NovelToon NovelToon
My Lovely Cartel

My Lovely Cartel

Status: sedang berlangsung
Genre:Kriminal dan Bidadari / Nikah Kontrak / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Psikopat itu cintaku / Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?

Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Paroki & Cannoli

...୨ৎ R A I N N જ⁀➴...

Rasanya, badanku pegal-pegal saat masuk ke Katedral yang sudah mulai sepi. Aku perhatikan deretan bangku kosong terus merapikan beberapa buku Himne yang baru saja ditaruh di tempatnya.

Aku taruh piring di salah satu bangku bersama rangkaian bunga yang kubawa buat Pastor Yeskil. Setelah itu, kuambil bunga lama dari dudukan di samping mimbar, terus bawa buket yang sudah layu itu ke dapur, taruh bunga-bunga layu di meja dapur, terus buru-buru ambil kantong sampah dari bawah wastafel.

Seraya mengeluh, aku pun membongkar semua bunganya agar bisa dibuang, baru deh pastikan dapur ini sudah bersih.

Itu memang hal yang selalu aku lakukan setiap Selasa, untuk membantu Pastor Yeskil. Walau kadang beliau suka membiarkan bunga-bunga itu di situ sampai si Rissa datang menggantikannya dengan yang baru.

Setelah membuang bunga yang layu, aku kembali ke bangku, ambil sepiring Cwie-Mie, terus jalan ke kantor Pastor Yeskil.

Sambil jalan, tanganku mengusap pelan bagian pinggul yang masih nyeri, tempat Amilio menendangku semalam. Aku berusaha agar enggak memikirkan hal itu.

Saat sampai di depan kantor, aku ketuk pintu pelan, terus masuk.

“Pagi, Romo.”

Pastor Yeskil langsung naik dari tumpukan dokumen yang lagi dia lihat, senyum lembut pun muncul di wajahnya.

“Pagi, Ree.”

Setiap Selasa, aku memang selalu bertemu Pastor Yeskil untuk membahas bunga dan makanan yang akan aku siapkan buat jamaat setelah Misa Minggu. Paroki yang menanggung semuanya, jadi aku enggak perlu minta duit ke Amilio.

Aku juga dapat sedikit bayaran buat tenagaku, biasanya kubuat beli kebutuhan pribadi.

Aku duduk di depan mejanya, taruh piring Cwie-Mie di pojokan agar enggak mengganggu. Makanan yang kumasak selalu bikin dia tersenyum dan berterima kasih.

“Terima kasih, ya. Karena kamu sama Rissa suka bawain makanan, aku jadi enggak khawatir lagi.”

“Sama-sama, Romo. Aku memang suka masak.”

Aku keluarkan daftar belanja dari tas.

“Aku pikir bakal seru kalau minggu depan ada Cannoli waktu Misa.”

Pastor Yeskil mengibaskan tangannya sambil tersenyum.

“Kamu yang ngatur, jadi terserah kamu aja mau apa. Butuh berapa banyak?”

Aku kasih lihat daftar belanjaan sama total biaya yang dibutuhkan. Dia langsung buka kotak kecil dan mulai keluarkan uang. Aku pun bertanya, "Aku harus pesan mawar lagi enggak, buat bucket bunga berikutnya?"

Dia cuma menceletuk, “Terserah kamu aja.”

Walaupun dia selalu menerima ide-ideku, aku tetap kasih tahu dia, ya sekedar untuk menghormati saja.

Waktu Romo Yeskil kasih uang itu, dia memperhatikanku lama banget. Alisnya sampai berkerut waktu dia duduk lagi, terus tanya, “Kamu udah istirahat belum? Kelihatannya capek banget.”

Aku tertawa. “Wah, udah dua orang nih, yang bilang kayak gitu. Aku bakal coba deh biar kelihatan lebih segar.”

Merasa malu, aku pun merapatkan Cardigan tipis yang kupakai. Padahal di luar lagi panas banget, tapi aku tetap harus pakai baju lengan panjang untuk menutupi memar di tangan, dan aku pakai jeans buat menutupi kaki.

