NovelToon NovelToon
NIKAH DADAKAN DEMI PARASETAMOL

NIKAH DADAKAN DEMI PARASETAMOL

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: Anjay22

Amelia ,seorang janda yang diceraikan dan diusir oleh suaminya tanpa di beri uang sepeserpun kecuali hanya baju yang menempel di badan ,saat di usir dari rumah keadaan hujan ,sehingga anaknya yang masih berusia 3 tahun demam tinggi ,Reva merasa bingung karena dia tidak punya saudara atau teman yang bisa diminta tolong karena dia sebatang kara dikota itu ,hingga datang seorang pria yang bernama Devan Dirgantara datang akan memberikan pengobatan untuk anaknya ,dan kebetulan dia dari apotik membawa parasetamol ,dan obat itu akan di berikan pada Reva ,dengan syarat ,dia harus mau menikah dengannya hari itu juga ,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

perhatian Devan

Malam ini, Amelia belajar sampai larut. Ia menonton video tutorial manajemen proyek dasar, membuat checklist harian, bahkan menulis skenario percakapan jika ada vendor yang marah karena keterlambatan dokumen.

Bayu sudah tidur, tapi ia masih duduk di meja kecil di kamarnya, ditemani secangkir teh jahe dari Ibu Devan.

“Kamu nggak capek, Nak?” tanya Ibu Devan, menyodorkan sepotong kue lapis.

“Capek, Bu, tapi ini kesempatan. Aku nggak mau sia-siakan.”

Ibu Devan mengelus rambutnya. “Kamu memang luar biasa nggak pernah menyerah, meski hidup nggak adil.”

Amelia tersenyum. "Ah ,ibu bisa aja ."

"ya sudah ,ibu kekamar dulu ya ,kamu jangan memakskan diri kamu ,kalau lelah kamu istirahat ."

"Iya bu,ibu juga istirahat !"

Kemudian ibunya Devan keluar dari kamar Amelia ,dan Amelia kembali meneruskan pekerjaannya .

Malam semakin larut Amelia akhirnya menyerah pada kantuk dan tertidur dengan buku catatan masih tergenggam di tangan, Ibu Devan diam-diam masuk ke kamarnya. Perlahan, ia selimuti tubuh Amelia yang agak kedinginan, lalu mematikan lampu meja meninggalkan hanya cahaya redup dari luar jendela.

Ia berdiri sejenak, memandang wajah Amelia yang damai dalam tidur. Ada lelah di sana, tapi juga ketenangan. Seperti seseorang yang akhirnya menemukan tempatnya meski harus berjalan jauh dan terluka dulu.

“Kamu nggak sendiri lagi, Nak,” bisiknya pelan, lalu pergi ke dapur.

Di dapur, Devan masih duduk di meja makan, laptop terbuka, tapi matanya menerawang ke luar ke arah kamar Amelia.

Ibu Devan menyeduh teh jahe untuk dirinya sendiri, lalu duduk di seberang anaknya.

“Kamu belum tidur juga?” tanyanya santai, meniup uap tehnya.

Devan tersenyum kecil. “Masih mikirin proyek besok. Tapi sebenernya, aku nungguin dia tidur.”

Ibu Devan mengangkat alis, pura-pura kaget. “Oh? Sejak kapan kamu jadi penjaga malam?”

Devan tertawa pelan. “Bukan gitu, Bu. Cuma kadang aku khawatir. Dia kerja keras banget. Takutnya nanti jatuh sakit.”

Ibu Devan menatap anaknya lama. Dulu, Devan dikenal dingin, perfeksionis, dan menurut banyak orang agak kaku soal perasaan. Ia jarang peduli pada urusan pribadi orang lain, apalagi sampai mengkhawatirkan tidur seseorang.

Tapi sekarang?

Sekarang, ia rela menunda rapat penting hanya karena tahu Amelia harus antar Bayu ke dokter.

