia telah menempuh perjalanan batin yang menyakitkan, menerima bahwa putri yang ia tempa menjadi baja kini harus diuji di tungku paling panas. "Kita hanya perlu percaya pada baja yang kita bentuk."
Kalea mendekat. Ia memeluk ibunya, merasakan rapuhnya tubuh itu yang bergetar. Kemudian beralih ke ayahnya, membiarkan kekakuan lengan pensiunan perwira itu meredam kegugupannya.
"Kamu yakin akan pergi nak?" tanya sang ibu dengan mata berkaca kaca.
"Mama." Kalea menggenggam kedua tangan sang ibu. "Jangan sedih dong, lihat lah putri mu ini, gak bangga apa mama liat Lea yang dulu kemana mana pasti ngadu ke mama, ke bang Byan. Hari ini dia berdiri dengan mimpinya dengan harapan yang dulu angan angan kini jadi realita yang sangat indah."
"Tapi sayang itu Kongo, negeri yang dimana konflik dan wabah bekerja sama," ujar sang ibu.
"Mama... Mama kan bukan pertama kali nganter prajurit mama satgas. Mama pernah antar papa, mama juga pernah antar bang Byan. Tapi masak mama pas antar Lea malah cengeng sih. Cuman lima belas bulan ma, setelah itu aku akan pulang dengan selamat. Dan...." Ia menggantung kalimatnya membuat pas Aswangga mengerutkan keningnya.
"Dan?" tanya pak Aswangga dengan penuh keheranan.
"Carikan calon suami buat Lea, anak gadis mama ini udah jadi bujang lapok soalnya," ujar Kalea membuat pak Aswangga dan Bu Aswangga tertawa menarik hidung Kalea.
"Ngomong ngomong bang Byan gak bisa datang ya?" tanya Kalea dengan sedikit sedih.
"Kan kamu tau Le, Abang mu itu lagi mimpin batalionnya buat latihan prasatgas soalnya dia bakal berangkat ke Papua 4 bulan lagi." ujar sang Ayah.
Tapi.
Tiba-tiba, sebuah mobil dinas hitam berhenti, bukan di area parkir, melainkan agak jauh dari kerumunan, memecah kesopanan markas. Mayor Byantara melangkah keluar. Ia mengenakan seragam dinas harian, bukan upacara, seolah ia baru saja keluar dari ruang rapat genting. Wajahnya tampak lelah, tetapi matanya memancarkan fokus yang berbahaya.
Ia memberi hormat kilat pada ayahnya. "Maaf, Papa, Mama. Aku harus bertarung di ruang Pangdam Dulu. Supaya bisa untuk lima menit yang tidak boleh terlambat ini."
Lalu, pandangannya langsung tertuju pada Kalea. Tanpa aba aba Byantara langsung menarik adiknya ke dalam pelukan. Itu bukan pelukan kasih sayang, melainkan pelukan penguncian. Sebuah cengkeraman yang begitu kuat hingga Kalea merasakan sesak, tasel Baret Birunya bergesekan dengan bintang di bahu Mayor.
Byantara memejamkan mata. Ia membiarkan Firasat buruk yang selalu ia anggap takhayul itu berteriak tanpa suara. Ia merasakan Kalea bukan hanya meninggalkan daratan Indonesia, tetapi meninggalkan garis takdir yang ia tidak kenali sama sekali.
"Abang... Aku benar-benar tidak bisa bernapas. Aku harus kembali ke barisan," bisik Kalea, terkejut.
Byantara melonggarkan pelukannya. Namun, kedua tangannya tidak beranjak. Tangan Byantara mencengkeram bahu Kalea, persis seperti cara ia memegang senapan laras panjang saat menembak target vital. Matanya, mata seorang perwira yang terbiasa melihat kehancuran dan trauma, kini dipenuhi kesedihan yang asing, yang ia sembunyikan dari semua orang kecuali adiknya.
"Dengar, Kalea. Dengar baik-baik," suara Byantara berbisik rendah, mengandung getaran emosi yang ia tahan mati-matian. "Aku datang ke sini bukan untuk bilang hati-hati. Aku datang untuk memberikan sebuah Perintah Komando."
"Apa itu, Bang?"
Byantara menarik napas dalam, membiarkan udara Jakarta yang panas membakar paru-parunya. "Aku merasa hari ini adalah perpisahan yang besar. Aku merasa seperti melepaskanmu ke medan yang lebih besar dari tugas PBB. Aku merasa seperti melepaskanmu kepada makna sejati dari pengorbanan yang takkan pernah aku pahami."
Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, hanya telinga Kalea yang bisa mendengarnya.
"Perintah ku, Pulanglah dengan selamat. Pulanglah dengan jiwa yang utuh. Jangan biarkan kekacauan di Kongo merusak kehormatan batinmu. Itu tidak sebanding dengan Baret Biru mana pun. Satu-satunya yang penting adalah kembali ke rumah Asalmu."
Mata Kalea berkaca-kaca. Ia melihat Mayor Byantara, Komandan yang biasanya dingin dan tak tersentuh, kini rapuh di bawah matahari Cilangkap. Ia menggenggam jemari kakaknya.
"Aku janji, Bang. Aku akan kembali utuh, jiwa dan raga," katanya, suaranya tegas seperti baja yang ditempa. "Dan aku akan kembali untuk menuntut janji pernikahanmu dengan Swasmita saat aku pulang."
Byantara tersenyum, senyum pahit yang melahirkan janji. "Itu aku anggap sebagai perintah, Lettu Kalea Aswangga. Sekarang pergilah. Tugasmu menanti."
Kalea memberi hormat tajam. Disiplin telah memenangkan pertarungan melawan air mata. Ia berbalik, kembali ke barisan.
Barisan Pasukan Garuda bergerak disiplin menuju deretan Bus TNI yang siap mengantar mereka ke landasan pacu. Mereka meninggalkan keagungan institusi Cilangkap dalam keheningan yang agung.
Saat Kalea menaiki anak tangga bus, ia menoleh ke belakang. Di sana, tiga siluet kehormatan berdiri tegak. Pak Aswangga mewakili Fondasi Militer. Bu Aswangga mewakili Pengorbanan Batin. Dan Mayor Byantara, yang berdiri agak terpisah, mewakili Janji dan Firasat yang Menggantung. Tatapan Byantara adalah yang paling menusuk, sebuah pertaruhan emosional yang telah ia bayar tunai dengan lima menit waktu yang direbut dari Pangdam.
Kalea membalas tatapan itu dengan senyum yang dipaksakan tegas, sebuah janji tanpa kata yang kini ia bawa di bawah Baret Biru.
Di dalam bus yang berderu, ia memejamkan mata.
Langit MONUSCO memanggil. Kekacauan Kongo menantang kehormatan yang telah ia tempa selayaknya sebuah baja. Ia telah memilih jalan pengorbanan, menukar cinta dengan kehormatan baret, dan kini, ia harus memenuhi janji.