Pastor Yeskil memiringkan kepalanya, ada kekhawatiran di wajahnya. “Bukan itu maksudku. Semuanya aman kan di rumah?”

Aku enggak mau membicarakan keadaanku yang menyedihkan, jadi aku cuma mengangguk sambil berdiri. “Aku harus ngantar pesanan bunga ini ke Rissa.”

Dia menggeleng pelan, kecewa karena aku enggak menjawabnya. “Aku di sini, kapan pun kalau kamu mau ngobrol.”

Aku memaksa senyum dan berbisik, “Aku tahu. Cuma lagi enggak pingin ngomongin apa pun sekarang.”

“Aku enggak bakal maksa,” keluhnya pelan sambil menatap tumpukan berkas di mejanya. “Sampai ketemu Minggu, Ree.”

“Semoga Minggu Romo menyenangkan,” bisikku sebelum keluar dari kantornya.

Aku suka dengan hari Selasa dan Minggu pagi, karena itu satu-satunya waktu di mana aku enggak bakal bertemu Amilio.

Jujur saja, dia jadi mimpi burukku sejak kejadian di Santera. Aku sudah berusaha banget buat enggak ganggu dia, tapi setiap kali dia pulang, pasti ada saja bentakan.

Pukulan juga makin sering, makin parah, dan kekhawatiran itu bikin aku enggak bisa tidur setiap malam.

Saat aku berjalan beberapa kilometer dari katedral menuju toko bunga Rissa, pikiranku malah ke uang paroki yang ada di dompet. Uang segitu mungkin cukup buat naik kereta atau kendaraan umum, tapi membayangkan mencuri saja sudah bikin aku merasa jijik sendiri.

Ampuni aku, Tuhan, untuk semua pikiran-pikiran kotorku ini.

Matahari sungguh menyengat di kepala, dan aku mulai merasa enggak nyaman karena panas banget.

Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti di sampingku. Aku pun langsung melirik dengan waspada sambil mempercepat langkah.

Begitu aku dengar pintu terbuka, aku menengok ke belakang, dan saat lihat siapa yang muncul, aku pun langsung berhenti.

Remy.

Ya, Tuhan.

Cowok ini lagi.

Tanpa basa-basi, dia langsung bertanya, “Kamu mau ke mana?”

Aku tunjuk ke jalan. “Ke toko bunganya Rissa.”

“Masuk,” katanya sambil suruh aku naik ke kursi belakang.

Sial.

Aku hembuskan napas berat sambil jalan ke arah mobilnya, perasaanku pun langsung seperti dicekik. Begitu duduk di kursi belakang, dia ikut masuk di sampingku, aku langsung geser ke arah pintu agar ada jarak sedikit.

Jantungku langsung dag-dig-dug dan bulu kudukku pun bergoyang. Aku tahu harusnya bersyukur karena enggak harus jalan kaki, tapi masalahnya ini tuh mobilnya salah satu bos Marunda.

“Panas banget,” gumamnya, matanya sempat menyenggolku sebelum bertanya lagi, “Kenapa kamu pakai baju kayak gitu?”

Aku peluk diri sendiri sambil bersandar ke pintu, pura-pura santai. “Pas aku keluar rumah tadi dingin banget.”

Tanpa disuruh, Big Jonny pun langsung melajukan mobil ke arah toko bunga Rissa. Suasana di dalam mobil sepi banget, tegang. Terasa banget aura berbahaya dari Remy, sampai-sampai tanganku gemetaran sendiri.

Tapi anehnya, aku juga enggak bisa berhenti memikirkan betapa gantengnya dia. Perasaan aneh pun langsung mengaduk perutku.

Dia enggak bicara apa-apa lagi. Saat Big Jonny berhenti di depan toko, aku akhirnya bisa bernapas lega.

Aku memaksa senyum dan menengok ke arah Remy. “Makasih.”