Ia diam-diam ganti printer rusak di meja Amelia sebelum ia sempat mengeluh.

Ia bahkan pernah bawa bekal nasi goreng yang jelas-jelas dimasak Mbak Lina, tapi dikemas rapi dengan label “Masak sendiri” di tupperware hanya agar Amelia nggak bolak-balik beli makan siang.

Dan yang paling bikin Ibu Devan tersenyum: Devan tak pernah pamer. Semua dilakukannya diam-diam, seolah itu hal paling wajar di dunia.

“Dulu, waktu kamu SMA, kamu nggak pernah peduli kalau temanmu nangis di kantin,” kata Ibu Devan sambil nyengir. “Sekarang, kamu malah ngitung jam tidur orang.”

Devan menggeleng, tapi wajahnya memerah sedikit. “Itu beda, Bu. Amelia,dia beda.”

“Bedanya di mana?”

Devan diam sejenak, menatap cangkir kopinya. “Dia nggak minta apa-apa. Tapi tetap berusaha jadi cukup. Bahkan lebih. Dia nggak mau jadi beban, padahal dia malah jadi berkah buat rumah ini.”

Ibu Devan tersenyum lebar. “Bayu ketawa lagi tadi sore. Katanya, ‘Nenek, Abi sama Mama kayak di gambar tadi malam!’”

“Gambar apa?”

“Yang dia gambar tiga orang pegang tangan. Dia bilang, ‘Itu Mama, Abi, sama aku. Kita keluarga."

Devan terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat menutupinya dengan menyesap kopi.

“Dia anak hebat,” katanya pelan.

“Dan ibunya juga,” sahut Ibu Devan. “Tapi kamu tahu, Nak,jangan cuma jadi ‘Abi’ buat Bayu. Kalau kamu sayang sama mereka berdua, jangan takut jadi lebih dari itu.”

Devan menatap ibunya. “Aku nggak main-main, Bu.”

“Bagus. Karena aku lihat, dia juga nggak main-main. Dia kerja keras bukan cuma buat uang,tapi buat jaga harga dirinya. Dan itu langka.”

Mereka berdua diam sejenak, ditemani suara jangkrik malam dan aroma jahe yang menenangkan.

***

Keesokan pagi, Amelia bangun agak kesiangan,Saat turun ke dapur, ia kaget melihat meja sudah tertata rapi.

“Mas Devan udah berangkat,Bu ?” tanya Amelia pada Ibu Devan yang sedang duduk di meja makan sambil ngemil kue.

“Belum. Dia nungguin kamu bangun.”

Amelia terkejut. “Tapi jam kerjanya kan jam delapan?”

“Iya. Tapi dia bilang, ‘Kalau Bayu sakit, Amelia pasti nggak sempat sarapan. Aku yang anterin dia ke kantor.’”

Benar saja, Devan muncul dari garasi dengan kunci mobil di tangan. “Siap?”

Amelia bingung. “Tapi, aku bisa naik ojek online, Mas.”

“Nggak usah. kita juga satu kantor juga. Lagian…” Ia menoleh ke Bayu yang masih mengantuk di pelukan neneknya. “Aku janji anterin dia ke dokter siang ini kalau demamnya belum turun.”

Amelia terdiam. Lalu, pelan-pelan, ia mengangguk. “Terima kasih, Mas.”

Perjalanan ke kantor hari itu tenang. Hujan gerimis turun perlahan, dan Devan menyetel lagu-lagu akustik yang dulu sering diputar ibunya lagu yang membuat Amelia teringat masa kecil.

“Kamu suka lagu ini?” tanya Devan.

“Dulu, ibuku sering nyanyiin ini pas aku susah tidur,” jawab Amelia, suaranya lembut.

Devan tersenyum. “Kalau gitu, aku simpen di playlist mobil. Biar bisa aku putar saat kamu naik mobil ini lagi .