Dia masih sibuk baca dokumen, cuma mengangguk sedikit tanpa melihatku.

“Ya udah, sampai jumpa,” gumamku pelan sambil buka pintu, buru-buru keluar, nutup pintunya rapat-rapat, dan lari masuk ke toko.

“Ya ampun, Ree! Itu mobilnya Tuan Arnold?” seru Rissa begitu lihat mobil hitam itu masih parkir di depan.

“Iya,” jawabku, santai. “Dia cuma ngantarin aja, panas banget di luar.”

Rissa langsung naikkan alis. “Orang itu enggak pernah ngelakuin apa pun secara cuma-cuma. Hati-hati, ya kalau dekat dia.”

Aku cuma mengangguk dan mengikuti dia ke belakang, ke tempat dia biasanya bikin karangan bunga.

“Bisa enggak minggu ini kita bawa mawar buat paroki?” tanyaku, pura-pura fokus sama kerjaan agar enggak mikirin tatapan Remy tadi.

“Mawar mahal, tapi aku bisa tambahin baby’s breath sama aster,” jawab Rissa.

“Itu bagus banget,” kataku sambil lihat ember-ember penuh bunga segar. “Oh iya, aku bakal masak Cwie-Mie buat Pastor Yeskil, biar kita enggak nyiapin makanan yang sama.”

“Oke, aku bakal masak Sup buat akhir minggu ini,” kata dia.

“Kamu mau masak apa buat Misa?” tanyanya.

“Cannoli. Udah lama banget enggak bikin itu.”

“Bikin banyak ya, siapa tahu yang datang juga banyak.”

Aku mengangguk. “Oke. Aku pergi dulu, ya. Harus pulang sebelum makan siang.”

Rissa memberiku setangkai anyelir merah muda. “Ya, udah sana.”

Aku senyum dan ambil bunganya. “Sampai jumpa Minggu.”

Begitu keluar, aku melihat mobil hitam itu masih di depan toko.

Duh, sial.

Aku sempat ragu, tapi sadar kalau aku enggak bisa terus sembunyi di sini.

Baru saja aku menginjakkan kaki di trotoar, pintu belakang mobil itu terbuka lagi.

Ya Tuhan, tolong banget deh.

Aku mengintip ke dalam dengan hati-hati, dan suara berat itu terdengar lagi. “Masuk,” kata Remy datar.

Tuhan, apakah aku melakukan sesuatu yang bikin engkau marah kepadaku?

“Eh … Apa?” tanyaku pelan, suaraku sampai gemetar karena takut.

Remy melirikku, tatapannya tajam banget, wajahnya terlihat kesal tapi tetap seganteng biasanya. “Panas banget, Rainn. Masuk aja.”

Aku ingin banget mengeluh, tapi akhirnya tetap patuh. Begitu pintu kututup, Big Jonny bertanya, “Mau ke mana, Nona Margot?”

“Ummm … ke supermarket di bawah sana aja,” jawabku sambil memperhatikan belakang kepalanya dan sekilas aku terserempet oleh pandangan Remy, yang sudah balik fokus lagi ke dokumen di tangannya.

Aneh banget sumpah.

Antara suasana di rumah yang makin kacau, sama aku harus bertemu Remy Arnold lebih sering dari sebelumnya. Badanku rasanya tegang banget. Sudah kayak karet yang hampir putus.

1
Dewi kunti
hadeeeeehhh siang2 mendung gini malah adu pinalti
Dewi kunti: iya dooong
total 2 replies
Dewi kunti
bukan tertunduk kebelakang tp mendongak
Dewi kunti
🙈🙈🙈🙈🙈ak gak lihat
Dewi kunti
wis unboxing 🙈🙈🙈🙈🙈moga cpt hamil
Dewi kunti: lha tadi udah dicrut di dlm kan🙈🙈🙈🙈
total 2 replies
Dewi kunti
minta bantuan Remy Arnold aj
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!