Amelia menoleh. Di matanya, ada rasa haru yang tak bisa disembunyikan.

***

Di kantor, suasana berubah. Sejak insiden dokumen yang “hilang” dan Rani melaporkan apa yang dilihatnya, Viona jadi lebih diam tapi bukan karena menyesal. Ia hanya menunggu momen lain.

Tapi kali ini, Amelia tak sendiri.

Rani jadi lebih sering duduk di mejanya, “kebetulan” bawa camilan, atau “iseng” nanya soal tugas. Tim IT mulai mengajaknya diskusi teknis, bukan sekadar lewat email. Bahkan staf HR pernah bilang, “Kalau ada yang ganggu kamu, langsung lapor. Kita semua di sini dukung kamu.”

Dan di balik semua itu, ada Devan yang tak pernah terlalu dekat, tapi selalu ada.

Saat Amelia salah input data kecil, ia tak dimarahi Devan malah kirim pesan #Salah itu wajar. Yang penting, kamu belajar. Besok kita review bareng #

Saat ia lupa bawa payung dan hujan deras, Devan “kebetulan” lewat depan kantornya jam pulang dengan satu payung besar di tangan.

“Naik aja. Aku anter ke rumah.”

Amelia awalnya menolak. “Nggak usah, Mas. Nanti nggak enak.”

“Ngapain nggak enak? Aku juga capek. Mau pulang cepat. Tapi nggak tega lihat kamu kehujanan.”

Dan di mobil itu, dalam diam yang nyaman, Amelia sadar, ini bukan belas kasihan. Ini perhatian yang tulus, tanpa syarat.

***

Malam itu, setelah Bayu tidur dan Devan kembali dari rapat malam, Ibu Devan duduk di teras belakang. Devan menyusul, membawa dua cangkir teh.

“Kamu sayang sama dia, ya?” tanya Ibu Devan tiba-tiba.

Devan tak langsung menjawab. Ia menatap langit berbintang.

“Dulu, aku pikir cinta itu harus dramatis bunga, puisi, janji besar. Tapi lihat mereka berdua Amelia dan Bayu. Cinta mereka sederhana. Bangun pagi,, anterin anak main pasir. Tapi itu… itu cukup.”

Ibu Devan tersenyum. “Cinta yang cukup itu langka, Nak.”

“Iya. Dan aku pengen jadi bagian dari ‘cukup’ itu.”

Ibu Devan mengelus lengan anaknya. “Kalau gitu, jangan cuma jadi bagian. Jadilah fondasinya.”

Devan mengangguk. Lalu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia berkata dengan suara yang tak lagi kaku tapi hangat, seperti teh jahe di malam yang sunyi.

“Aku akan jaga mereka, Bu. Seperti kamu jaga aku dulu.”

Dan di kejauhan, di balik jendela kamar kecil, Amelia berdiri diam mendengar percakapan itu dari celah pintu yang tak tertutup rapat.

Air matanya jatuh. Bukan karena sedih, tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa

dipilih dan ia merasa benar - benar memiliki keluarga seperti yang selama ini diimpikannya

1
Mar lina
Di tunggu
malam pertama nya
apakah Devan akan ketagihan dan bucin akut... hanya author yg tau...
MayAyunda: siap kak😁
total 1 replies
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto: sama2 👍
total 2 replies
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
MayAyunda: iya kak🙏
total 1 replies
Mar lina
aku mampir
MayAyunda: terimakasih kak
total 1 replies
Nii
semangat Thor
MayAyunda: siap kak
total 1 replies
kalea rizuky
lanjut q ksih hadiah
kalea rizuky
siapa naruh cicilan mekar di sini/Shame//Sleep/
kalea rizuky
alurnya suka sat set g menye2
MayAyunda: iya kak 😁
total 1 replies
kalea rizuky
dr judulnya aaja unik
MayAyunda: biar beda kak 😄
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!